Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial. Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko
Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah “De Sultan van Serdang is een zeer eigenaardig persoon; Sultan Serdang adalah seorang yang aneh. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan melihat setiap pegawai pemerintah Hindia Belanda sebagai musuh bebuyutannya.” Begitulah kalimat penghinaan yang terdapat dalam salah satu laporan serah terima jabatan seorang pejabat kolonial Belanda, terhadap Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, sultan Melayu Serdang yang telah menduduki singgasananya sejak tahun 1881. Di Kesultanan Serdang, sebuah negeri Melayu yang terletak di pesisir timur Pulau Sumatera bagian utara, Sultan Sulaiman telah masyur sebagai pemimpin yang konsisten menentang hegemoni dan kuasa rezim kolonial Hindia Belanda atas negerinya. I. Takhta dan Kehormatan Bangsa Pada tahun 1865, penjajah Belanda datang dan menaklukkan Kesultanan Serdang, mematahkan perlawanan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah. Tepatnya di tanggal 3 Oktober, mereka menangkap Sultan beserta Raja Muda dan Temenggon