Langsung ke konten utama

Sultan Serdang melawat ke Jepang - Kisah Raja Melayu Sumatera Timur yang Anti-Belanda

 

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah


“De Sultan van Serdang is een zeer eigenaardig persoon; Sultan Serdang adalah seorang yang aneh. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan melihat setiap pegawai pemerintah Hindia Belanda sebagai musuh bebuyutannya.”

Begitulah kalimat penghinaan yang terdapat dalam salah satu laporan serah terima jabatan seorang pejabat kolonial Belanda, terhadap Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, sultan Melayu Serdang yang telah menduduki singgasananya sejak tahun 1881. Di Kesultanan Serdang, sebuah negeri Melayu yang terletak di pesisir timur Pulau Sumatera bagian utara, Sultan Sulaiman telah masyur sebagai pemimpin yang konsisten menentang hegemoni dan kuasa rezim kolonial Hindia Belanda atas negerinya.

 

I. Takhta dan Kehormatan Bangsa

 

Pada tahun 1865, penjajah Belanda datang dan menaklukkan Kesultanan Serdang, mematahkan perlawanan Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah. Tepatnya di tanggal 3 Oktober, mereka menangkap Sultan beserta Raja Muda dan Temenggong Tan Sidik, merampas beberapa wilayah kekuasaan Serdang dan menyerahkannya kepada Kesultanan Deli. Setelah penaklukan itu, Kesultanan Serdang, yang sudah berdiri sejak tahun seribu tujuh ratus dua puluh tiga, diserap ke dalam negeri koloni Hindia Belanda, dengan setiap Sultan yang bertahta harus atas persetujuan pemerintah kolonial yang berkedudukan di Batavia.

Setelah Sultan dibebaskan, beliau lebih sering menyendiri dan berfokus pada kegiatan keagamaan, menyerahkan kendali pemerintahan kepada Raja Muda, sehingga kondisi Serdang menjadi semakin lemah. Sultan Basyaruddin sendiri mangkat pada 21 Februari 1881, dan salah seorang putranya yang ketika itu masih berusia sekitar 15 tahun, diangkat menjadi Sultan oleh para orang besar dan rakyat Serdang. Sebagai Sultan Serdang, beliau bergelar Tuanku Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah.

Pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda baru diberikan kepada Sultan Sulaiman enam tahun setelah penobatannya, tepatnya pada tanggal 29 Januari 1887. Keterlambatan itu tidak lain dikarenakan adanya berbagai ketidaksepakatan antara sultan dengan pemerintah kolonial, terutama mengenai penetapan batas wilayah antara Deli dan Serdang, dan penentangan terhadap pasal-pasal dalam kontrak politik yang semakin mengurangi kekuasaan Sultan Sulaiman.

Sebagaimana mendiang ayahandanya, Sultan Basyaruddin, Sultan Sulaiman dikenal sangat menentang kekuasaan Belanda atas Negeri Serdang. Ketika kontrolir Serdang, H.E. Muller, memindahkan ibukota Serdang ke Lubuk Pakam pada tahun 1891, Sultan Sulaiman tidak mau mengikuti perpindahan tersebut, bahkan membuat ibukotanya sendiri secara resmi di Perbaungan, mendirikan Keraton Kota Galuh dan Masjid Raya, serta pasar ikan dan kompleks pertokoan, pada tahun 1894.

Itu hanya beberapa contoh, dari berbagai kebijakan Sultan Sulaiman yang seolah menantang kedudukan pemerintah kolonial. Para pejabat kolonial pun kerap kali memandang buruk terhadap posisi Sultan Sulaiman. Misalnya, seperti yang tertulis dalam laporan serah terima jabatan kontrolir Serdang pada tahun 1893, yang menyatakan bahwa, “Sultan Serdang adalah seorang yang aneh. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri, dan melihat setiap pegawai pemerintah Hindia Belanda sebagai musuh bebuyutannya. Saya bisa memperingatkan pengganti saya agar sangat berhati-hati. Jika kita dapat bekerja dengan gembira di Deli, sebaliknya, di Serdang kita akan setiap saat berada dalam ketakutan, bahwa sewaktu-waktu bisa saja terjadi suatu hal yang aneh.”

 

II. Kabar Baik dari Negeri Matahari Terbit

 

Kabar mengenai kemajuan pesat yang terjadi di Kekaisaran Jepang setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, mendapat perhatian khusus dari Sultan Sulaiman. Reformasi dan modernisasi angkatan bersenjata Jepang, yang diperkuat oleh wajib militer nasional sejak tahun 1873, telah membuat Kekaisaran Jepang menjadi kekuatan militer utama di Dunia Timur, terlebih sejak mereka berhasil mengalahkan Kekaisaran Qing pada tahun 1895. Peningkatan hegemoni Jepang di Asia itulah yang telah mempengaruhi pandangan Sultan Sulaiman terhadap kekuatan bangsa Asia, termasuk rakyat Serdang, yang dianggap mampu meruntuhkan supremasi kolonialis Eropa, terkhusus dalam hal ini adalah penjajah Belanda.

Bagi Sultan Sulaiman, Jepang yang kuat secara militer dianggap dapat membantu untuk mengusir penjajah Belanda dari Serdang. Tidak hanya itu, kemajuan teknologi yang sudah dialami Negeri Matahari Terbit itu juga mendorong Sultan Sulaiman untuk bekerjasama dengan Jepang guna memajukan dan memakmurkan Negeri Serdang.

Menolak permintaan pemerintah pusat di Batavia agar baginda Sultan berkenan menghadiri upacara penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda, pada tahun 1898, Sultan Sulaiman justru memilih untuk melawat ke Negeri Qing Cina dan Jepang. Bersama Tengku Permaisuri Darwisyah beserta ajudan sekaligus guru silat beliau yang bernama Tuan Syekh Batumandi dan beberapa orang pelayan, Sultan Sulaiman bertolak ke Kekaisaran Qing, dan selanjutnya menuju Kekasiaran Jepang. Dua negara yang beliau anggap sebagai kekuatan besar Asia yang mampu menandingi hegemoni Belanda, meskipun kekuatan Qing ketika itu telah jauh menurun.

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah dan rombongan tiba di pelabuhan Yokohama, dan selanjutnya bertolak ke ibu kota Tokyo untuk menghadap Kaisar Mutsuhito, ikon dari restorasi Meiji. Sesuatu yang amat mengesankan adalah bagaimana Kaisar Mutsuhito berkenan menerima kedatangan Sultan Sulaiman di Istana Kekaisaran, meskipun ketika itu semua pertemuan atau audiensi antara kaisar dan sultan bersifat tidak resmi alias incognito, karena Serdang masih dianggap sebagai bagian dari koloni Hindia Belanda, dan menurut hukum dan perjanjian yang berlaku, para raja dan sultan di seluruh Hindia Belanda tidak diperkenankan untuk membina hubungan luar negeri secara resmi dengan negara lain.


Kaisar Mutsuhito (Meiji)

Tidak ada catatan rinci tentang apa yang dibicarakan oleh Sultan Sulaiman kepada Kaisar Mutsuhito. Dalam buku Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur yang disusun oleh Sultan Luckman Sinar Basharsyah II, saat itu Sultan Sulaiman meminta bantuan kepada Kaisar Meiji agar Jepang berkenan membantu Serdang untuk mengusir penjajah Belanda. Tidak diketahui pula bagaimana respon dari pemerintah Jepang maupun Kaisar Mutsuhito secara pribadi. Namun, yang jelas, kaisar menunjukkan itikad baiknya dengan memberikan beberapa cenderamata istimewa bagi sultan, termasuk potret besar Kaisar Meiji dan sebilah pedang, sebagai tanda persahabatan antara Jepang dan Serdang.

Lawatan Sultan Sulaiman ke Jepang itu oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai tindakan pembangkangan, dan segera mereka manfaatkan untuk berbuat licik sebagai balasan atas pembangkangan yang dilakukan Sultan Sulaiman, dengan mempersempit wilayah kekuasaan Serdang. Kebijakan pemerintah kolonial itu tak pelak menyebabkan perubahan dalam susunan para Orang Besar. Belanda juga menghapuskan beberapa posisi pemerintahan, termasuk jabatan Raja Muda dan Wazir Paduka Setia Maharaja.

Meski demikian hubungan antara Serdang dan Jepang tetap terjalin baik pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1903, dengan bantuan dua tenaga ahli dari Jepang, yang ketika itu orang-orang Serdang mengenalnya sebagai Tuan Ohori dan Tuan Imada, dibangunlah proyek irigasi pertanian di kawasan Bendang, yang hasil produksinya kemudian diberikan secara cuma-cuma kepada penduduk Serdang.

Melalui beberapa pegawai Jepang di Hindia Belanda, Sultan Sulaiman tetap mengadakan kontak dengan pemerintah Jepang, masih dengan tujuan utama yang sama yaitu agar berkenan membantu Serdang mengusir penjajah Belanda. Tidak hanya itu, Sultan Sulaiman juga membina hubungan baik dengan dr. Sutomo, seorang dokter pemerintah yang merupakan pendiri Budi Utomo, yang ketika itu sedang bertugas di Lubuk Pakam. Bahkan, oleh Sultan Sulaiman, salah satu tokoh pergerakan nasional itu ditugaskan menjadi kepala dokter di Kesultanan Serdang, pada tahun 1911-1915.

Kedekatan Sultan Sulaiman dengan orang-orang Jepang dan beberapa tokoh pergerakan, pada akhirnya mendapat perhatian khusus oleh pemerintah Hindia Belanda. Atas laporan rahasia dari duta besar Kerajaan Belanda di Tokyo kepada Gubernur Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz pada tanggal 14 Maret 1907, pemerintah kolonial mulai memata-mati setiap aktivitas Sultan Sulaiman. Setelah terbentuknya Dinas Intelejen Politik alias Politieke Inlichtingen Dienst di tahun 1916, pemerintah kolonial menempatkan seorang bangsawan Kesultanan Serdang, yang dulu pernah menuntut tahta kesultanan, sebagai inspektur dinas intelejen di Medan. Sudah jelas bahwa ia ditugaskan untuk memantau dan melaporkan setiap gerak-gerik Sultan Sulaiman dan para pejabat Serdang.

Pada tahun 1921, dinas intelejen kembali mendapat laporan dari duta besar Belanda di Tokyo, bahwa pemerintah Jepang bermaksud mengirim pasokan senjata ke Aceh dan Serdang. Setelah diselidiki, ternyata Sultan Sulaiman hanya mengimpor mesin dan baling-baling pesawat Jepang untuk dipergunakan di salah satu kapal beliau, yang dikerjakan oleh seorang mekanik Jepang yang bertugas di Perbaungan.

 

III. Berjuang hingga Akhir Hayat

 

Pada akhirnya, sepanjang Sultan Sulaiman memegang tampuk pemerintahan Serdang, rezim kolonial selalu dibuat gelisah dengan aktivitas dan kebijakannya yang kerap kali kontra pemerintah. Meski dalam kontrak politik telah ditetapkan bahwa sultan dapat diturunkan dari tahta jika ia melawan pemerintah Hindia Belanda, pada kenyataannya Sultan Sulaiman tetap mampu bertahan di atas singgasananya, terlebih berkat keahliannya dalam berhubungan politik dengan rezim kolonial. Popularitasnya yang luar biasa di tengah masyarakat Serdang, serta kedudukannya yang dituakan oleh para raja dan sultan Melayu Sumatera Timur, juga membuat Belanda selalu segan untuk menindak Sultan Sulaiman.

Dan ketika Hindia Belanda runtuh pada tahun 1942, disusul dengan invasi serta pendudukan Jepang atas Tanah Hindia termasuk Serdang, militer Jepang tetap berhubungan baik dengan Sultan Sulaiman, yang ketika itu telah lanjut usia. Rakyat Serdang bahkan terbebas dari romusha, dan militer Jepang berkomitmen melindungi Serdang sebagai wilayah swasembada beras, dengan syarat Serdang berkenan menyuplai kebutuhan beras batalyon Jepang yang ada di Melati.

Sultan Sulaiman memerintah dalam waktu yang sangat panjang, menyaksikan awal hegemoni Belanda atas negerinya, hingga keruntuhannya pada tahun 1942, sampai masa-masa pendudukan Jepang dan Perang Dunia II. Setelah kekalahan Jepang serta berdirinya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan setelah berita proklamasi kemerdekaan tiba di Sumatera Timur pada bulan berikutnya, Sultan Sulaiman dan Tengku Putra Mahkota langsung menyatakan bahwa Kesultanan Serdang bergabung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia.

Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah wafat di Keraton Kota Galuh Perbaungan, pada tanggal 13 Oktober 1946, dalam usia sekitat 80 tahun, setelah mengetahui bagaimana kerajaan-kerajaan Karo dan Melayu tetangga Serdang mengalami kudeta berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Sosial. Beliau dimakamkan di pemakaman kesultanan yang berada di kompleks Masjid Raya Sulaimaniyah, dengan upacara pemakaman secara militer dan dihadiri oleh ribuan rakyat. Selama 65 tahun masa pemerintahannya, beliau dikenal sebagai seorang pemimpin sekaligus tokoh anti Belanda, yang berhasil membawa Kesultanan Serdang, meskipun berada dalam bayang-bayang penjajah Belanda, mampu berdiri sebagai salah satu negeri yang disegani di Nusantara.



Bauwarna | 2023


  • Tuanku Sultan Luckman Sinar Basharsyah II. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang.

  • Dokumenter berjudul “Inilah Fakta Sejarah Kesultanan Serdang” (narasumber Tengku Mira Sinar gelar Tengku Putri Bongsu) produksi Deli Geist TV, 2019.


Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d