Langsung ke konten utama

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta


Keraton Surakarta Hadiningrat (ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀; Surakarta Hadiningrat Royal Palace) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743.
.
Sejarah
.
Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala (Solo), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala (Bengawan Solo). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, dan Mas Penghulu Pekik Ibrahim, bersama KRT. Hanggawangsa dan KRT. Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi pembangunan ibu kota/keraton yang baru. 

Awalnya, tim tersebut menemukan tiga alternatif lokasi, yaitu Desa Sanasewu, Desa Kadipala dan Desa Sala. Setelah diadakan berbagai kajian, akhirnya diputuskan untuk membangun keraton baru di Desa Sala, yang berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tidak jauh dari Bengawan Sala. Desa Sala dipilih menjadi ibu kota baru karena meskipun kondisi tanahnya sebagian besar berupa rawa-rawa yang dalam, namun secara spiritual sudah ditakdirkan oleh Allah SWT menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang besar, makmur dan langgeng. Untuk pembangunan keraton tersebut Sunan Pakubuwana II membayar ganti rugi pembebasan tanah seharga selaksa ringgit (10.000 ringgit) yang dibayarkan kepada lurah Desa Sala, Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala wafat dan dimakamkan di area keraton (berada tidak jauh dari Dalem Mlayakusuman).
.

Kompleks inti Keraton Surakarta dilihat dari udara.
.
Pada 17 Sura tahun Je 1670 Jawa atau 20 Februari tahun 1745 Masehi, Sunan Pakubuwana II beserta segenap pejabat, bangsawan, abdi dalem dan rakyat melakukan upacara Boyong Kedhaton dari bekas Keraton Kartasura menuju bangunan keraton yang baru. Setelah keraton sudah ditempati secara resmi, nama Desa Sala diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Nama "Surakarta" diambil dari kata "Sura" yang berarti berani dan "karta" yang berarti makmur; maka Surakarta dimaksudkan menjadi tempat yang dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kemakmuran negara dan bangsa. Pada masa selanjutnya, di tengah tekanan dan berkecamuknya Perang Suksesi Mataram, istana ini pula menjadi lokasi penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sunan Pakubuwana XII mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno dan pemerintah pusat di Jakarta yang isinya menyatakan bahwa Kasunanan Surakarta mendukung serta bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia, dan Kasunanan Surakarta (beserta Kadipaten Mangkunegaran) mendapat status daerah istimewa dengan Sunan Pakubuwana XII berkedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa Surakarta. Sejak saat itu, kompleks bangunan Keraton Surakarta tetap berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga sekarang sekaligus pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, selain juga menjadi salah satu objek wisata utama di Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kerajaan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Walaupun saat ini keraton juga berfungsi sebagai situs pariwisata, namun tak semua bagian keraton terbuka untuk umum.
.
Denah kompleks Keraton Surakarta, termasuk kawasan Kelurahan Baluwarti dan Alun-Alun Lor-Kidul.
.
Dari segi  fisik bangunannya, Keraton Surakarta merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik. Salah satu arsitek Keraton Surakarta adalah KGPH. Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwana I), yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap oleh para Sunan yang bertakhta dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran dilakukan oleh Sunan Pakubuwana X yang bertakhta tahun 1893-1939, dan restorasi terbaru diselesaikan pada tahun 2018 semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana XIII. Sebagian besar bangunan keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.
.
Secara umum pembagian keraton meliputi: 

Kompleks Alun-Alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul dan Alun-Alun Kidul.
.
Dalem Sasana Mulya yang merupakan salah satu dalem pangeran di kawasan Baluwarti.
.
Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan Baluwarti, sebuah dinding pertahanan (benteng) dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding Baluwarti terbentang dari kawasan Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Siti Hinggil dan Alun-Alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini.

Kompleks Keraton

Tugu Pemandengan

Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pemandengan (Pamandengan). Tugu ini terletak tepat di depan Balaikota Surakarta dan tidak jauh dari Pasar Gedhe Harjanagara, sekitar tiga ratus meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag.
.
Tugu Pamandengan dan Pasar Gedhe.
.
Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan batin Sunan kepada Allah SWT ketika beliau lenggah sinewaka di sebuah tempat yang ditinggikan, di Bangsal Pagelaran Sasana Sumewa. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama pada bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sunan. Tugu ini juga merupakan simbol tauhid dalam Islam, bahwa Sunan beserta rakyat Kasunanan Surakarta meyakini keesaan Allah SWT. Pada era moderen ini Tugu Pamandengan juga berfungsi sebagai titik nol mercu tanda (landmark) Kota Surakarta.

Gapura Gladag

Pada awalnya, Gapura Gladag adalah pintu masuk wilayah Keraton Surakarta dari arah utara yang didesain dalam bentuk gapura melengkung dan dibuat dari besi yang dihias berbagai gambar binatang buruan. Dari perkembangannya hingga saat ini, Gapura Gladag tersebut akhirnya berbentuk gapura candi bentar dengan ornamen hias yang berjumlah 48 dan jeruji tembok yang juga berjumlah 48. Di depan Gapura Gladag, terdapat dua arca raksasa kembar di kiri dan kanan jalan yang disebut Reca Pandita Yaksa (dibuat tahun 1930), yang bermakna sebagai pengingat kepada manusia untuk tidak takut dengan godaan dan cobaan hidup.
.
Gapura Gladag.
.
Di sisi kanan-kiri Jalan Pakubuwana (yang membelah Gapura Gladag) ini ditanami beberapa pohon beringin. Pada zaman dahulu, area kosong disekitar Gapura Gladag dan gapura ke dua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih ditempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini adalah mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula kalawan Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja).
.
Gapura Gladag pada tahun 1909.
.
Pangurakan adalah merupakan bagian ruang antara gapura ke dua dan gapura ke tiga. Tempat ini berfungsi sebagai tempat penyembelihan (ngurak) binatang hasil buruan, dimana daging tersebut kemudian dibagikan secara adil kepada para putra sentana dan abdi dalem yang saat itu berada di lokasi penyembelihan. Di tepi jalan daerah Pangurakan terdapat bangunan bangsal yang diberi nama Bangsal Pangurakan. Bangsal ini adalah bangunan tempat menyembelih binatang buruan. Selain terdapat gambar api berkobar dan gambar matahari, di dalam Bangsal Pangurakan. Itu juga terdapat dua batu besar berbentuk persegi, dengan lubang persegi ditengahnya, yang berfungsi sebagai tempat membakar dupa pada saat mengadakan upacara penyembelihan hewan buruan.

Alun-Alun Lor (Utara) 

Alun-alun merupakan sebuah tanah lapang yang berfungsi sebagai lokasi tempat berkumpulnya rakyat banyak. Pada saat ini, ruang luas rata berpasir dari Alun-Alun Lor telah diganti dengan ruang rata yang berumput. Bahkan, tepat di tengah alun-alun membujur dari utara ke selatan sampai Pagelaran, dibuat jalur jalan pedestrian yang diperkuat oleh deretan lampu hias dan tanaman palem raja. Di pinggir alun-alun juga ditanami sejumlah pohon beringin.
.
Alun-Alun Lor.
.
Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (beringin yang dikurung) yang diberi nama Waringin Dewadaru (yang bermakna keluhuran atau kesempurnaan) dan Waringin Jayadaru (yang bermakna kejayaan atau kemenangan). Di sisi utara alun-alun ditanami dua pohon beringin pula, Waringin Jenggot (laki-laki) dan Waringin Wok (perempuan). Sementara di sebelah selatan alun-alun, yang berbatasan dengan halaman Pagelaran Sasana Sumewa, ditanami juga beringin kembar yang bernama Waringin Gung (besar) dan Waringin Binatur (kerdil atau kecil). Di sebelah barat Alun-Alun Lor ini berdiri Mesjid Ageng (Masjid Agung) Surakarta.
,.
Di sekitar alun-alun, di sebelah utara terdapat bangsal kecil (bale) yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa bale lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini, semenjak digantikannya kuda dengan moda transportasi moderen. Bale tersebut diantaranya adalah Gedhong Kiwa, Keparak Kiwa, Jeksa, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi Gedhe, Keparak Tengen, Gedhong Tengen, dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai gedung Pasinaon Dhalang Keraton Surakarta (Padhakarsa), Polsek Pasar Kliwon, kantor-kantor, pasar buku, dan kios-kios penjual cenderamata.
..
Gapura Klewer.
.
Gapura Batangan.
.
Di sebelah barat daya Alun-Alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.

Masjid Agung Surakarta 

Berada di sisi barat Alun-Alun Lor, Masjid Agung Surakarta merupakan masjid agung kerajaan. Semua pegawai pada masjid agung merupakan abdi dalem keraton, dengan gelar serta berbagai pangkat dari keraton misalnya Kangjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin. Masjid Agung Surakarta dibangun oleh Sunan Pakubuwana III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
.
Gapura utama Masjid Agung Surakarta.
.
Serambi dan menara Masjid Agung Surakarta.
.
Masjid ini merupakan masjid dengan kategori masjid jami', yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jumat; dengan status sebagai masjid utama kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan, dan masjid ini juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh kerajaan. Masjid Agung Surakarta memiliki luas 19.180 meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter.

Di halaman timur masjid ini terdapat dua Bangsal Pagongan (Pagongan Lor dan Pagongan Kidul) yang digunakan untuk menempatkan sepasang gamelan sekati (Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari) serta menara adzan yang desain arsitekturnya menyerupai Qutb Minar di India, yang dibangun saat ambalwarsa atau ulang tahun ke-40 Sunan Pakubuwana X. Salah satu ciri khas halaman masjid ini adalah masih dipasangnya Jam Istiwak di halaman sisi selatan, yaitu jam matahari yang digunakan untuk menentukan waktu sholat.
.
Sunan Pakubuwana X saat memimpin pelaksanaan sebuah upacara di serambi Masjid Agung Surakarta (sekitar tahun 1910-1920).
.
Bangunan utama Masjid Agung Surakarta terdiri dari Surambi (serambi masjid, berupa bangunan pendhapa tratag rambat), Gedhong (ruang utama masjid, mempunyai empat saka guru dan dua belas saka rawa), dan Pawastren (tempat sholat khusus perempuan). Di ruang utama masjid dahulu juga terdapat Maksura, semacam ruang khusus yang dipergunakan Sunan saat sholat. Secara keseluruhan, bangunan masjid berbentuk tajug dengan atap tumpang tiga dan berpuncak mastaka. Makna tajug bertumpang tiga tersebut adalah pokok-pokok tuntunan Islam, yakni iman, Islam, dan ihsan.

Mastaka atau mahkota atap masjid baru dibangun semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV. Awalnya mastaka dibuat dari lapisan emas murni seberat 7,68 kg seharga 192 ringgit (kini sudah diganti dengan bahan metal). Bentuknya berbeda dengan masjid- masjid lain yang biasanya berhiaskan bulan sabit dan sebuah bintang. Kubah dan mastaka Masjid Agung Surakarta berbentuk paku yang menancap di bumi. Itulah simbol dari "Pakubuwana", yang secara harfiah berarti Penguasa Bumi.
.
Bagian dalam ruang utama Masjid Agung Surakarta.
.
Pembangunan berikutnya berlangsung di masa Sunan Pakubuwana VIII, meliputi pembuatan Pawastren yang menyerupai bangunan gandok dalam rumah adat Jawa, serta Surambi yang digunakan sebagai aula untuk pengajian akbar dan acara resmi hari-hari besar Islam, balai pernikahan, dan upacara sholat jenazah. Di tahun 1906, Sunan Pakubuwana X juga mendirikan Pesantren dan Madrasah Mambaul Ulum di sisi selatan masjid, guna semakin memperkokoh fungsi Masjid Agung Surakarta sebagai pusat keagamaan dan pendidikan Islam di Kasunanan Surakarta. Madrasah Mambaul Ulum masih beroperasi sampai saat ini.

Kompleks Pagelaran Sasana Sumewa 

Dimulai dari kawasan di sebelah timur dan barat dari Waringin Gung dan Waringin Binatur, dimana pada terdapat tiga meriam yang ditempatkan dua di sebelah timur Waringin Gung dan yang satu berada di sebelah barat Waringin Binatur. Ketiga meriam itu memiliki nama dan arti simbolisnya masing masing (Kyai Pancawara, Kyai Syuhbratsa, Kyai Segarawana).
.
Pagelaran Sasana Sumewa.
.
Pagelaran Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan Waringin Gung dan Waringin Binatur. Dibangun pada tahun 1913, awalnya bangunan ini merupakan bangunan yang hanya beratapkan anyaman bambu dan beralaskan tanah. Setelah restorasi bangunan oleh Sunan Pakubuwana X, bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester.

Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat; sumewa = menghadap), fungsi Pagelaran Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sunan, peringatan naik takhta, dan sebagainya. Sekarang bangunan Pagelaran Sasana Sumewa juga dipergunakan sebagai tempat menggelar acara pameran, festival budaya, pertunjukan wayang kulit, pengajian akbar, dan lain-lain.
..
Salah satu meriam di halaman Pagelaran Sasana Sumewa.

Tugu Tomaswarsa di depan Pagelaran Sasana Sumewa.
..
Di sebelah timur meriam Kyai Pancawara terdapat Tugu Tomaswarsa, yaitu tugu peringatan 200 tahun berdirinya Kasunanan Surakarta yang dibangun oleh Sunan Pakubuwana X. Di sebelah barat Tugu Tomaswarsa terdapat bangunan bangsal dengan konstruksi atap limasan terbuka, yang dinamakan Bangsal Pemandengan, yaitu tempat menyediakan kuda kandengan (kuda yang khusus untuk dinaiki Sunan). Pada bangsal tersebut untuk bagian timur diberi peralatan simbol kerajaan dan yang berada di sebelah barat diberi peralatan khusus keprajuritan (sekarang sudah tidak ada).

Di sebelah timur dan barat Bangsal Pamandengan terdapat dua buah bangsal dengan konstruksi limasan terbuka dan kolom pilar bulat yang diberi nama Bangsal Paretan. Kedua bangsal tersebut berfungsi sebagai bangsal untuk menyiapkan kendaraan atau kereta kuda pada saat Sunan akan mengadakan tinjauan lapangan.
..
Bangsal Pacikeran di sisi barat Pagelaran Sasana Sumewa.
..
Pada zaman dulu, di sebelah utara Bangsal Paretan terdapat Wantilan atau tambatan gajah yang terbuat dari kayu jati besar bulat. Tambatan ini biasanya digunakan untuk menambatkan gajah pada peringatan grebeg, yang diselenggarakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Pada perayaan grebeg tersebut biasanya terdapat dua ekor gajah yang diberi atribut pelana merah, dan pada bagian mukanya dihias hingga menyerupai rupa gajah dalam pewayangan.

Masih di sekitar Bangsal Paretan, di sebelah poros Utara-Timur bagian timur, terdapat Bangsal Patalon, yang pada zaman dulu digunakan sebagai tempat membunyikan gamelan Kyai Singakrungu pada setiap hari Sabtu sore, mengiringi latihan perang yang disebut watangan.
 .
Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa.

Bangsal Pangrawit.
..
Bangsal Pangrawit (rawit = indah; ngrawit = memperindah; pangrawit = yang memperindah), adalah sebuah semi-bangunan kecil yang berada di tengah Pendhapa Sasana Sumewa. Berdasarkan legenda, Bangsal Pangrawit tersebut merupakan pusaka peninggalan Kerajaan Majapahit; dimana pada saat Keraton Majapahit hancur menjadi telaga, yang tersisa hanya dua bangsal, yaitu Bangsal Pangrawit dan Bangsal Pangapit, lalu keduanya dibawa ke keraton Kesultanan Demak Bintara, yang kemudian diwariskan secara turun temurun hingga berada di Keraton Surakarta. Dilihat secara detail fisiknya, wujud bangsal tersebut telah dibuat baru kembali, yang artinya sudah bukan bangunan asli peninggalan Majapahit. Sementara bagian asli dari pusaka peninggalan Majapahit yang masih tersisa adalah sebuah batu persegi yang terletak di lantai tengah bangsal, yaitu tempat duduk Sunan.

Kompleks Siti Hinggil Lor (Utara)

Di selatan Pagelaran Sasana Sumewa, terdapat kawasan Siti Hinggil Binata Warata (Siti Hinggil Lor), yang merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu di sebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu di sebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Siti Hinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang dahulu digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala para tersangka yang menerima hukuman mati yang disebut dengan Sela Pamecat.
.
Kori Wijil dan Tratag Siti Hinggil Lor (Sasana Sewayana).
.
Bangsal Manguntur Tangkil.
..
Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil Lor adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Di halaman sisi utara Sasana Sewayana terdapat delapan pucuk meriam dari barat ke timur masing-masing adalah Kyai Bringsing, Kyai Bagus, Kyai Nakula, Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi, Kyai Sadewa, Kyai Alus, dan Kyai Mahesa Kumali atau Kyai Kadal Buntung.

Di dalam bangunan Sasana Sewayana, terdapat sebuah struktur semi-bangunan yang disebut Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana takhta Sunan saat menerima para pimpinan, saat upacara grebeg, dan perayaan lainnya. Di tengah Bangsal Manguntur Tangkil terdapat batu persegi yang ditanam rata dengan tegel lantai (tetapi masih terlihat), dimana batu ini merupakan batu pusaka peninggalan dari Kerajaan Jenggala yang pada zaman itu merupakan tempat duduk Raja Suryawisesa (Panji Hinu Kertapati).
.
Penobatan Sunan Pakubuwana XIII pada tahun 2004 di Bangsal Manguntur Tangkil.

Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng (tempat disemayamkannya pusaka Meriam Nyai Setomi).
..
Kemudian di sebelah selatan Bangsal Manguntur Tangkil terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng (manguneng = mengheningkan cipta) yang merupakan tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Kesultanan Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. R.Ng. Ranggawarsita dalam Serat Raja Puwara Banjaransari II menulis bahwa Meriam Nyai Setomi memiliki pasangan yaitu Meriam Kyai Setama (alias Si Jagur, yang kini berada di Museum Sejarah Jakarta); sumber lain, menyebutkan bahwa pasangan Si Jagur adalah meriam Ki Amuk di Banten. Pada awalnya bangsal ini dibuat oleh Sunan Pakubuwana III, yang kemudian dibangun kembali oleh Sunan Pakubuwana IX yang ditandai oleh candrasengkala yang berbunyi Inggiling Siti Hinggil Kaesti Ratu, yang menunjuk tahun 1810 Jawa.
.
Gedhong Balebang (Bale Bang).

Bangsal Gandhekan Kiwa.
..
Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Bangsal Witana, terdapat dua bangunan, yaitu Bangsal Gandhekan Tengen di bagian utara yang digunakan untuk tempat memukul Gamelan Kodhok Ngorek, dan Bangsal Angun-angun di bagian selatan sebagai tempat untuk memukul Gamelan Munggang.


Di sebelah baratnya berdiri dua bangunan, masing-masing adalah Bangsal Gandhekan Kiwa di sisi utara yang digunakan sebagai tempat menyiapkan sarana pesta dan upacara, serta Bale Bang di sisi selatan yang digunakan sebagai tempat menyimpan gamelan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil Lor merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan supit urang (capit udang), dipisahkan dengan gerbang rangkap yang bernama Kori Renteng.


Bangsal Gandhekan Tengen.

Bangsal Angun-Angun.
..
Kompleks Kamandungan Lor (Utara)

Kori Brajanala (Kori Brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor dari arah Siti Hinggil Lor dan Jalan Supit Urang. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam keraton yang dilingkungi oleh dinding besar yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam keraton dan Kawasan Baluwarti. Kata baluwarti sendiri merupakan serapan dari kata dalam bahasa Portugis, "baluarte", yang berarti dinding pertahanan.

Gerbang atau Kori Brajanala ini dibangun oleh Sunan Pakubuwana III dengan gaya semar tinandu pada tahun 1782. Semar tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.


Kori Brajanala Lor dengan Jam Panggung serta dua Bangsal Brajanala dilihat dari Kori Renteng dan Jalan Supit Urang.

Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisamarta Tengen dan Bangsal Wisamarta Kiwa, sementara di sisi luarnya (menghadap Jalan Supit Urang) terdapat Bangsal Brajanala Tengen dan Bangsal Brajanala Kiwa. Masing-masing tempat ini berfungsi sebagai pondok jaga para pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng, dengan lonceng besarnya yang disebut Jam Panggung.
.
Di bagian atas pintu gerbang terdapat sengkalan memet berupa kulit sapi persegi, yang diartikan sebagai Lulang Sapi Siji atau Wolu Ilang Sapi Siji, yang dibaca sebagai tahun 1708 Jawa (1782 Masehi) dan itu merupakan tahun pembangunan Kori Brajanala oleh Sunan Pakubuwana III. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung (Menara) Sangga Buwana yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti Lor.
.
Bangunan bekas barak prajurit sisi barat dan Masjid Paramasana (di sebelah kiri).

Kori Gapit Wetan dan Kori Gapit Kulon (Kori Gapit Kulon tampak di belakang).
.
Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong, yang juga merupakan jalan yang biasa dilalui masyarakat umum. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Di sisi timur dan barat halaman ini terdapat barak prajurit, yang pada zaman dulu untuk barak sisi timur digunakan oleh prajurit Kasunanan Surakarta dan barak sisi barat digunakan oleh prajurit KNIL (pada masa Hindia Belanda). Sekarang bangunan-bangunan tersebut berfungsi sebagai kantor-kantor keraton. Di masing-masing sisi halaman Kamandungan Lor terdapat dua gerbang untuk menuju ke kawasan dalam Baluwarti, masing-masing adalah Kori Gapit Wetan dan Kori Gapit Kulon.


Kori Kamandungan Lor dan Balerata dengan latar belakang Panggung Sangga Buwana.

Kori Kamandungan Lor dan Balerata dengan latar belakang Panggung Sangga Buwana di tahun 1930.
.
Bangunan utama di kompleks ini adalah Kori Kamandungan Lor yang dibangun pada tahun 1819 (disebut juga Balerata, karena di kanan-kiri bangunan terdapat garasi mobil dan kereta istana), sebuah gerbang dengan teras terbuka yang bagian atasnya dihiasi dengan ukiran besar berwarna biru-putih (dibuat pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X). Di bagian atas gerbang Balerata terdapat gambar bendera merah putih dan bermacam senjata perang, di mana di tengahnya terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota.

Gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari Kesultanan Mataram tempo dulu. Pada dindingnya juga dipasang beberapa kaca pengilon, yaitu sebuah cermin berukuran besar. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca Dwarapala yang dibuat pada tahun 1930.
 .
Bagian dalam Kori Kamandungan Lor.

Di sebelah kiri dan kanan Balerata terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan mobil-mobil yang akan dipakai oleh Sunan. Sekarang tempat ini berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton. Sebagian kereta juga tersimpan di Kompleks Museum Keraton. Los-los kereta milik keraton juga terdapat di sebelah barat halaman Kamandungan Lor (melewati Kori Gapit Kulon), tepatnya di sisi utara Kori Talang Paten dan menara pengawas yang disebut Panggung Indra.
.
Kori Talang Paten sendiri merupakan sebuah gerbang sekunder yang terletak di sebelah barat halaman Kamandungan Lor, yang merupakan salah satu jalan masuk menuju halaman Gedhong Langen Katong dan Sasana Putra.


Kori Talang Paten dan Panggung Indra di sisi barat.


Arca singa dan garasi kereta di sisi utara Kori Talang Paten.

Kompleks Sri Manganti Lor (Utara)

Sri Manganti Lor adalah suatu kawasan yang terletak di sebelah selatan Kamandungan Lor. Sri Mangati adalah bentukan kata dari "sri", yang berarti raja, dan "manganti", yang berarti menunggu. Sehingga dari namanya, fungsi tempat tersebut adalah tempat tunggu yang digunakan Sunan untuk menyambut tamu agungnya, atau juga dapat diartikan sebagai tempat menunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk ke dalam Kompleks Kedhaton. Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang, Kori Kamandungan Lor.

Halaman Sri Manganti Lor dapat dicapai dari Kori Kamandungan Lor menuju ke arah selatan. Pada bagian barat halaman Sri Mangati Lor ini, terdapat bangunan besar menghadap ke timur yang dinamakan Bangsal Marakata atau Smarakata, dimana nama lengkapnya adalah Bangsal Asmarakata. Kata "asmarakata" sendiri memiliki arti sebagai dawuh kang nengsemake atau perkataan yang menyenangkan. Bangunan bangsal tersebut berfungsi sebagai tempat para Abdi Dalem Bupati Lebet yang akan menghadap Sunan, dan juga sebagai tempat untuk pemberian hadiah atau penghargaan bagi para Abdi Dalem Lebet, serta untuk mewisuda para Abdi Dalem Panewu Mantri. 
.
Bangsal Marakata.

Bangsal Marcukundha.

Kori Sri Manganti Lor dan Panggung Sangga Buwana.
.
Di bagaian timur halaman Sri Manganti Lor, terdapat bangunan besar menghadap ke barat (berhadapan dengan Bangsal Marakata), bernama Bangsal Marcukundha, yang didirikan pada tahun 1814.  Di belakang Bangsal Marcukundha terdapat bangunan Panti Pidana, sebagai tempat pengadilan internal keraton.
.
Bangsal Marckundha sendiri berfungsi sebagai tempat para opsir prajurit dalem saat menghadap Sunan. Sekarang tempat ini untuk tempat belajar-mengajar Pawiyatan Pambiwara (sekolah pambiwara/pranatacara/pembawa acara milik keraton) serta untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.

Koridor dari arah Kori Kamandungan Lor menuju Kori Sri Manganti Lor.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, yakni pada halaman Sri Manganti dan halaman Kedhaton. Namun demikian pintu utamanya terletak di halaman Kedhaton. Panggung Sangga Buwana didirikan tahun 1777 saat pemerintahan Sunan Pakubuwana III (1749-1788). Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat gambar seseorang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai sengkala Naga Muluk Tinitihan Janma. Arti sengkala tersebut adalah 1708, Tahun Jawa pembuatan menara.
.
Menara Panggung Sangga Buwana berdiri dengan tinggi 30 meter, bertingkat 4 dengan model atap tutup saji bersudut 8. Menara tersebut berfungsi juga sebagai tempat pengawasan jauh atau uit kijk guna mengamati lingkungan sekitar keraton khususnya dari Supit Urang dan Benteng Vastenburg. Salah satu fungsi ritual Panggung Sangga Buwana adalah sebagai tempat meditasi bagi Sunan.
.
Para penari bedhaya di Bangsal Marakata.

Krobongan Madirengga (tempat duduk putra Sunan ketika upacara khitan) di Bangsal Marcukundha.
.
Kompleks Kedhaton
.
Kawasan Kedhaton merupakan bagian utama dari keseluruhan bangunan Keraton Surakarta. Dari timur ke barat, kita akan melihat beberapa bangunan Jawa. Salah satunya adalah Maligi, sebuah pendhapa berukuran kecil berbentuk limasan jubang, tidak berserambi, bertiang delapan, yang didirikan di tahun 1882. Tempat ini dipisahkan dengan Kompleks Sri Manganti Lor dengan Kori Sri Manganti Lor; gerbang yang dibangun oleh Sunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan nama Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya semar tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. 


Kori Sri Manganti Lor dilihat dari halaman Kedhaton (tampak selasar Nguntarasana di sisi barat).

Gedhong Langen Katong.

Bagian kanan dan kiri pintu ini dipasang beberapa cermin besar dan dihiasi oleh ragam hias berwarna putih-biru di atas pintu gerbang. Di sisi barat gerbang ini terdapat bangunan Nguntarasana (ruang tunggu para pangeran sebelum menghadap Sunan), Gedhong Langen Katong (bangunan bertingkat tempat Sunan berkarya), dan Kantor Sasana Wilapa (Kesekertariatan Keraton). Halaman utama Kompleks Kedhaton ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae) yang ditanam atas prakarsa Sunan Pakubuwana IX.
.
Pohon sawo kecik sendiri mengandung makna filosofis, yaitu melambangkan seorang mukmin yang sarwa becik, yang berarti serba baik. Jumlah 72 pohon juga diambil dari tahun Jawa 1872, atau tahun Masehi 1945; yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, seperti yang sudah diramalkan oleh R.Ng. Ranggawarsita. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Halaman utama Kompleks Kedhaton dikelilingi beberapa bangunan utama, diantaranya adalah Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa atau Dhatulaya, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. 
.
Halaman Kedhaton yang dilapisi pasir halus dan ditanami pohon sawo kecik (tampak di belakang adalah Bangsal Pradangga Lor dan Bangsal Pradangga Kidul atau Bangsal Musik).

Bangsal Maligi yang terletak di depan Sasana Sewaka.

Sunan Pakubuwana X bersama Raja Rama V (Chulalongkorn) di Bangsal Maligi pada tahun 1901.
.
Sasana Sewaka merupakan pendhapa utama dari keseluruhan pendhapa yang terdapat di Keraton Surakarta. Bangunan ini aslinya merupakan bangunan peninggalan pendhapa Keraton Kartasura. Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini (bersama dengan Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, dan Sasana Handrawina) pernah mengalami musibah kebakaran.
.
Di bangunan Sasana Sewaka ini pula Sunan bertakhta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalandalem jumenengan (peringatan hari kenaikan takhta) dan ulang tahun Sunan. Pendhapa besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya yang disebut Paningrat, dibangun pada tahun 1880. Di sisi timur Sasana Sewaka terdapat Bangsal Maligi yang dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IX pada tahun 1882, awalnya berfungsi sebagai tempat mengkhitankan putra Sunan dari permaisuri.
.
Upacara peletakan batu pertama pembangunan kembali bangunan Sasana Handrawina oleh Sunan Pakubuwana XII.

Pada selasar bagian selatan terdapat dua rangkaian gamelan yaitu Kyai Kadukmanis dan Kyai Manisrengga. Di tengah-tengah bangunan Sasana Sewaka terdapat lampu kristal rasaksa yang disebut Kyai Remeng. Pada zaman dahulu, Sunan berkenan lenggah sinewaka (duduk mengheningkan cipta) di Sasana Sewaka setiap hari Senin dan Kamis. Di sisi timur bagian tengah bangunan Sasana Sewaka dulunya terdapat semacam krobongan yang disebut Bale Bukasri, yang berfungsi sebagai sasana singgasana takhta Sunan.
.
Sebagai pendhapa utama, fungsi dan kedudukan bangunan Sasana Sewaka ini bersifat khusus, karena merupakan pusat dari semua kegiatan upacara serta berbagai prosesi adat dan keagamaan yang selalu melibatkan Sunan dan para bangsawan serta abdi dalem berpangkat tinggi. Menurut kepercayaan, Sasana Sewaka ini mempunyai kekuatan magis. Konon kepercayaan tersebut terbukti pada saat Presiden Sukarno hendak berkunjung menghadap Sunan Pakubuwana XII pada tahun 1945. Presiden yang akan memasuki Pendhapa Sasana Sewaka, tiba-tiba menolak karena saat itu beliau merasakan suatu daya gaib, sehingga terpaksa Presiden Sukarno diterima oleh Sunan di Sasana Handrawina.
.
Bagian dalam Pendhapa Sasana Sewaka.

Sunan Pakubuwana XI duduk di Bale Bukasri saat menerima kunjungan Sultan Hamengkubuwana VIII pada tahun 1939.

Sasana Parasdya dan pintu masuk menuju Dalem Ageng Prabasuyasa (saat era Sunan Pakubuwana X).
.
Di sebelah barat bangunan Sasana Sewaka terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan atau tempat menggelar pertunjukan wayang kulit. Pada masa Sunan Pakubuwana X, tempat ini diahlihfungsikan sebagai tempat untuk menerima tamu tidak resmi. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa (praba = cahaya, suyasa = rumah/kediaman). Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh bangunan yang ada di Keraton Surakarta.
.
Di Dalem Ageng Prabasuyasa inilah disemayamkan pusaka-pusaka kebesaran dan juga singgasana takhta (Dhampar Kencana) Sunan serta regalia yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sunan bersumpah ketika mulai bertakhta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan rakyat dan tamu undangan di Bangsal Manguntur Tangkil, Siti Hinggil Lor. Selain itu, Dalem Ageng Prabasuyasa juga menjadi tempat para bangsawan perempuan dan para istri serta permaisuri Sunan menghadap saat upacara-upacara besar diadakan di Sasana Sewaka, seperti saat tingalandalem jumenengan.

Krobongan di dalam Dalem Ageng Prabasuyasa (saat era Sunan Pakubuwana X).
.
Sunan Pakubuwana XII menunjukkan salah satu keris pusaka kepada Presiden Suharto di Dalem Ageng Prabasuyasa.
.
Sunan Pakubuwana XIII dan Kangjeng Ratu Pakubuwana di Dalem Ageng Prabasuyasa saat upacara pembagian nasi hasil Adang Tahun Dal kepada keluarga dan masyarakat pada tahun 2017.

Di sisi selatan Sasana Sewaka, terdapat bangunan serupa aula berdinding kayu berukir (gebyok) yang disebut Sasana Handrawina. Bangunan ini didirikan pada masa Sunan Pakubuwana V. Awalnya orang menyebut tempat ini Pendhapa Ijo, karena dahulu bercat hijau, sebelum dipugar pada masa Sunan Pakubuwana X. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini Sasana Handrawina juga difungsikan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Surakarta.
.
Di tempat ini pula Sunan menjamu para raja-raja mancanegara yang berkunjung ke Surakarta, termasuk Raja Rama V (Chulalongkorn) dari Thailand (tahun 1896 dan 1901), Adipati John Albert Mecklenburg-Schwerin dari Jerman (1910), Pangeran Leopold (kemudian menjadi Raja Leopold III) dari Belgia (1929), Raja Rama VII (Prajadhipok) dari Thailand (tahun 1929), Ratu Juliana (yang saat itu sudah berkedudukan sebagai ratu suri) dari Belanda (tahun 1982), dan Raja Norodom Sihanouk dari Kamboja (tahun 1984). Di depan Sasana Handrawina terdapat tiga bangunan serupa bangsal yang berukuran kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga Lor (tempat memainkan gamelan), dan Bangsal Pradangga Kidul atau Bangsal Musik (tempat memainkan musik moderen atau orkes).
.
Dinding gebyok Sasana Handrawina tampak luar.

Bagian dalam Sasana Handrawina.

Sarana perjamuan di Sasana Handrawina.

Pada bagian selatan Sasana Handrawina terdapat bangunan dua lantai yang disebut Sasana Pustaka dan Drawisana, yaitu bangunan perpustakaan istana yang berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai kitab kuno dan naskah-naskah kerajaan. Perpustakaan ini dibuka dan diresmikan pada 12 Januari 1920 oleh Sunan Pakubuwana X.
.
Perpustakaan ini menyimpan buku-buku babad tentang raja-raja Surakarta dan Dinasti Mataram, sejarah pengetahuan tentang kebudayaan keraton serta informasi lainnya. Di Sasana Pustaka juga tersimpan koleksi surat kabar kuno (seperti Bramartani), beberapa buku kuno yang telah disampul khusus, atas kerjasama keraton dengan Japan Foundation dan Ford Foundation. Sasana Pustaka terbuka untuk umum dengan syarat pengunjung harus membawa surat pengantar dari instansi, lembaga, atau surat permohonan pribadi, dengan menyebutkan tujuan dan keperluan mengunjungi perpustakaan.
...
Bangunan Sasana Pustaka tampak dari luar.

Ruangan bagian dalam Sasana Pustaka.
...
Pada sisi timur Kompleks Kedhaton terdapat Museum Keraton Surakarta yang diresmikan di masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XII pada tahun 1963, sebagai bagian dari realisasi program pariwisata nasional pertama oleh Presiden Sukarno. Bangunan yang dijadikan museum tersebut merupakan bekas Kompleks Kadipaten atau Panti Pangarsa, sebuah kawasan kantor-kantor urusan rumah tangga istana. Kantor-kantor yang terdapat dalam Kompleks Kadipaten adalah Bale Kretarta (Kantor Pemerintah Keraton), Reksa Hardana (Kantor Kas dan Keuangan Keraton), Sitaradya (Kantor Pembesar Pemerintah Keraton), Kantor Mandrasana (Kantor Urusan Kebutuhan Harian), Bale Karta (Kantor Urusan Perbelanjaan Keraton), serta Gedhong Karyalaksana (tempat memasak).
.
Pintu masuk utama kawasan museum ini terdapat di Jalan Sidikara (dari halaman Kamandungan Lor ke arah selatan melewati Kori Gapit Wetan), sekaligus menjadi pintu masuk utama bagi wisatawan umum yang ingin menuju Kompleks Kedhaton. Setelah museum diresmikan, perkantoran istana berpindah di Kompleks Kamagangan sampai sekarang. Di tengah kompleks museum terdapat halaman yang di tengahnya berisi hiasan patung-patung bergaya Eropa, batang kayu jati dari Hutan Danalaya, dan sebuah sumur yang bernama Sumur Kakipaten (atau dikenal pula dengan sebutan Sumur Sanga).
 .
Patung Sunan Pakubuwana VI di beranda Kantor Kusuma Wandawa yang terletak di dekat pintu masuk Museum Keraton Surakarta.

Halaman tengah Museum Keraton Surakarta.

Salah satu sudut bagian dalam Museum Keraton Surakarta.
.
Sebelah barat Kompleks Kedhaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini juga melingkupi kawasan Keraton Kilen (harfiah = istana barat), yang merupakan tempat tinggal resmi Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Kawasan tertutup ini terhitung mulai dari sebelah barat dan selatan Dalem Ageng Prabasuyasa.
.
Dari arah Dalem Ageng Prabasuyasa, di sebelah selatan bangunan utama keraton tersebut terdapat Dalem Pakubuwanan, sebagai kediaman permaisuri tertua Sunan yang bertakhta. Di Dalem Pakubuwanan juga terdapat bangunan-bangunan yang berisi kamar tidur, kamar busana, ruang makan, dan ruang bersantai, termasuk diantaranya Madusuka (kamar tidur Sunan) serta Madusita (ruang khusus untuk sarapan pagi Sunan). 

Salah satu bagian Dalem Pakubuwanan.
.
Kamar Gading Dalem Pakubuwanan.

Pada kawasan Pakubuwanan ini juga terdapat taman asri yang disebut Nganjarsari. Di bagian selatan Pakubuwanan terdapat kompleks bangunan yang menghadap ke arah utara, dinamakan Sasana Hadi. Kompleks ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana IX, yang di dalamnya juga terdapat bangunan Bangsal Parankarsa yang berfungsi sebagai tempat bersantai Sunan dan keluarganya. Sasana Hadi pernah digunakan sebagai tempat tinggal resmi Sunan Pakubuwana XII.
.
Kompleks lain yang terdapat dalam kawasan tertutup ini adalah Kompleks Argapura dan Argapeni/Gunungan, yang terletak di belakang Dalem Ageng Prabasuyasa. Dibangun atas prakarsa Sunan Pakubuwana X pada tahun 1911, kawasan bukit buatan yang ditanami beberapa pohon jati dan pohon salam dari Alas Ketangga ini dikelilingi taman yang disebut Baleretna. Fungsi dari kompleks ini adalah sebagai replika Gunung Meru (melambangkan pusat alam semesta) dalam mitologi Jawa pra-Islam dan sebagai tempat Sunan dan keluarganya berlindung jika sewaktu-waktu istana diserang musuh. Di sisi barat Kompleks Argapura terdapat Taman Sari Bandengan (diambil dari nama sejenis ikan air tawar, ikan bandeng). Di kompleks ini terdapat kolam buatan dan di tengahnya berdiri bangunan semacam mushola yang digunakan sebagai ruang meditasi dan bermunajat oleh Sunan.
>
Bangsal Parankarsa atau Dalem Sanadi (saat era Sunan Pakubuwana X).

Bangunan Argapura atau Gunungan.
.
Pada sisi barat kolam terdapat bangunan Gedhong Tenggan (Gedhong Puspan Lor dan Gedhong Puspan Kidul), tempat para abdi dalem yang bertugas mengurus kamar Sunan. Di antara bangunan Gedhong Tenggan terdapat bangunan yang berisi batu meteor keramat. Pada sisi utara kolam terdapat bangunan Banoncinawi, tempat para selir Sunan. Di sebelah barat daya Kompleks Taman Sari Bandengan terdapat masjid yang bersifat pribadi yaitu Masjid Pudyasana (Pujasana), yang dibangun pada tahun 1912. Di masjid ini pula jenazah Sunan dan permaisuri disucikan sebelum diberangkatkan ke pekamaman.
.
Kawasan Keraton Kilen sendiri terletak di sebelah selatan Taman Sari Bandengan, dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X pada tahun 1904. Suatu ketika, Kasunanan Surakarta pernah diramalkan hanya akan berumur 200 tahun. Oleh karena itu, Sunan Pakubuwana X, setelah mendapat petunjuk gaib, mewiradati agar Kasunanan Surakarta dapat langgeng sepanjang masa dengan membuat Keraton Kilen (keraton yang berada di dalam keraton sisi barat) dengan nama lengkap Keraton Kilen ing Prabasana.
.
Kawasan Taman Sari Bandengan.
.
Pendhapa utama Keraton Kilen ing Prabasana.

Makna simbolisme pada kata "prabasana" dimaksudkan sebagai suatu penerang yang memancarkan kesegaran. Perlambang tersebut diwujudkan pada wujud fisik bangunan Keraton Kilen yang didominasi warna hijau; melambangkan kesegaran dan keasrian alam yang dipenuhi berbagai tumbuh-tumbuhan (tetuwuhan), termasuk tanaman padi, sebagai wujud lambang kasih sayang atau kecintaan antar keluarga Sunan serta simbol cinta dan pengayoman Sunan kepada rakyat. "Prabasana" juga memiliki makna harapan, agar para keturunan keraton senantiasa dapat memancarkan sinar secara alami yang memiliki kekuatan dan keastian/percaya diri secara seimbang. Selain itu, bangunan Keraton Kilen juga dihiasi dengan motif Bunga (Kembang) Wijayakusuma, yang melambangkan sumber kekuatan dan kelanggengan bagi keraton. Pada gilirannya, para Sunan yang kelak memimpin kerajaan diharapkan memiliki ketegaran dan teguh pendirian dalam menjalankan cita-cita luhur para pendahulu.
.
Selain Keraton Kilen, bangunan-bangunan lain yang berada di kawasan bagian barat Keraton Surakarta yang tertutup ini termasuk Keputren (kediaman putri-putri Sunan), Kesatriyan (kediaman putra-putra Sunan), Sasana Putra, dan Sasana Narendra (semula bernama Dalem Nganjras, selesai direvitalisasi pada tahun 2002 oleh Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat) yang sekarang menjadi tempat tinggal resmi Sunan Pakubuwana XIII.
.
Sasana Narendra (kediaman resmi Sunan Pakubuwana XIII).
.
Keputren terdiri dari bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal putri-putri keraton. Di dalamnya termasuk bangunan Panti Rukmi, yang berfungsi sebagai kediaman para istri selir Sunan. Kawasan Keputren sendiri juga dilengkapi dengan semacam pasar yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari, dan semua abdi dalem yang bertugas di kawasan ini adalah abdi dalem perempuan, sehingga Keputren sangat tertutup bagi pria.
.
Sementara kawasan Kesatriyan yang merupakan tempat tinggal para pangeran keraton, terdiri dari tiga bangunan utama yaitu Bangsal Kesatriyan, Dalem Kesatriyan (terdiri dari bangunan Gedhong Putra Dalem, Gedhong Purwarukma, dan Gedhong Sri Katon), dan Keparak Gusti (tempat abdi dalem yang bertugas melayani para pangeran).
.

Lorong di sekitar Panti Busana.
.
Kompleks Sri Manganti Kidul (Selatan) dan Kompleks Magangan (Kamagangan)

Kompleks Sri Manganti Kidul dan Magangan dipisahkan dengan Kompleks Kedhaton oleh Kori Sri Manganti Kidul. Kompleks ini dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendhapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang dipugar pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XIII. Di sekeliling halaman ini selain terdapat kantor-kantor urusan istana dan kerajaan juga ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit seperti keris, pedang, tombak, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk upacara hari-hari besar kerajaan.
.
Keluar dari area Magangan, melalui pintu Kori Gadung Mlathi/Saleko/Sembagi kita akan menjumpai pelataran Sri Manganti Kidul/Selatan. Kata "gadung-mlathi" (putih dan hijau) bermakna simbolis hubungan keraton dengan ratu penguasa Laut Selatan (Kangjeng Ratu Kencanasari). "Saleko" bermakna hubungan vertikal antara hamba dengan Allah SWT. Sedangkan kata "sembagi" bermakna bersatunya semua warna menjadi warna putih. Kawasan Sri Manganti Kidul/Selatan hanyalah berupa pelataran kosong yang digunakan saat upacara pemakaman Sunan maupun permaisuri.
.
Pintu Kori Sri Manganti Kidul.

Prajurit keraton di Bangsal Kamagangan (Magangan).
.
Kompleks Kamandungan Kidul (Selatan)

Pintu masuk keraton dari arah selatan ini dihiasi dengan hiasan dekoratif sarat makna, salah satunya rangkaian bunga melati yang bermakna kesucian. Di sekitar pintu ini akan dijumpai lagi pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum. Di bagian paling selatan keraton ini juga terdapat Kompleks Gandarasan (Gondorasan) yang merupakan dapur istana.
.
Kori Kamandungan Kidul.

Kori Brajanala Kidul.
.
Melewati Kori Kamandungan Kidul akan dapat dijumpai Kori Brajanala Kidul. Di sebelah kiri dan kanan Kori Brajanala Kidul terdapat Bangsal Nyutra dan Bangsal Mangundara. Kemudian ada lagi Jalan Supit Urang Wetan dan Supit Urang Kulon yang di tengah-tengahnya terdapat Kompleks Siti Hinggil Kidul. Serta akhirnya sampai di Alun-Alun Kidul dan terus ke selatan keluar area keraton melalui Gapura Gading.
.
Kompleks Siti Hinggil Kidul (Selatan)

Kori Brajanala Kidul memberikan akses ke Kompleks Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul adalah suatu kompleks bangunan pendhapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek, didirikan 2 Rabiulakir Wawu 1721, dan pada zaman dahulu terdapat 4 meriam, 2 diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kawasan Siti Hinggil Lor yang megah, kawasan Siti Hingil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.
 .
Pendhapa Siti Hinggil Kidul.

Pusaka kerbau-kerbau albino keturunan kerbau Kyai Slamet.
 .
Kebalikan utara dan selatan bangunan di keraton berkaitan dengan filosofi Jawa, Donya Sungsang Walik. Bangunan-bangunan di utara keraton yang megah melambangkan nafsu dan keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di bagian selatan melambangkan dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah SWT, manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi. Dalam tahap spiritual ini manusia harus fokus dan berorientasi kepada Allah SWT. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa kerbau albino keturunan kerbau Kangjeng Kyai Slamet (yang hidup pada masa Sunan Pakubuwana II). 

Alun-Alun Kidul (Selatan)

Di sebelah selatan Kompleks Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul. Alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-Alun Lor. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan di sekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat dua bangunan yang di dalamnya disemayamkan sebuah gerbong kereta yang pernah digunakan untuk membawa jenazah Sunan Pakubuwana X dan Sunan Pakubuwana XI menuju ke pemakaman Astana Pajimatan Girireja Imagiri (Imogiri).
,
Alun-Alun Kidul.

Gerbong jenazah Sunan Pakubuwana X.

Gapura Gading.
.
Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan  bangunan yang bernama Gapura Gading. Pada tahun 1932, Sunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang lagi di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra (tiga gapura raja), gapura terakhir yang ditambahkan oleh Sunan Pakubuwana X inilah yang saat ini dikenal masyarakat sebagai Gapura Gading.
.

.

  • Dwi Ratna Nur Hajarini, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 979-9335-01-9.
  • Eko Adhy Setiawan. 2000. Konsep Simbolisme Tata Ruang Luar Keraton Surakarta. Universitas Diponegoro Semarang.
  • KRMH. Yasadipura. 1994. Karaton Surakarta Hadiningrat, Bangunan Budaya Jawa sebagai Tuntunan Hidup/Pembangunan Budi Pakarti Kejawen. Macrodata Surakarta.
  • Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta. 2006. Karaton Surakarta: A Look Into the Court of Surakarta Hadiningrat, Central Java. Marshall Cavendish Singapore. ISBN 981-261-226-2.
  • Wawancara dengan KGPH. Puger oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (2016).
  • https://www.instagram.com/kraton_solo/
  • https://www.karatonsurakarta.com
  • Foto dari dokumentasi Bauwarna dan berbagai sumber.

Komentar

  1. lebih baik lagi ada foto-foto bangunan dalam istana dan bentuk roemahnay. Seperti roemah bangsawan siapa ? Sangat menmyenangkan.

    BalasHapus
  2. Sip...sip... lumayan komplit. ....Baru lumayan lho..... !! Yang " istimewa" adalah : yang tak banyak diketahui orang. Yaitu wilayah2 yang tertutup untuk umum, ituuu.... Masih banyak yang istimewa di "dalam" lho mas. Tenan !!! Tapi itu dulu, entah sekarang............salam kenal yo...maturnuwun atas perhatiannya pada kutha Sala.

    BalasHapus
  3. Hello, I have enjoyed your photos of Karaton Surakarta, and wish to use some of them in a presentation I am making to a small study group. Very good pictures!

    BalasHapus
  4. lengkap sekali kang, seperti membuka buku. makasih infonya kang. happy blogging

    BalasHapus
  5. Terimakasih infonya. Sangat lengkap sekali

    BalasHapus
  6. Sangat membantu informasinya untuk kelengkapan wawasan sejarah Mataram

    BalasHapus
  7. bagus sekali..
    silahkan kunjungi juga situs saya di https://mydanangajippns.wordpress.com/ dan http://ppns.ac.id/

    BalasHapus
  8. Matur nuwun sanget, mimbuhi pangertosan dhateng para kawula, mugi mugi kraton kasunanan surakarta hadiningrat sangsaya kuncara,Aminnn... Sepisan malih matur nuwun sanget. Rahayu sagung tumitah

    BalasHapus
  9. terima ksih kak atas informasinya sangat bergunaa sekali sukses selalu ya kak
    salam chris febriyana zamri ISB Atma Luhur

    BalasHapus
  10. Artikel nya bagus sekali, kebetulan kami ada study tour ke sini bulan depanStisipol pahlawan 12

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d

Raja Chulalongkorn dan Pesona Batik Indonesia

Bukti sejarah hubungan erat Indonesia dan Thailand dapat disaksikan dengan jelas dalam 307 potong kain batik berbagai corak yang berasal dari akhir abad ke-19 yang dipamerkan di Museum Tekstil Ratu Sirikit ( Queen Sirikit Museum of Textiles /QSMT), di kompleks Istana Raja Thailand ( Grand Palace ), Bangkok, mulai akhir Oktober 2018 sampai musim semi 2021. Pameran tersebut bertema " A Royal Treasure: Javanese Batik from the Collection of King Chulalongkorn of Siam ", yang memamerkan ratusan k ain batik koleksi Raja Thailand ke-5, Chulalongkorn . Selama masa pemerintahannya yang panjang, Raja Chulalongkorn - atau gelar resminya Raja Rama V - mengunjungi Pulau Jawa ( Hindia Belanda pada saat itu) selama tiga kali antara tahun 1871 dan 1901.  Sejak kunjungan yang pertama, Raja Chulalongkorn menampakan ketertarikannya yang besar terhadap seni batik, sehingga pada kunjungannya yang ke dua dan ke tiga Raja mulai mengoleksi kain batik dari berbagai sentra produksi batik d