 |
Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). |
Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung, yang terjadi pada 20
September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum
terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil
menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda. Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus
mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan
Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai
perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “Pax Neerlandica” (menguasai
seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu
kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di
seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan dan pendirian
Van Heutsz bertentangan dengan keadaan di beberapa wilayah Hindia Belanda,
termasuk di Pulau Bali.
Di Bali, struktur asli pemerintahan
kerajaan–berdasarkan perjanjian yang dibuat antara semua kerajaan di Bali dengan
pemerintah Hindia Belanda tahun 1849, masih dijamin dan dihormati pelaksanaannya
di bawah pimpinan raja-raja yang memerintah. Dengan arti, di kerajaan-kerajaan
Bali, peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku.
Van Heutsz menganggap semua itu sebagai sebuah
ketidakseragaman, tidak sesuai dengan prinsip “Pax Neerlandica”, dan secara
cara pandang kolonialis dianggap menodai kehormatan dan wibawa Kerajaan
Belanda. Oleh karena itu, sejak berkuasa sebagai gubernur jenderal, Van Heutsz
sangat terdorong untuk segera menguasai kerajaan-kerajaan Bali secara penuh,
menempatkan raja-raja di bawah kekuasaan pemerintah pusat di Batavia. Akan
tetapi niat Van Heutsz terganjal oleh perjanjian antara Hindia Belanda dan
kerajaan-kerajaan Bali yang sudah disepakati pada 13 Juli 1849; yang secara
hukum, menjamin berlangsungnya urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan Bali
secara merdeka dan pemerintah pusat Batavia tak diperkenankan untuk
mencampurinya. Perjanjian tersebut membuat Van Heutsz merasa tidak mungkin untuk
mengadakan “penaklukan” secara spontan dan tanpa alasan terhadap raja-raja
Bali–dan tentunya jika “penaklukan” itu berlangsung akan mendapat reaksi dari
Dewan Hindia maupun Parlemen Kerajaan Belanda.
 |
Gubernur Jenderal Yohannes Benedictus van Heutsz (gubernur jenderal Hindia Belanda tahun 1904-1909). |
Berita mengejutkan datang pada tanggal 27 Mei 1904.
Pada pagi hari sekitar pukul 06.00, sebuah kapal wangkang berbendera Belanda
bernama “Sri Kumala” yang merupakan milik seorang Tionghoa bernama Kwee
Tektjiang, yang berukuran 90,27 register ton dan mempunyai pas laut Hindia
Belanda tanggal 18 Maret 1904 No. 16, berlayar dari Banjarmasin dan karam di
pesisir pantai Sanur, wilayah selatan Kerajaan Badung, satu dari delapan
kerajaan yang ada di Bali. Kapal wangkang tersebut–sesuai dengan laporan para
nahkoda dan pemilik kapal serta oleh seorang syahbandar Tionghoa Sanur bernama
Sik Bo–mengangkut barang muatan seperti minyak tanah, gula pasir, serta terasi
yang akan diperdagangkan di Bali, dan juga puluhan ribu uang kepeng dan uang
perak sejumlah 3.000 ringgit atau 7.500 gulden.
Setelah gelombang laut mereda, atas saran Sik Bo,
nahkoda dan pemilik kapal melaporkan kejadian tersebut kepada punggawa Sanur,
Ida Bagus Ngurah. Punggawa Sanur segera memerintahkan agar diadakan penjagaan
atas bangkai kapal “Sri Kumala” beserta isinya. Sebagaimana diketahui,
kerajaan-kerajaan Bali memiliki sebuah peraturan bernama Hukum Tawan Karang
(“Taban Karang”). Hukum tersebut merupakan dasar dari hak istimewa yang
dimiliki raja-raja Bali, dimana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di
wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya. Hukum Tawan Karang resmi
dihapuskan pada perjanjian yang disepakati tahun 1849, dan dalam perjanjian
tersebut, bila ada suatu musibah kapal karam, maka raja-raja Bali diharuskan
untuk bertanggungjawab melindungi dan menyelamatkan kapal beserta isinya.
 |
Puri Agung Denpasar pada tahun 1900-an. |
Karena ternyata bangkai kapal “Sri Kumala” tidak dapat
diselamatkan lagi, punggawa Sanur memerintahkan rakyat sekitar untuk membongkar
bangkai kapal itu dan mengumpulkan semua rongsokannya di Desa Beaung. Beberapa
minggu setelah dibongkarnya “Sri Kumala”, pemilik kapal menghadap Residen Bali
dan Lombok, J. Eschbach, di Singaraja. Pemilik kapal menganggap bahwa kapal
beserta hartanya telah dirampas oleh penduduk-penduduk sekitar Sanur. Laporan
tersebut menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Badung dengan pemilik kapal.
Apabila laporan Kwee Tektjiang benar, timbullah suatu
pertanyaan, apakah Badung melanggar pasal 11 dalam perjanjian tanggal 13 Juli
1849 mengenai penghapusan Tawan Karang. Yang sangat aneh dalam laporan Kwee
Tektjiang ialah, bahwa dia melaporkan uang peraknya sejumlah 7.500 gulden telah
dirampas oleh penduduk Sanur, sedangkan para nahkoda dan awak kapalnya berhasil
menyelamatkan barang-barang dagangannya. Jika benar ada uang di kapal, tentu
secara logis peti atau tempat yang berisi uang tersebut harusnya diselamatkan
terlebih dahulu, bukannya barang-barang dagangan yang nilainya tak seberapa.
 |
Potret para penduduk pria di Sanur pada tahun 1900-an. |
Oleh karena itu, J. Eschbach mengirim kontrolir pada Kantor
Urusan Masalah Bumiputra, H.J.E.F. Schwartz, ke Badung untuk mengadakan pemeriksaan
setempat secara teliti. Schwartz tiba di Badung pada 16 Juli 1904. Ia
mengadakan pembicaraan dengan punggawa Sanur untuk mencari keterangan dan
mendengarkan pengakuan penduduk lokal yang ditugaskan untuk menjaga “Sri
Kumala” di malam hari. Saat itu, Schwartz tidak menemui raja Badung, I Gusti
Ngurah Made Agung (yang bertakhta sejak tahun 1902). Berdasarkan laporan Schwartz, J. Eschbach melaporkan hal
tersebut pada Gubernur Jenderal Van Heutsz dengan surat tanggal 18 Agustus 1904
No. 55/Rahasia, dan menyimpulkan bahwa memang benar telah terjadi pencurian dan
penjarahan oleh penduduk Sanur atas kapal “Sri Kumala”.
J. Eschbach berpendapat bahwa dalam hal ini Kerajaan
Badung memang tidak melanggal perjanjian tahun 1849, akan tetapi kesalahan
Kerajaan Badung pada kasus ini adalah karena Kerajaan Badung tidak
sungguh-sungguh dalam menjaga dan melindungi kapal “Sri Kumala” sehingga
mengakibatkan terjadinya aksi penjarahan. J. Eschbach mengajukan agar persoalan
“Sri Kumala” diajukan pada Majelis Kerta (badan peradilan Kerajaan Badung) dan
masalah penjarahan harus diselesaikan dengan ganti rugi yang harus dibayarkan
raja Badung oleh pemilik kapal sejumlah 7.500 gulden.
 |
Pembukaan sidang "Volksraad" atau Dewan Hindia di Batavia. |
Dalam mengatasi masalah tersebut, Van Heutsz ingin
mendengarkan pendapat Dewan Hindia terlebih dahulu. Oleh karena itu, J.
Eschbach pun menyampaikan laporannya pada sidang Dewan Hindia di Batavia pada
tanggal 28 Oktober 1904. Pada 4 November 1904, nasehat Dewan Hindia dikirim
kepada gubernur jenderal. Pokok dari nasehat Dewan Hindia adalah untuk
mengambil tindakan yang sangat berhati-hati dalam penyelesaian masalah “Sri
Kumala”. Dewan Hindia berpendapat bahwa memaksa Raja I Gusti Ngurah Made Agung
untuk membayar ganti rugi sebesar 7.500 gulden adalah tindakan yang berlebihan
serta dalam hal ini nampak adanya ketidakjujuran dari Kwee Tektjiang dan
Residen J. Eschbach yang bertujuan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya
dari musibah “Sri Kumala”. Dewan Hindia menyarankan agar Gubernur Jenderal Van
Heutsz menunggu keputusan Majelis Kerta untuk memutuskan perkara sesuai dengan
hukum adat yang berlaku di Badung.
Van Heutsz tidak dapat menerima saran Dewan Hindia dan
lebih condong untuk menuruti nasehat J. Eschbach yang menuntut raja Badung
membayar ganti rugi. Sikap Van Heutsz itu dapat dimengerti, karena baginya,
dengan memaksa raja Badung membayar ganti rugi, tentunya akan menimbulkan
perselisihan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Badung. Terlebih
menurut isi surat yang dikirimkan J. Eschbach, mustahil Raja I Gusti Ngurah
Made Agung bersedia membayar ganti rugi tersebut. Dengan timbulnya perselisihan
itu, terbukalah jalan bagi Van Heutsz untuk menjalankan misinya atas Kerajaan
Badung; Badung memilih menuruti tuntutan pemerintah kolonial, atau Badung harus
mau ditempatkan sebagai wilayah yang diperintah langsung oleh pemerintah
kolonial.
 |
I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar (raja Badung tahun 1902-1906). |
Atas hal itu, sekertaris pemerintah, Paulus,
mengirimkan surat tertanggal 26 November 1904 No. 538/Rahasia atas nama
gubernur jenderal kepada residen Bali bahwa pembayaran ganti rugi harus
dibebankan pada raja Badung. Bila raja tidak mengindahkan tuntutan tersebut,
maka pemerintah Hindia Belanda akan mengambil tindakan polisional agar raja
bersedia membayar ganti rugi. Tindakan tersebut termasuk blokade perairan
Badung oleh Angkatan Laut Hindia Belanda, dan semua biaya blokade menjadi
tanggungan raja Badung yang harus dibayarkan per hari. Pada 19 Desember 1904,
Residen J. Eschbach berkunjung ke ibukota Kerajaan Badung, Denpasar, dan
mengadakan pembicaraan pada Raja I Gusti Ngurah Made Agung. Pertemuan tersebut
turut dihadiri para pembesar kerajaan dan para punggawa seluruh Badung.
Ketika J. Eschbach
menyampaikan tuntutan pemerintah Hindia Belanda atas ganti rugi musibah
“Sri Kumala”, Raja I Gusti Ngurah Made Agung dengan tegas menolak tuntutan
tersebut, dan meyakinkan J. Eschbach bahwa ia dan pemerintah Kerajaan Badung
tidak bersalah. Raja sudah memerintahkan untuk dilakukan penjagaan terhadap
bangkai kapal “Sri Kumala” dan juga telah berusaha untuk mencari “pencuri” yang
dikatakan telah menjarah harta benda kapal tersebut, meski “pencuri-pencuri”
itu belum berhasil ditangkap. Lagipula, raja melaporkan pada residen bahwa
punggawa Sanur beserta semua penduduk telah bersumpah di sebuah pura bahwa
mereka tidak pernah mencuri dan menjarah muatan “Sri Kumala”. Bahkan saat itu
berkat bantuan sebelas orang tenaga kerja, barang-barang yang masih tersisa di
kapal diturunkan dan diangkut. Kesebelas orang itu melakukan tugasnya dengan
jujur dan tidak ada yang mencuri.
 |
Kapal-kapal Belanda di perairan Badung tahun 1906. |
Raja mengatakan bahwa kalau memang benar Kwee
Tektjiang merasa dirugikan, sebaiknya dia didatangkan di Denpasar untuk
menyampaikan keterangannya di sidang Majelis Kerta. Raja juga berjanji untuk
tetap tunduk pada segala keputusan Majelis Kerta. Mendapat penolakan tegas, Residen
J. Eschbach meninggalkan Denpasar pada 23 Desember 1904 dan pada hari itu juga
ia menyampaikan surat pada Raja I Gusti Ngurah Made Agung, yang sebenarnya
berisi ultimatum atau ancaman untuk mau tidak mau segera membayar ganti rugi,
selambat-lambatnya sampai tanggal 5 Januari 1905. J. Eschbach melaporkan hal
tersebut kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz via kawat tertanggal 25 Desember
1904 No. 621/Rahasia, dengan permintaan agar segera mengirimkan kapal perang
dan kapal pengangkut untuk melaksanakan blokade terhadap perairan Badung.
Permintaan J. Eschbach langsung disetujui oleh Van Heutsz. Dan keputusan Van
Heutsz tersebut, atas segala kebijakan intimidatif J. Eschbach dan laporan
“mengada-ada” H.J.E.F. Schwartz, merupakan sebuah tindakan fatal yang justru
menimbulkan sebuah bencana besar.
Pada tanggal 5 Januari 1905, seperti yang sudah diduga
sebelumnya, uang ganti rugi benar-benar tidak dibayarkan oleh raja Badung.
Keputusan tegas tersebut mendapat respon dari pemerintah Hindia Belanda.
Tanggal 6 Januari 1905, di perairan Badung telah siap dua kapal pengangkut “Zwaluw”
dan “Spits” milik Angkatan Laut Hindia Belanda bersama Kontrolir H.J.E.F.
Schwartz untuk melakukan blokade terhadap jalur laut Kerajaan Badung, melarang
semua pemasukan dan pengeluaran barang dagangan serta melarang semua nelayan
Badung untuk menangkap ikan. Tanggal 14 Januari 1905, Residen J. Eschbach
mengadakan kunjungan dengan kapal “Reiger” ke perairan Badung untuk memeriksa
jalannya blokade, dan kesempatan itu juga digunakannya untuk mendekati raja
Karangasem, raja/susuhunan Klungkung, raja Bangli, dan raja Tabanan guna
meminta kesediaan raja-raja tersebut untuk membantu pelaksanaan blokade Hindia
Belanda terhadap Badung.
 |
Kapten S.H. Schutstal van Woudenberg bersama raja Gianyar, Dewa Manggis VIII, di Puri Agung Gianyar pada tahun 1906. |
 |
Rombongan raja Klungkung, Dewa Agung Jambe II, saat tiba di Gianyar untuk melakukan perundingan dengan pemerintah Hindia Belanda tahun 1906. |
Raja Karangasem, Gusti Gde Jelantik–yang sudah
ditaklukkan oleh Belanda pada November 1894–bersedia membantu pemerintah Hindia
Belanda, dan beranggapan bahwa ganti rugi masalah “Sri Kumala” memang sudah
seharusnya dibayarkan oleh I Gusti Ngurah Made Agung. Raja Klungkung, Dewa
Agung Jambe II justru mendesak persoalan tersebut diselesaikan secara damai
antara Hindia Belanda dan Badung, dengan mengirim utusannya ke Denpasar. Namun
usaha Dewa Agung Jambe II tidak berhasil. Sikap lunak raja Klungkung tersebut dapat
dipahami mengingat jika dilakukan blokade terhadap Badung, maka impor beras
Klungkung yang sebagian besar dari wilayah Badung tentu akan terhambat dan
dikhawatirkan dapat menimbulkan musibah kelaparan bagi rakyat Klungkung.
Sementara raja Bangli, Dewa Gde Rai menyatakan bersedia membantu pemerintah
Hindia Belanda. Demikian pula raja Gianyar, Dewa Manggis VIII, juga menyatakan
kesediaannya. Semua raja-raja tersebut–kecuali Klungkung dan Bangli–memang
telah ditaklukkan oleh pemerintah kolonial sebelumnya, jadi mereka mau tidak
mau terpaksa mendukung kepentingan pemerintah kolonial.
Secara mengejutkan, raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung,
atas dasar hubungan Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Badung yang erat, memlilih
berpihak pada I Gusti Ngurah Made Agung. Raja Tabanan beranggapan bahwa blokade
yang dilakukan pemerintah kolonial sangat merugikan rakyat, baik Badung maupun
seluruh Bali pada umumnya. Dengan demikian, blokade yang dijalankan pemerintah
kolinal berjalan tidak efektif, karena wilayah Kerajaan Badung berbatasan
langsung dengan Kerajaan Tabanan dan Kerajaan Tabanan tidak berkenan menutup
perbatasannya.
 |
Pesanggrahan di Gianyar tempat berlangsungnya perundingan antara raja Bangli dan Klungkung dengan pemerintah Hindia Belanda tahun 1906 (tampak sekerumun prajurit Bali bersiaga di gapura pintu masuk pesanggrahan). |
Walaupun demikian, pada tanggal 10 Februari 1905, I
Gusti Ngurah Made Agung menyampaikan surat pada J. Eschbach. Dalam surat itu,
raja Badung menyuarakan bahwa Kerajaan Badung, sekali lagi, tidak melanggar
perjanjian tanggal 13 Juli 1849. Oleh karena itu, raja meminta agar pemerintah
kolonial mengakhiri blokade atas perairan Badung karena sangat membuat
pendapatan Kerajaan Badung dari hasil bea cukai tersendat dan rakyat Badung
sengsara karena tak dapat melaut. Sebagai kompromi, raja bersedia menerima
seorang pejabat peradilan Kerta di Singaraja untuk bertindak sebagai pembela
Kwee Tektjiang. Serta, sebaliknya, pemerintah Hindia Belanda harus membayar
kerugian yang diderita Kerajaan Badung selama berlangsungnya blokade sejumlah
1.500 ringgit atau 3.750 gulden.
Permohonan tersebut tidak digurbris pemerintah Hindia
Belanda. Selama dua bulan lamanya, blokade tetap berlangsung. Sebenarnya
beberapa pemuka rakyat di Badung pernah menyampaikan permohonan pada raja bahwa
mereka sanggup mengumpulkan uang sejumlah 7.500 gulden untuk dibayarkan pada
pemilik “Sri Kumala” agar terpelihara perdamaian antara pemerintah Hindia
Belanda dengan pemerintah Kerajaan Badung. Para pedagang Tionghoa dan Bugis
yang bermukim di Kuta dan Pulau Serangan berbondong-bondong menghadap raja
Badung untuk mengajukan permohonan yang sama. Mereka juga bersedia mengumpulkan
uang membantu raja melunasi tagihan pihak Hindia Belanda dan pemilik kapal.
Tawaran para pedagang Tionghoa dan Bugis dapat dimengerti, karena dengan adanya
blokade maka perdangangan ekspor dan impor di Badung terhenti sama sekali,
sehingga menimbulkan kerugian besar pada mereka. Dengan pembayaran ganti rugi,
para pedagang berharap blokade segera dihentikan dan perdagangan dapat berjalan
normal kembali. Semua permohonan itu ditolak secara tegas oleh raja Badung.
 |
Sebuah pura di Badung pada tahun 1906. |
Bahkan muncul cerita bahwa pada suatu malam, datang
utusan berkebangsaan Belanda di Puri Agung Denpasar (Puri Satria). Utusan
tersebut bertanya pada Raja I Gusti Ngurah Made Agung, apakah raja tidak
berkenan memenuhi tuntutan pembayaran ganti rugi karena raja tidak memiliki
uang. Raja menjawab, bahwa kerajaan memiliki uang yang lebih untuk membayar
ganti rugi tersebut, seandainya dilakukan. Namun raja tidak berkenan membayar
ganti rugi, bukan masalah uang, melainkan untuk menjaga martabat dan kewibawaan
kerajaan di mata rakyat Badung, dan tentunya, membela diri dari ketidakadilan
yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dan pemilik “Sri Kumala”.
Karena dipengaruhi oleh perkembangan yang tidak
membawa dampak sama sekali untuk mencapai penyelesaian sengketa sesuai
keinginan pemerintah Hindia Belanda, maka dengan surat tertanggal 13 Maret 1905
No. 31/Rahasia, Residen J. Eschbach mengajukan saran pada Gubernur Jenderal Van
Heutsz mengenai tindak lanjut yang harus ditempuh, setelah menyadari bahwa
pelaksanaan blokade atas Badung tidak seratus persen berhasil. Pada surat
tersebut, intinya, J. Eschbach bersikeras meyakinkan Van Heutsz bahwa
pemerintah Hindia Belanda harus segera melakukan aksi militer terhadap Kerajaan
Badung, dan bila perlu, pada Kerajaan Tabanan yang dianggap memihak Badung
dalam permasalahan ini.
 |
Sebuah keramaian di salah satu sudut kota Denpasar tahun 1906. |
 |
Sebuah perkampungan penduduk di Kesiman, kota Denpasar, tahun 1906. |
Permintaan J. Eschbach kepada Van Heutsz memang sesuai
dengan iklim politik yang terdapat di kalangan pemerintah eksekutif Hindia
Belanda di Buitenzorg (Bogor) dan di kalangan pejabat-pejabat legislatif di
Batavia, yang sangat keranjingan dan dipengaruhi oleh filsafat “Pax
Neerlandica”. Van Heutsz, sejatinya sangat menyetujui permohonan J. Eschbach,
namun kedudukannya memaksanya untuk bertindak sangat berhati-hati dengan
mengadakan persiapan yang matang. Oleh karena itu, Van Heutsz menyampaikan
surat J. Eschbach kepada Dewan Hindia di Batavia agar dewan dapat memberikan
pendapatnya mengenai masalah tersebut.
Dalam rapat tanggal 31 Maret 1905, Dewan Hindia
membahas persoalan yang diajukan oleh Residen J. Eschbach, dan dengan laporan
tanggal 31 Maret 1905 No. 10, Dewan Hindia menyampaikan pendapatnya kepada
Gubernur Jenderal Van Heutsz. Dewan Hindia memberi pendapat yang sangat
hati-hati mengenai masalah pengiriman ekspedisi militer terhadap Kerajaan
Badung. Dewan Hindia tidak menyetujui pendapat J. Eschbach yang mennyatakan
bahwa tidak bersedianya raja Badung membayar ganti rugi karena sikap raja yang
angkuh dan keras kepala, namun mungkin ada hal-hal lain yang menjadi dasar
penolakan tersebut. Dewan Hindia membuktikan pendapatnya dengan suatu peristiwa
yang belum lama terjadi, yaitu pada tanggal 22 Desember 1904, Raja I Gusti
Ngurah Made Agung masih bersedia menandatangani perjanjian yang mengatur
penghapusan tradisi “sati” atau “mesatiye” (kerelaan membakar diri bagi
istri-istri raja-raja Bali saat suami mereka meninggal) dalam kerajaannya.
Kejadian tersebut oleh Dewan Hindia dianggap merupakan suatu kenyataan bahwa
raja Badung memang mempunyai kemauan baik untuk bekerjasama dengan pemerintah
Hindia Belanda.
 |
Para putri dan istri raja di Puri Agung Denpasar pada tahun 1900-an. |
Inti dari sidang tersebut, Dewan Hindia menganjurkan
sebagiknya diusahakan lagi pendekatan dengan raja Badung untuk menghindari
terjadinya aksi militer, yang tentunya, akan menimbulkan pertumpahan darah.
Dewan Hindia juga menyarankan pemerintah Hindia Belanda untuk menunjuk seorang
pejabat tinggi yang berpengalaman agar dikirim ke Bali, guna mengadakan
perundingan dengan residen Bali dan raja Badung. Hal itu ditindaklanjuti oleh
Van Heutsz, dengan menunjuk salah satu anggota Dewan Hindia, F.A. Liefrinck,
pada 7 April 1905, sebagai komisaris yang bertugas di Bali. Liefrinck berangkat
ke Bali pada tanggal 12 April 1905, dan tiba di Singaraja (ibukota Kerajaan
Buleleng sekaligus ibukota Karesidenan Bali) pada tanggal 15 April 1905.
Setelah mengadakan pertemuan dengan residen, Liefrinck bertolak ke Bali Selatan
menggunakan kapal “Kwartel”.
Pembicaraan Liefrinck dengan raja Tabanan dan Badung
tidak membuahkan hasil yang memuaskan, sehingga ia kembali ke Singaraja pada 1
Mei 1905. Hal tersebut membuat Liefrinck memutuskan bahwa oleh karena Kwee
Tektjiang adalah kaula Hindia Belanda dan kapal “Sri Kumala” berlayar di bawah
kibaran bendera Belanda, maka pemerintah Hindia Belanda mempunyai wewenang dan
tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini dengan pemerintah Kerajaan
Badung. Sebagai usaha diplomatis terakhir, Liefrinck sebenarnya telah
mengajukan tawaran pada raja Badung bahwa Kerajaan Badung dibebaskan untuk
membayar ongkos blokade asal saja ganti rugi atas musibah “Sri Kumala”
disanggupi dan dilunasi. Namun, tawaran tersebut ditolak raja Badung.
 |
Sebuah pura di dalam Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
Sesudah gagalnya perundingan, raja Badung memutuskan
untuk menghidupkan kembali perjanjian pertahanan dengan raja Tabanan. I Gusti
Ngurah Made Agung mengadakan kunjungan ke Puri Agung Tabanan pada 14-19 Mei
1905. Pada waktu itu, di Pura Pamerajan Puri Agung Tabanan dilakukan sumpah
antara raja Badung dan Tabanan yang berisi janji untuk senantiasa saling
membantu satu sama lain jika suatu saat terjadi perang. Kunjungan tersebut
dibalas oleh raja Tabanan, yang berkunjung ke Puri Agung Denpasar pada 23-30
Juni 1905. Pada tanggal 28 Juni 1905 sendiri dilakukan sebuah upacara sumpah
setia di Pura Tambang Ayun oleh raja Badung dan Tabanan. Dalam hal ini, raja
Puri Agung Pemecutan juga turut hadir (secara tradisional Kerajaan Badung
diperintah oleh tiga raja, yaitu raja Puri Agung Denpasar, raja Puri Agung
Pemecutan, serta raja Puri Agung Kesiman; dan raja Puri Agung Denpasar yang
bertindak sebagai raja utama di Kerajaan Badung).
Berdasarkan hal tersebut, tanggal 21 Mei 1905,
Gubernur Jenderal Van Heutsz menandatangani suatu undang-undang (“ordonnantie”)
yang disebut Peraturan-Peraturan yang Membatasi Pemasukan dan Pengeluaran
Barang di Kerajaan Badung. UU tersebut diundangkan pada tanggal 24 Mei 1905 dan
dimuat dalam Lembaran Negara (“Staatsblad van Nederlandsch Indie”) No. 309, dan
pokok isiannya adalah “bahwasanya semua pemasukan dan pengeluaran barang-barang
di Kerajaan Badung, kecuali untuk kepentingan negara atau atas izin khusus
residen atau seorang pejabat negara yang ditunjuk untuk itu, dilarang”.
 |
Pura Luhur Ulu Watu pada tahun 1900-an. |
Kebijakan Van Heutsz sendiri tak sepenuhnya mendapat
dukungan dari pejabat pemerintah Hindia Belanda baik di Buitenzorg maupun
Batavia. Dewan Hindia dalam sidangnya tanggal 2 Juli 1905, juga mengatakan
keberatannya mengenai kebijakan Van Heutsz atas masalah “Sri Kumala”, yang
kini, “membengkak” menjadi perselisihan antara pemerintah pusat di Batavia
dengan pemerintah Badung dan Tabanan. Dan walaupun pada akhirnya, kebijakan Van
Heutsz tetap berjalan, setelah penolakan resminya terhadap saran Dewan Hindia
dan laporannya pada Menteri Jajahan Belanda di Den Haag.
Pada masa terjadinya kekacauan politik di Badung
tersebut, masyarakat Bali masih dihinggapi oleh ketakhayulan, sehingga
terjadinya hal-hal aneh di dalam kehidupan sehari-hari mereka dianggap sebagai
suatu “pertanda” akan terjadinya suatu peristiwa yang penting. Salah satunya
terjadi pada akhir tahun 1905, sebagian bangunan Pura Luhur Ulu Watu–yang
terletak di atas tebing karang tinggi yang menjorok ke laut di Desa
Pecatu–runtuh dan jatuh ke laut. Masyarakat menafsirkan kejadian itu sebagai
suatu “pertanda” yang tidak baik bagi Kerajaan Badung. Hal itulah yang
menjadikan kekhawatiran masyarakat Badung memuncak.
 |
Salah satu isi Perjanjian Badung-Hindia Belanda tahun 1849, dalam buku "Bali Pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda". |
Memasuki 19 Januari 1906, Dewan Hindia membahas
persoalan masalah Badung yang tak kunjung mendapat penyelesaian. Dalam
pendapatnya, Dewan Hindia mengatakan pada pemerintah Hindia Belanda bahwa daerah
Bali dengan tradisinya yang tua dan memiliki lembaga-lembaga pemerintahan dan
adat istiadat yang kuat, mengharapkan pada pemerintah bahwa jika nanti
benar-benar diadakan ekspedisi militer sebagai jalan terakhir penyelesaian
masalah, harus diambil kebijaksanaan agar semua lembaga dan tradisi yang
berlaku di Badung tetap dipertahankan. Dan pada akhirnya sengketa
berlarut-larut tersebut memuncak dan menimbulkan ketegangan yang sangat
berbahaya antara Badung-Tabanan dan Hindia Belanda, sehingga pada 17 Juli 1906,
Van Heutsz mengesahkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 1 sebagai “point
of no return” yang berisi suatu ultimatum oleh pemerintah Hindia Belanda kepada
raja Badung dan Tabanan. Surat tersebut
dikirim kepada raja Badung dan Tabanan pada 22 Juli 1906 dari Singaraja, atas
dukungan residen Bali pengganti J. Eschbach, de Bruyn Kops.
Apabila surat Van Heutsz tersebut diteliti, jelaslah
bahwa pokok-pokok yang diajukannya bertentangan sekali dengan kebenaran dan
tiap-tiap pasalnya dapat disanggah dengan mudah. Van Heutsz, dengan segala
dalihnya, menyalahkan raja Badung yang tidak bersedia membayar ganti rugi.
Sedangkan Van Heutsz sendiri tidak dapat membuktikan bahwa raja Badung
menentang atau melanggar perjanjian 1849 yang berlaku, dan karena itu katanya
telah menjerumuskan rakyat Badung dalam suatu kemelaratan. Padahal, pada
hakikatnya yang melanggar perjanjian antara Badung dan Hindia Belanda adalah
Van Heutsz sendiri. Van Heutsz–dan pendukungnya–telah memerintahkan blokade
perairan Badung, yang berakibat kemelaratan di kalangan rakyat Badung serta
kesusahan bagi para pedagang Tionghoa dan Bugis di kawasan pesisir.
|
Pasukan Hindia Belanda berangkat menuju perairan Badung tahun 1906.
|
 |
Pasukan Hindia Belanda mendarat di Sanur tahun 1906. |
Dengan demikian orang-orang yang secara obyektif
menilai persoalan ini akan merasa kesal saat membaca surat Van Heutsz, karena
merupakan bukti suatu ketidakjujuran dari seorang pejabat tinggi pemerintah
Hindia Belanda, sebagaimana yang diungkapkan oleh penulis Belanda, H.H. Van Kol.
Van Kol adalah seorang penulis dan politikus liberal yang mengunjungi Bali dan
meneliti sejarah pemecahan sengketa “Sri Kumala”, lima tahun setelah terjadinya
ekspedisi militer Hindia Belanda di Badung. Semua tulisannya terdapat dalam
bukunya, “Drie maal dwars door Sumatra en zwerftochten Bali” (Tiga kali
melintas Sumatera dan pelancongan di Bali).
Dalam rangka persiapan yang dilakukan pemerintah
Hindia Belanda, di kantor residen Singaraja sejak bulan apri 1906 sebenarnya
telah ditempatkan seorang perwira Staf Umum Angkatan Darat Hindia Belanda,
Kapten S.H. Schutstal van Woudenberg,
guna membuat peta di pantai selatan Badung dan Tabanan yang dapat dipergunakan
untuk pendaratan pasukan secara besar-besaran. Pada bulan Juli sampai awal
September, baik kalangan sipil maupun militer dalam pemerintahan sibuk
memikirkan segala persiapan yang diperlukan untuk ekspedisi militer, karena
mereka yakin, bahwa ultimatum Van Heutsz pasti tak akan digubris oleh raja
Badung dan Tabanan.
 |
Asisten Residen H.J.E.F. Schwartz bersama rombongannya hendak menemui raja Badung tahun 1906. |
 |
Insinyur militer Belanda dibantu penduduk lokal sedang melakukan pemetaan topografi jalur ekspedisi militer di Badung tahun 1906. |
Raja Badung dan Tabanan yang yakin dengan segala
konsekuensi yang akan mereka terima pada akhirnya, tetap bertekad untuk tidak
tunduk pada tuntutan Van Heutsz. Dan demi mempertahankan kehormatan serta
keadilan, mereka bersedia mengorbankan sgealanya, walaupun mereka tahu bahwa
jika terjadi pertempuran melawan Angkatan Darat Hindia Belanda, mereka tidak
akan mencapai kemenangan. Keputusan raja-raja tersebut, digambarkan Van Kol
dalam bukunya, “Drie maal dwars door Sumatra en zwerftochten Bali”, yang
menceritakan:
“...oleh
karena senantiasa diganggu oleh tuntutan-tuntutan baru–dari pihak Belanda–dan
menderita oleh tekanan-tekanan baru pula, maka bersabdalah raja Badung dengan
penuh kebanggaan, lebih baik mati saja daripada bertakhta sebagai raja dengan
cara begini.”
Untuk memimpin ekspedisi militer tersebut diangkat Mayjend.
M.B. Rost van Tonningen sebagai pemimpin yang membawahi pasukan-pasukan,
seperti yang tercantum pada Surat Keputusan Gubernur Jenderal 4 September 1906
No. 3. Komisaris Pemerintah F.A. Liefrinck selanjutnya tiba di Sanur dan
mengirim utusan untuk menemui raja Badung dan menyampaikan ultimatum terakhir
yang harus dijawab dalam tempo 1x24 jam. Kepada raja Tabanan juga disampaikan
ultimatum yang harus dijawab dalam tempo 3x24 jam. Kedua raja menolak semua
ultimatum yang diberikan, maka Komisaris Pemerintah bergegas memberitahukan hal
tersebut pada panglima, dalam hal ini Van Tonningen, untuk segera memerintahkan
agar pendaratan pasukan ekspedisi dilaksanakan.
 |
Penduduk Sanur mengungsi karena pendudukan pasukan tentara Hindia Belanda tahun 1906. |
 |
Pasukan kavaleri Hindia Belanda berpatroli di Sanur tahun 1906. |
Tanggal 12 September 1906 semua kapal pengangkut dan
kapal perang sudah tiba di perairan Sanur dan menduduki tempatnya
masing-masing. Jumlah definitif pasukan Hindia Belanda yang mendarat di Sanur
sejumlah 2.312 orang kalangan militer dan 741 orang kalangan non-militer.
Disertakan pula 20 ekor kuda untuk perwira dan 45 ekor kuda untuk kuda angkutan,
serta 4 meriam “houwitser” dan 6 meriam lain. Selain itu juga ditambah satu
detasemen marinir sejumlah 140 orang. Pasukan infanteri batalyon ke-11 dipimpin
oleh Myor Bryan, batalyon ke-18 dipimpin oleh Letkol. Shauroth, dan batalyon
ke-20 berada di bawah komando Mayor Lassanet.
Tindakan besar diawali pada malam hari tanggal 14
September 1906, pantai Sanur disinari oleh lampu senter dari kapal-kapal perang
besar Angkatan Laut Hindia Belanda, menindaklanjuti informasi dari intelejen
bahwa pada malam itu pasukan Badung akan menyerbu Sanur. Meski demikian,
serangan tersebut tidak terjadi, bahkan punggawa Sanur sempat menghadap pada
komandan salah satu kapal perang Angkatan Laut Hindia Belanda dan Panglima Van
Tonningen, dengan pernyataan bahwa ia dan penduduk Sanur tidak akan mengadakan
perlawanan terhadap pasukan Hindia Belanda yang mendarat di Sanur.
 |
Pertempuran pertama pasukan Hindia Belanda dengan pasukan Badung di Sanur tahun 1906. |
 |
Pasukan kavaleri Hindia Belanda berpatroli di Kuta tahun 1906. |
Pertempuran pertama pecah pada pagi hari tanggal 15
September 1906. Ribuan pasukan Badung yang berasal dari Kuta dan Denpasar
menyerang bivak pasukan Hindia Belanda di pabean Sanur dan berusaha mengadakan
pengepungan. Pertempuran terjadi sampai sekitar pukul 12.00, dan meninggalkan
33 orang tewas dan 12 orang luka-luka dari pihak pasukan Badung. Kapal-kapal
perang pun mulai menembaki kota Denpasar dan desa-desa di sekitarnya,
mengakibatkan 6 orang tewas di Desa Renon akibat tembakan tersebut. Penembakan
terus berlanjut hingga 16 September 1906, tembakan secara terstruktur diarahkan
menuju Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan. Pasukan Badung di Renon
memasang ranjau dari bambu untuk membendung dan menghambat serangan pasukan
kavaleri Hindia Belanda yang menggunakan kuda. Pertahanan di desa-desa yang
mengelilingi 3 puri, yaitu Puri Agung Kesiman, Puri Agung Denpasar, dan Puri
Agung Pemecutan diperkuat termasuk di Desa Lantang Bejuh, Sesetan, Panjer,
Kelandis, Bengkel, dan Tanjung Bungkak. Oleh
panglima juga diperintahkan para pasukan untuk berpatroli di Desa Sesetan dan
Panjer.
Kedatangan batalyon ke-18 dan batalyon ke-20 di Desa
Panjer disambut oleh serangan gencar dari sekitar 2.000 orang pasukan Badung.
Karena matahari hampir terbenam, dengan cepat pasukan Hindia Belanda
meninggalkan medan pertempuran untuk kembali ke bentengnya di Sanur. Pada waktu
mereka tiba di benteng, sekitar 30 orang pasukan Badung dari Kesiman menyerang
Pabean Sanur, namun tembakan yang dilepaskan Angkatan Laut Hindia Belanda
berhasil memukul mundur mereka. Perang sehari pada tanggal 16 September 1906 di
sekitar Panjer dan Sesetan sangat melelahkan pasukan Hindia Belanda, sehingga keesokan
harinya, pada tanggal 17 September 1906, pasukan Hindia Belanda lebih banyak
tinggal di benteng untuk membahas taktik penyerangan terhadap kota Denpasar dan
ketiga puri Kerajaan Badung. Meskipun demikian, meriam artileri yang
ditempatkan dekat benteng mulai ditembakkan bersama-sama dengan tembakan meriam
dari kapal perang. Tembakan-tembakan meriam itu diarahkan sekitar kota dan Puri
Agung Kesiman.
 |
Pasukan Hindia Belanda saat memasuki salah satu jalan besar di Badung tahun 1906. |
 |
Pasukan Hindia Belanda di Desa Panjer tahun 1906. |
 |
Pasukan Hindia Belanda bergerak menuju Puri Agung Kesiman tahun 1906. |
Tanggal 18 September 1906 diperoleh berita dari
Asisten Residen H.E.J.F. Schwartz yang mendapat informasi aktual bahwa raja Kesiman, I Gusti Ngurah Mayun, tewas karena terbunuh oleh oknum-oknum dari
suatu kelompok masyarakat yang tidak menyetujui suatu kebijakannya. Raja Kesiman ditengarai telah memerintahkan agar rakyatnya mengadakan perlawanan terhadap
pasukan Hindia Belanda. Ada beberapa golongan yang tidak bersedia menurutinya
dan melakukan pembangkangan, yang mengakibatkan raja Kesiman tewas. Insiden
itu kemudian diperoleh kepastian tentang kebenarannya pada tanggal 19 September
1906.
Pada tanggal 19 September 1906 pukul 07.00 seluruh
pasukan Hindia Belanda diperintahkan untuk meninggalkan benteng Sanur dan
memulai serangannya atas kota Denpasar. Pasukan bergerak ke utara dengan tujuan
pertama adalah Desa Kesiman. Dimana di sana diperkirakan pasukan Badung akan
berkumpul untuk mempertahankan Puri Agung Kesiman. Ketika mencapai Desa Tukad
Ayung, dari kebun kelapa penduduk terjadi tembakan kepada pasukan Hindia
Belanda oleh pasukan Badung. Terjadi pertempuran sengit. Pasukan Badung memang
menggunakan meriam, namun meriam tersebut terlalu sederhana dan tidak
menimbulkan kerugian apapun bagi pasukan Hindia Belanda.
 |
Puri Agung Kesiman sesaat setelah jatuh di tangan pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
Keperwiraan pasukan
Badung tersebut membuat orang-orang Belanda kagum. Seperti Jhr. Dr. H.M. van
Weede dalam bukunya yang berjudul “Indische Reisherinneringgen”
(Kenangan-Kenangan Perjalanan di Hindia) yang mengisahkan pengalaman pribadinya
ketika menyertai pasukan ekspedisi militer Hindia Belanda di Badung bulan
September-Oktober 1906, menuliskan mengenai keberanian dan ketangkasan pasukan
Badung yang “berani mati” dalam menghadapi musuh-musuhnya:
“...dalam ingatan saya masih jelas tergambar
seorang Bali yang berbadan tegap dan berdiri di suatu tempat yang agak tinggi,
kira-kira 200 meter dari pasukan infanteri kita. Di sanalah dia berdiri memegang
tombaknya yang panjang, yang ditancapkan di tanah. Dengan gerak isyarat dan
suara, dia mendorong dan merangsek, yang menyebabkan sikapnya yang tidak gentar
menghadapi maut menjadi teladan bagi yang lain.”
Setelah melalui beberapa pertempuran, pada pukul 14.30
akhirnya pasukan Hindia Belanda berhasil menduduki Puri Agung Kesiman yang
telah dikosongkan oleh para penghuninya. Panglima Van Tonningen menetapkan Puri
Agung Kesiman sebagai bivak bagi pasukan Hindia Belanda. Puri Agung Kesiman
resmi jatuh di tangan mereka. Oleh karena diberitakan bahwa pada pukul 21.00
pasukan raja Badung dari Puri Agung Denpasar akan melakukan serangan, Van
Tonningen tetap menyiagakan pasukannya. Kabar tersebut, tidak terbukti.
 |
Sebuah kampung yang dilewati oleh pasukan Hindia Belanda saat menuju Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
 |
Pertempuran di perbatasan Denpasar tahun 1906. |
Pada 20 September 1906, pasukan Van Tonningen yang
terdiri dari batalyon ke-11 dan batalyon ke-18 bergerak dari Kesiman menuju
Puri Agung Denpasar melalui Desa Semerta.Di waktu yang bersamaan tembakan
meriam dari benteng pasukan Hindia Belanda di Sanur diarahkan ke Puri Agung Denpasar
dan Puri Agung Pemecutan, sebanyak 60 peluru meledak di dalam dan sekitar puri
sehingga menimbulkan kerusakan.
Pada pukul 09.00, Raja I Gusti Ngurah Made Agung telah
mendengar bahwa pasukan Hindia Belanda telah memasuki kota Denpasar. Di Puri Agung
Denpasar telah berkumpul keluarga dan pengikut setia raja, kira-kira 250 orang,
yang bersumpah setia untuk turut berperang bersama raja menghadapi pasukan
Hindia Belanda. Meskipun konsekuensinya adalah kematian, semua kawula raja
merasa, sebagai kaum kesatria, mereka harus memegang teguh ajaran Hindu dan
menjaga mati-matian martabat serta wibawa Kerajaan Badung. Raja akhirnya memerintahkan
pasukannya untuk membakar Puri Agung Denpasar.
 |
Barisan pasukan Hindia Belanda saat mendekati Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
 |
Pasukan Hindia Belanda dan para penduduk sipil di persimpangan jalan depan tembok yang mengelilingi Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
 |
Mayjend. M.B. Rost van Tonningen (dua dari kiri) bersama kavalerinya di depan gerbang Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
Di Desa Semerta, pasukan Hindia Belanda mendapat
perlawanan kuat dari pasukan Badung yang bersenjatakan tombak dan senapan. Hal
itu menimbulkan korban jatuh di pihak pasukan Hindia Belanda. Setelah berhasil
mengalahkan pasukan Badung dan beristirahat selama satu jam, pada pukul 10.30
pasukan Hindia Belanda bergerak kembali, namun sekitar pukul 11.00 di jalan
Denpasar-Tangguntiti terlihat sejumlah besar rombongan warga Bali yang bergerak
ke arah timur. Pasukan artileri menembaki mereka, tetapi rombongan tetap
bergerak maju dan saat sampai di persimpangan jalan Jero Belaluan, pasukan
Hindia Belanda diserang oleh beberapa orang dari rombongan tersebut. Rupanya,
rombongan tersebut adalah Raja I Gusti Ngurah Made Agung beserta seluruh
bangsawan dan pasukannya yang sudah siap mati berperang.
Meskipun sudah berulang kali diperingatkan untuk
menyerah oleh pasukan Hindia Belanda, tetapi rombongan raja tetap bergerak maju
hingga semakin dekat, sampai jarak 100 meter, 80 meter, hingga sampai 70 meter dari
kedudukan pasukan Hindia Belanda. Dan pada jarak terakhir, Raja I Gusti Ngurah
Made Agung dan rakyat Badung yang setia itu berlari kencang dengan tombak dan
keris terhunus menerjang pasukan Hindia Belanda. Dalam pertempuran itu bahkan
turut serta banyak wanita dan anak-anak. Saat itulah tembakan salvo dilepaskan
sehingga beberapa orang jatuh tersungkur, termasuk Raja I Gusti Ngurah Made
Agung. Pada pertempuran itu, raja Badung, gugur.
 |
Puri Agung Denpasar dalam kepungan pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
 |
Gapura pintu gerbang utama Puri Agung Denpasar yang terkena tembakan meriam pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
Ini sebenarnya yang terkenal
sebagai awal dari klimaks Perang Puputan Badung dan jika diteliti
waktunya, terjadi antara pukul 11.00 sampai pukul 11.30. Jhr. Dr. H.M. van
Weede dalam bukunya yang berjudul “Indische Reisherinneringgen” menceritakan
mengenai Perang Puputan yang ia saksikan:
“Raja dengan para pangeran dengan
pengikut-pengikutnya memakai busana yang serba indah, bersenjatakan keris
dengan ulu keris yang terbuat dari emas berhias permata-permata yang
berkilauan. Semuanya berpakaian dalam wana merah atau hitam. Rambut mereka
diatur dengan rapi dan ditaburi minyak wangi. Wanita-wanita berdandan dengan
pakaian mereka yang paling indah yang mereka miliki, dan semuanya mengenakan
selendang putih. Raja telah memerintahkan untuk membakar puri dan menghancurkan
semuanya yang dapat dirusak.”
 |
Kompleks pura yang terbakar di dalam Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
 |
Jenazah Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang gugur menghadapi pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
Van Weede juga mengisahkan pemandangan mengerikan yang
ia temui:
“Pada saat drama tersebut berlangsung, batalyon
ke-18–saya tergabung di dalamnya–berada di tepi kampung di jalan ke arah
Kesiman. Dari jarak 400 meter kami dapat menyaksikan rombongan yang indah dan
cemerlang melalui suatu jalan sebelum mereka diperintahkan berhenti di dalam
perjalanannya. Oleh karena kami mengira kekuatan induk musuh dengan raja berada
di puri, kami mengira bahwa mereka adalah sebagian penduduk yang dikirim oleh
raja untuk menghadang kami.”
“Pertempuran yang kemudian terjadi tidak dapat kami
saksikan. Hanya letusan senjata yang menandakan adanya suatu pertempuran hebat.
Perlahan-lahan kami bergerak maju di pinggir jalan, letusan senjata terdengar
di mana-mana. Akhirnya kami tiba di suatu lapangan kecil dalam perjalanan ke
arah selatan, dan kami harus menunggu sejenak. Sungguh ngeri pertunjukan yang
kami lihat di sana. Tumpukan mayat ibarat gunung, pria dan wanita yang menikam
dirinya dan anak-anaknya, sedangkan jerit kesakitan dari mereka yang akan
menghembuskan nafas terakhir terdengar di mana-mana.”
 |
Gerbang bagian dalam Puri Agung Denpasar yang juga rusak karena pertempuran tahun 1906. |
 |
Kuda kesayangan Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang diamankan pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
 |
Saudari tiri Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang ditemukan bunuh diri di Kaniyamata tahun 1906. |
Setelah terjadi Perang Puputan di dekat Jero Tainsiap,
dimana Raja I Gusti Ngurah Made Agung dan para pembesar kerajaan serta
pasukannya gugur, pasukan Hindia Belanda terus bergerak menuju Puri Agung
Denpasar. Di jalan, mereka harus melalui kampung-kampung yang dihuni oleh para
pasukan Badung. Sesekali, pasukan Badung menyergap pergerakan pasukan Hindia
Belanda, meskipun pada akhirnya mereka tak mendapatkan kemenangan sama sekali.
Ketika berhasil tiba di Puri Agung Denpasar, Panglima Van Tonningen
memerintahkan untuk mengadakan pemeriksaan di dalam puri guna mencari mesiu dan
alutsista milik Kerajaan Badung yang tersisa.
Tanpa diduga, di salah satu bangunan puri yang bernama
Kaniyamata, pasukan Van Tonningen menemukan jenazah saudari tiri raja. Jenazah
putri tersebut ditemukan terbaring di atas sebuah balai, berbusana serba putih
dengan mengenakan perhiasan serba indah. Tampaknya putri tersebut bunuh diri
atau meminta salah seorang abdi kerajaan menikamnya pada saat ia mengetahui
bahwa rajanya telah gugur dalam Perang Puputan. Pada pukul 15.00 pemeriksaan
atas Puri Agung Denpasar selesai dilakukan, dan setelahnya Panglima Van
Tonningen memerintahkan pasukannya untuk bergerak ke Puri Agung Pemecutan,
benteng pertahanan terakhir Kerajaan Badung.
 |
Tanah lapang(?) dekat Puri Agung Denpasar yang menjadi lokasi Perang Puputan raja Badung dan pengikutnya tahun 1906. |
 |
Bangunan tempat menyimpan mesiu dan senjata Kerajaan Badung di Puri Agung Denpasar setelah dibakar habis sebelum ditinggalkan oleh para penghuni puri tahun 1906. |
 |
Tentara pasukan Hindia Belanda mengadakan misa setelah berhasil menduduki Puri Agung Denpasar tahun 1906. |
Mendengar kabar bahwa Puri Agung Denpasar telah jatuh
di tangan pasukan Hindia Belanda, di Puri Agung Pemecutan, Raja I Gusti Gde
Ngurah Pemecutan–sebagai satu-satunya raja Badung yang masih hidup setelah
jatuhnya Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Kesiman–memerintahkan untuk
membakar puri sebelum melakukan pertempuran terhadap pasukan Hindia Belanda. Dalam
gerak menuju Puri Agung Pemecutan, pasukan Van Tonningen menghadapi perlawanan
yang hebat dari warga dan pasukan Badung yang bersenjatakan tombak. Perlawanan
dilakukan bukan hanya oleh para laki-laki dewasa, bahkan termasuk para wanita
dan seorang pangeran muda berusia 12 tahun, seperti dalam tulisan Jhr. Dr. H.M.
van Weede:
“...semuanya nampaknya telah haus untuk mati.
Beberapa wanita melemparkan uang emas kepada para prajurit kita dan menuding
jantung mereka sebagai isyarat agar mereka ditembak mati di sana. Apabila mereka
tidak ditembak, mereka menikam dirinya sendiri. Orang tua bergerak di antara
mayat-mayat yang bergelimpangan dan menikam kanan-kiri mereka yang luka sampai
dia sendiri juga tertembak mati. Semua itu tidak dapat dihambat, Senantiasa
muncul lagi orang lain untuk meneruskan tugas penghancuran itu.”
“Sementara orang-orang harus berhati-hati oleh
karena rombongan warga Bali ke dua tiba, yang dipimpin oleh adik raja dari lain
ibu yang berumur 12 tahun, yang nampaknya hampir tidak sanggup memikul
tombaknya yang panjang itu. Oleh Kapten Van Woudenberg ia diperintahkan untuk
berhenti. Mula-mula anak itu sejenak nampaknya ingin menuruti perintah
tersebut, sampai salah satu pengikutnya mendesak dia untuk terus maju
meneruskan langkahnya. Serangan hebat terjadi dan pada waktu tembakan dilepas
kepada pengikut-pengikutnya, anak muda itu disapu oleh peluru. Terkecuali
beberapa dari mereka yang mengundurkan diri di rumah-rumah dan beberapa dari
mereka yang luka-luka, dan kemudian disembuhkan, semua rombongan
pahlawan-pahlawan ini menemui ajalnya yang mereka cari.”
 |
Para petinggi masing-masing batalyon pasukan Hindia Belanda bersama beberapa pejabat Badung yang selamat di Puri Agung Denpasar setelah Perang Puputan tahun 1906. |
 |
Suasana jalan besar di depan Puri Agung Pemecutan saat terjadinya Perang Puputan tahun 1906. |
Setelah pasukan Hindia Belanda tiba di Pemecutan,
mereka dihadang oleh pasukan dan rombongan Raja I Gusti Gde Ngurah Pemecutan,
termasuk sang raja itu sendiri. Sebagaimana yang diberitakan Van Weede:
“Setelah meriam-meriam mereka dibungkamkan oleh
tembakan meriam pasukan kita, yang berkaliber 3,7 centimeter, kesanalah
raja–dengan para pengiringnya termasuk para wanita dan anak-anak yang berjumlah
kurang lebih 100 orang–menuju dan di tempat itu mereka semua membunuh diri
tanpa dapat kami saksikan. Kami ketemukan mereka bertumpuk semuanya. Raja
terpendam oleh badan-badan pengikutnya yang setia seolah-olah mereka ingin
memperlihatkan kesetiaan mereka melindungi rajanya sampai mati.”
“Wanita-wanita muda yang paling jelita yang kami
lihat di Bali membatu di samping anak-anak mereka. Tandu keemasan raja dan
barang-barang berharga lain berhamburan di tengah-tengah mayat. Dengan demikian berakhirlah secara sukarela dua keturunan raja, wakil dari keluarga yang paling
terkemuka di Badung. Akan tetapi mereka sadar bahwa dengan memperlihatkan
keberanian yang luar biasa di medan pertempuran, mereka akan memperoleh pahala
yang setimpal dari leluhur mereka yang telah mendahului mereka di nirwana.”
 |
Tumpukan jenazah para pasukan dan pengikut setia Raja I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, termasuk jenazah sang raja sendiri, di sebuah jalan dekat Puri Agung Pemecutan setelah terjadi Perang Puputan tahun 1906. |
 |
Puri Agung Pemecutan yang hancur akibat Perang Puputan tahun 1906. |
Demikianlah sekelumit tulisan Van Weeder, yang meski
seorang bangsawan dan warga Belanda, namun ia tidak termasuk golongan
kolonialis. Van Weede dalam tulisannya dapat menghormati dan menghargai jiwa
kepahlawanan raja-raja Badung beserta seluruh bangsawan, rakyat, dan pasukannya
untuk lebih baik berkorban dan gugur di medan laga membela kehormatan dan
keadilan, daripada harus menyerah kepada Belanda yang bersikap semena-mena
terhadap mereka.
Dengan hancurnya ketiga puri di Badung tersebut,
Kerajaan Badung resmi jatuh ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Pada tanggal
22 September 1906, Komisaris Pemerintah F.A. Liefrinck mengirim telegram kepada
Menteri Jajahan Belanda di Den Haag untuk memberitahukan bahwa Denpasar sudah
dapat dikuasai oleh pasukan Hindia Belanda. Liefrinck juga melaporkan jumlah
korban tewas dari pihak Kerajaan Badung sebagai angka resmi sebanyak 400
orang. Laporan tersebut tidak
menyebutkan sumbernya, dan hal tersebut secara faktual jauh lebih rendah
daripada jumlah korban yang sebenarnya.
 |
Beberapa tentara batalyon ke-20 pasukan Hindia Belanda saat Perang Puputan tahun 1906. |
Dalam kasus ini, seorang penulis liberal Belanda
bernama H.H. van Kol menuliskan bahwa menurut laporan surat kabar “Soerabajasche
Handelsband” (surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Surabaya)
memperkirakan bahwa jumlah korban puputan di Denpasar saja sebanyak 600 orang;
kawat resmi memang menyebutkan 400 orang, akan tetapi surat kabar “De
Locomotief” (surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang) menulis
bahwa kalangan resmi sudah dapat menyetujui untuk menghentikan menghitung
sampai mencapai angka 400, memang sebenarnya sekurang-kurangnya 2.000 orang
Badung telah tewas.
Masih dalam tulisan Van Kol, seorang pedanda di
Denpasar memberitahukan padanya bahwa di Denpasar saja ada 800 mayat yang telah
dikuburkan. Dan seorang pejabat pribumi Bali lain menaksir jumlah korban
sebanyak 1.000 orang. Mengenai korban di Pemecutan, surat kabar “Bataviaasch
Nieuwsblad” (surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Batavia) mendapatkan
keterangan bahwa telah jatuh korban sebanyak 200 orang. Nieuwenkamp–seorang
pelukis Belanda yang pada waktu terjadinya Perang Puputan juga berada di
Badung–mendapat informasi dari para perwira bahwa jumlah warga Bali yang tewas
mencapai 450 orang. Dan yang terakhir, sebagian besar orang-orang Bali sendiri
menaksir jumlah korban menjapai “tujuh atak” atau 1.400 orang. Dengan
memperhatikan keterangan-keterangan tersebut, maka secara pasti dapat
diperhitungkan bahwa jumlah korban yang melakukan puputan mencapai 1.000-1.500
orang. Suatu jumlah yang benar-benar mengerikan, menurut Van Kol.
 |
Penduduk sipil di sebuah kampung yang dilewati jalur ekspedisi militer pasukan Hindia Belanda tahun 1906. |
Kejatuhan Kerajaan Badung menandakan kemenangan
pemerintah Hindia Belanda secara telak. Selanjutnya, Panglima Van Tonningen
merencanakan untuk melanjutkan operasi militernya ke Kerajaan Tabanan, yang
juga turut membangkang ultimatum pemerintah Hindia Belanda tanggal 16 September
1906. Diterima berita bahwa raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung, disertai oleh
putra mahkota Pangeran Gusti Ngurah Anom dan beberapa pembesar kerajaan,
termasuk adipati agung (patih kerajaan) serta para punggawa dan pedanda, ingin
berjumpa dengan Panglima Van Tonningen.
Pada pukul 08.00 tanggal 28 September 1906, Raja Gusti
Ngurah Agung dengan rombongannya tiba di Baringkit dari Desa Abeantuwung dan
mengadakan pertemuan dengan Panglima Van Tonningen dan Asisten Residen
Schwartz. Pihak Hindia Belanda dalam pertemuan itu memaksa raja Tabanan untuk
menyerah tanpa syarat. Jika raja tetap membangkang, maka operasi militer akan
segera dilaksanakan dan Kerajaan Tabanan harus menangggung segala
konsekuensinya. Raja Tabanan terpaksa menerima tuntutan Panglima Van Tonningen,
karena merasa tidak memiliki pilihan lain, terlebih telah mengetahui bahwa
sekutunya, raja Badung, telah gugur dalam Perang Puputan. Dan atas dasar
penyerahan itu, raja Tabanan beserta putra mahkota berniat mengasingkan diri ke
Lombok.
 |
Raja Tabanan, Gusti Ngurah Agung (di atas tandu), saat berada di Denpasar untuk berunding dengan pemerintah Hindia Belanda setelah Perang Puputan tahun 1906. |
Sembari menunggu keberangkatan ke Lombok, raja dan
rombongannya ditempatkan secara khusus di Puri Agung Denpasar. Keesokan
harinya, tanggal 29 September 1906, ketika pasukan Hindia Belanda menjemput
raja dan putra mahkota di puri, alangkah terkejutnya mereka saat menemukan Raja
Gusti Ngurah Agung dan Pangeran Gusti Ngurah Anom dalam keadaan sudah tidak
bernyawa. Tampaknya raja memutuskan untuk bunuh diri dengan
memotong urat nadinya dengan menggunakan pisau kecil, dan putra mahkota tewas
karena meminum racun. Kejadian mengejutkan tersebut dilaporkan oleh Liefrinck
kepada Menteri Jajahan Belanda di Den Haag.
Semua peristiwa mengerikan yang terjadi di Badung pada
September 1906 sejatinya merupakan buah dari kekejaman Gubernur Jenderal Van
Heutsz, yang memancing di air keruh atas musibah kapal “Sri Kumala”. Seorang
anggota parlemen, politikus, sekaligus penulis liberal Belanda, H.H. van
Kol–seperti yang sudah dituliskan di bagian sebelumnya–pada tahun 1911
mengunjungi Pulau Bali dan sempat pula mengunjungi Badung, termasuk Denpasar
dan sekitarnya. Van Kol menulis bahwa masalah “Sri Kumala” memang merupakan
suatu sengketa yang dicari-cari oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagai sebuah
alasan untuk dapat menerapkan politik imperialisnya di kerajaan-kerajaan Bali.
 |
Anggota parlemen Belanda, H.H. van Kol. |
Ditambahkannya, raja Badung telah cukup melaksanakan
kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian tahun 1849. Sebagai contoh, terbukti
bahwa raja telah memerintahkan pejabatnya untuk melakukan penyelidikan terhadap
tuduhan pencurian muatan kapal oleh pemilik “Sri Kumala”. Meski hasil
penyelidikan itu tidak membawa hasil yang memuaskan, hal itu bukan merupakan
tanggungjawab raja. Oleh karena itu, raja Badung sudah merasa menjalankan
kewajibannya sebagaimana yang diharapkan, dan karena itu ia dengan jujur dengan
segala kesabaran dapat menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah, dan dengan
senang hati menyerahkan perkara ganti rugi kepada Majelis Kerta untuk memberi
keputusan.
Lebih lanjut, Van Kol menuliskan bahwa tidak ada satu
pun orang Badung yang percaya bahwa dalam hal ini telah terjadi perampasan
muatan kapal sebanyak 7.500 gulden. Selain itu seluruh penduduk Sanur sejumlah
2.800 orang telah bersumpah di hadapan Tuhan bahwa mereka tidak pernah merampas
muatan “Sri Kumala”. Selama tujuh tahun setelah peristiwa puputan terjadi,
belum pernah terdengar mengenai keadaan “para pelaku” perampasan uang yang
hilang itu. Terlebih lagi, para nahkoda “Sri Kumala” ketika ditanya tidak dapat
menerangkan bagaimana bentuk peti berisi uang yang katanya telah dirampas oleh
penduduk itu.
Pemuka-pemuka Badung yang diwawancarai oleh Van Kol
pada tahun 1911 menerangkan dengan tegas bahwa mereka yakin raja Badung tidak
bersalah, dan menganggap bahwa keputusan pemerintah Hindia Belanda untuk
membebankan pembayaran ganti rugi kepada raja Badung sama sekali tidak patut,
terlebih, ditambah dengan keputusan bahwa raja Badung juga harus membayar ongkos
blokade yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda sebanyak 700 gulden per hari.
 |
Wilayah Kerajaan Badung setelah direstorasi oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1938. |
 |
Para raja di Bali tahun 1938 (Raja Cokorda Alit Ngurah berdiri di ujung kiri). |
Kerajaan Badung, meski telah direstorasi oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929 sebagai bentuk realisasi dari anjuran
Dewan Hindia untuk mengambil hati rakyat Badung, tetap tidak mampu melupakan
kekejaman kolonialis Belanda yang telah memporak-porandakan negerinya pada
tahun 1906. Atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok dan Bali seperti I
Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, Pangeran I Gusti Alit Ngurah
yang merupakan salah satu putra Raja I Gusti Ngurah Made Agung yang pada waktu
peperangan pecah dilarikan ke Lombok, diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda
menggantikan mendiang ayahnya sebagai raja Badung, dengan sebutan “regent”
(Kerajaan Badung atau “Zelfbestuur Badung” saat itu resmi menjadi salah satu
wilayah swapraja atau daerah istimewa setingkat kabupaten dalam wilayah Karesidenan Bali dan Lombok).
Ketiga puri Kerajaan Badung dibangun kembali. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka untuk “Zelfbestuur Badung” kekuasaan dipegang oleh Raja I Gusti Alit Ngurah
dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Raja Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan
penobatannya (“abhiseka”) dilakukan serentak dengan tujuh raja-raja Bali lainnya
di Pura Besakih, Kerajaan Karangasem, pada tanggal 30 Juni 1938.
Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung, yang mendapat
gelar anumerta “Cokorda Mantuk ring Rana” (raja yang gugur di medan laga) itu
pada tanggal 4 November 2015 berdasarkan Keputusan Presiden No. 116/TK/2015,
ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Hal tersebut
didasari oleh sikap I Gusti Ngurah Made Agung yang tak pernah mau tunduk
terhadap kesemena-menaan penjajah, rela berkorban demi membela keadilan dan
martabat negerinya.
* * *
- Anak Agung Bagus Wirawan, Anak Agung Gde Putra Agung, dan Sri Sucianingsih. 1999. Puputan Badung 20 September 1906: Perjuangan Raja dan Rakyat Badung melawan Kolonialisme Belanda. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia.
- I Ketut Ardhana. 2013. Pandangan Lokal versus Barat tentang Puputan Badung: Ekspansi Imperialisme Modern Belanda dalam Konteks Bali. Jurnal Kajian Bali Vol. 3 No. 1. Denpasar: Universitas Udayana.
- Ida Anak Agung Gde Agung. 1989. Bali Pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
- Nyoman Wijaya. 2013. Puri Kesiman: Saksi Sejarah Kejayaan Kerajaan Badung. Jurnal Kajian Bali Vol. 3 No. 1. Denpasar: Universitas Udayana.
- Situs Resmi Puri Agung Denpasar. 2017. Perang Puputan Badung 20 September 1906. URL: http://puriagungdenpasar.com/?page_id=19
Sejarah Bali, Intervensi Belanda di Bali, Puputan, Puputan Bali, Perang Puputan, Perang
Puputan Badung, Kerajaan Badung, Puri Agung Denpasar, Y.B. van Heutsz, Sri Kumala, Sri Komala, Raja
Badung, Raja Denpasar, Raja Kesiman, Raja Pemecutan, I Gusti Ngurah Made Agung, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, Pahlawan Nasional
tdk ada kata lain yg bisa diucapkan , sangat salut dengan sikap raja badung 🙏
BalasHapusmantap.. ditulis dengan runtut tinggal dan kejadiannya. terimakasih mau membagikan kisah puputan badung
BalasHapussangat menarik
BalasHapusSangat singkat
BalasHapusMenakjubkan, tiada kata lain
BalasHapusSangat lengkap, terimakasih atas informasinya
BalasHapus