Pada masa dahulu di
Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, upacara tedhak loji merupakan
prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan
di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton
menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta
kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi
bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara
kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah
yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan
oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.
Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan
Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa
pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono
III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai konsekuensi
dari kedudukan Surakarta dan Yogyakarta yang telah menjadi bagian dari negeri
koloni Hindia Belanda, alias menjadi bawahan dari Kerajaan Belanda. Protokol
kenegaraan dalam upacara tedhak loji kemudian disusun antara pihak keraton dan
pemerintah kolonial, yang di dalamnya termasuk peraturan tentang tata busana
yang digunakan saat tedhak loji, serta siapa saja yang boleh mengikutinya. Ragam
busana yang digunakan dalam upacara kebesaran pada umumnya ialah kampuh, atau
kain penutup tubuh bagian bawah. Sementara, busana bagian atas disebut dengan
sikepan, dengan berbagai warna atau bordiran sesuai dengan statusnya. Para abdi
dalem prajurit mengenakan seragam masing-masing, sesuai dengan bergada atau
satuannya. Termasuk pula ragam busana jendralan, yaitu busana militer ala
Eropa, yang dikenakan oleh raja dan para pangeran berkedudukan tinggi.
Pelaksanaan tedhak loji biasanya dilangsungkan ketika hari khusus,
yaitu pada tanggal 1 Januari dalam rangka tahun baru, dan pada tanggal 31
Agustus dalam rangka hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Sebelum Wilhelmina naik
takhta menjadi ratu Belanda, pelaksanaan tedhak loji mengikuti tanggal hari ulang
tahun Raja Willem I, Raja Willem II, dan Raja Willem III.
Menjelang akhir abad ke-20, yaitu pada masa pemerintahan
Sunan Pakubuwono IX, pelaksanaan tedhak loji di Surakarta digambarkan
berlangsung sangat megah. Oleh Pieter Johannes Veth, seorang profesor geografi
dan etnologi Belanda, upacara itu digambarkan sebagai berikut:
Sri Sunan bersama residen Belanda duduk di dalam Kereta Kencana Kyai Garudha Kencana yang ditarik oleh 8 ekor kuda Australia. Putra mahkota dan
asisten residen duduk di kereta yang lain, yang ditarik 6 ekor kuda, diikuti
oleh barisan para pangeran yang menunggang kuda. Ratusan abdi dalem mengiringi
dengan berjalan kaki. Sebagian dari mereka membawa benda-benda pusaka dan
regalia, yang merupakan simbol kebesaran Sunan. Para prajurit keraton dan
tentara pengawal Sunan, berbaris di depan kereta Sunan. Begitu kereta Sunan
melewati Benteng Vastenburg, barisan korps musik segera memainkan lagu
Wilhelmus, disertai dengan dentuman meriam sebagai tanda penghormatan.
Jika kereta Sunan sudah memasuki halaman Loji Residen, maka
para pangeran bergegas turun dari kudanya untuk melakukan sembah, kemudian
duduk di tanah sampai Sunan turun dari keretanya. Tempat duduk di dalam Loji
Residen pun diatur dengan sangat bagus. Mulai di tempat turunnya Sunan dari kereta
kencana menuju tempat duduk yang disediakan untuknya, dibentangkan permadani
merah khusus untuk dilalui oleh Sunan dan residen. Oleh karena itu, di belakang
mereka berdua, para petugas dengan sigap menggulung permadani itu kembali, agar
orang lain tidak berkesempatan untuk menginjaknya.
Dalam gelaran tedhak
loji, Sri Sunan selalu membawa seperangkat gamelan beserta para penari
srimpi atau bedhaya untuk dipertunjukkan dalam pesta. Sri Sunan, tanpa disertai
oleh permaisuri, mengikuti pesta itu sampai pukul 03.00 pagi. Ketika Sri Sunan
pulang kembali ke keraton, diadakanlah upacara penghormatan yang sama, seperti
yang berlangsung ketika kedatangannya di Loji Residen.
Kemudian, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X,
upacara tedhak loji menjadi semakin megah. Sri Sunan hadir dengan mengenakan
busana jendralan, lengkap dengan berbagai lencana kehormatannya. Terkadang, Sri
Sunan juga mengenakan busana kasenopaten, yaitu busana panglima militer khas
Mataram Jawa. Biasanya, dalam upacara tedhak loji, Sunan Pakubuwono X dan
permaisuri dijemput oleh utusan gubernur sekitar pukul 17.30 sore, dan
kemudian diantar pulang ke keraton pada pukul 20.00 malam, meskipun untuk
waktu pelaksanaannya tak selalu dilaksanakan pada sore hari, tergantung
undangan dari gubernur.
Di luar pesta perayaan tahun baru dan hari kelahiran ratu
Belanda, tedhak loji juga dilakukan atas undangan residen atau gubernur,
misalnya dalam penyambutan hari pernikahan Putri Mahkota Juliana pada tahun
1936, atau ketika memperingati empat puluh tahun bertakhtanya Ratu Wilhelmina
pada tahun 1938.
Sejak tahun 1928, setelah Surakarta dan Yogyakarta
dinaikkan statusnya menjadi kegubernuran setingkat provinsi yang dipimpin oleh
seorang gubernur, kedudukan seorang residen dalam setiap upacara kenegaraan di
Surakarta maupun Yogyakarta diambil alih oleh gubernur. Dialah yang berhak
duduk di samping Sri Sunan atau Sri Sultan, termasuk, dalam upacara pesta
tedhak loji.
Menurut peraturan yang baru, undangan dari residen atau
gubernur kepada Sri Sunan disampaikan dua hari sebelum pelaksanaan pesta, dan
undangan tersebut diantar langsung ke keraton oleh asisten residen ibu kota
Surakarta. Contohnya, pada tahun 1936, ketika asisten residen datang ke keraton
untuk menyampaikan undangan acara peringatan hari perkawinan Putri Juliana,
Sunan Pakubuwono X menerima utusan itu di Pendhapa Sasana Sewaka. Dan ketika
berlangsungnya acara, Sri Sunan dan permaisuri, bersama para putra-putrinya
serta kerabat dan pembesar kerajaan, menunggu jemputan dengan duduk bersama di
Pendhapa Sasana Sewaka. Ketika datang utusan dari kegubernuran untuk menjemput
Sri Sunan, barulah rombongan keraton itu berangkat, melakukan tedhak loji ke
rumah dinas gubernur.
Di dalam upacara tedhak loji, para pangeran umumnya
mengenakan busana terbaik mereka. Tedhak loji telah menjadi ruang untuk parade
kemegahan busana para bangsawan, yang selalu menjadi tontonan rakyat ibu kota
kerajaan. Menurut Pramutomo, upacara tedhak loji merupakan drama yang
dikonstruksi melalui panggung negara, namun, nuansa politis yang dihadirkan
sangat kuat. Iring-iringan yang panjang disusun sedemikian rupa, dengan
melibatkan sejumlah elit keraton, seperti halnya para pangeran, patih, dan
pejabat-pejabat di bawahnya. Bahkan seperangkat gamelan hingga para penari
srimpi dan bedoyo turut diseertakan dalam rombongan tersebut.
Dari sudut pandang penguasa dan rakyat Surakarta,
iring-iringan megah dari keraton menuju Loji Gubernur tersebut mengisyaratkan
bahwa Sri Sunan dan para pembesar pribumi masih dan harus memiliki wibawa atas
rakyat dan kerajaannya. Meski dalam kenyataannya, sebagian kekuasaan dan
pengaruhnya telah sangat dikekang oleh penjajah Belanda. Faktor politis
tersebut, beberapa kali telah menjadi sumber gesekan antara Sri Sunan dengan
residen atau gubernur Belanda, termasuk dalam upacara tedhak loji. Ketegangan-ketegangan
yang menyangkut masalah kewibawaan antara Sri Sunan dan pemerintah Hindia
Belanda, mulai muncul pada masa Sunan Pakubuwono IX.
Sebagai contoh, suatu ketika, Sunan Pakubuwono IX tidak
dapat menghadiri undangan dari residen. Sri Sunan justru mengirimkan putra
mahkota yang masih di bawah umur, yaitu GRM. Sayiddin Malikul Kusno, yang
bergelar Adipati Anom Hamangkunagoro, sebagai wakilnya untuk menghadiri acara
resmi di Loji Residen. Termasuk, ketika residen dan pengiringnya hadir dalam
acara-acara resmi di Keraton Surakarta, mereka tidak diperlakukan sebagai tamu
terhormat, melainkan hanya sebagai figuran, agar dapat menambah kewibawaan
Sunan Pakubuwono IX sebagai penguasa tertinggi yang berkedudukan di keraton.
Jika dilihat dari sudut pandang pemerintah kolonial, hal-hal semacam itu
membuat mereka merasa diremehkan.
Tedhak loji sebagai sebuah pertunjukan selalu menghadirkan penonton di sepanjang prosesinya. Gelaran tedhak loji, telah menjadi momen yang ditunggu-tunggu, sebab dianalogikan sebagai sebuah tata panggung yang melayani kekuasaan. Saat menyaksikan peristiwa tedhak loji, masyarakat akan memperoleh area yang sangat luas, dari kawasan Alun-Alun Utara hingga ke arah Benteng Vastenburg dan di seputar gerbang Loji Residen atau Gubernur. Tidak hanya kemegahan busana dari para pembesar kerajaan, namun keindahan berbagai ragam busana yang dikenakan oleh prajurit hingga abdi dalem keraton tampaknya telah menarik perhatian banyak orang, sehingga membuat upacara tedhak loji selalu menjadi tontonan ramai.
Pelaksanaan upacara tedhak loji bertahan sampai tahun 1941,
pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono XI di Surakarta, atau semasa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta. Ia benar-benar dihapus sejak
masa pendudukan Jepang pada tahun 1942. Di era Republik Indonesia, kirab akbar
raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang menghadirkan para prajurit dan abdi
dalem keraton lengkap dengan barisan kereta kencana, hanya dilangsungkan dalam
rangka penobatan raja, hari peringatan kenaikan takhta, atau ketika pernikahan
putra-putri raja.
- Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.
- Fajar Wijanarko. 2021. Wastra Langkara: Literasi Busana Bangsawan Yogyakarta. Jakarta: Perpusnas Press.
- John Pemberton. 1994. On the Subject of "Java". Itacha dan London: Cornell University Press.
- R.M. Pramutomo. 2009. Tari, Seremoni, dan Politik Kolonial (I). Surakarta: ISI Press.