Langsung ke konten utama

Sejarah Tari Bedhaya Ketawang dan Makna Filosofisnya



Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu pusat penciptaan, kelahiran, pengembangan, dan pelestarian budaya Jawa. Salah satu produk kebudayaan yang masih dilestarikan oleh Keraton Surakarta adalah Tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang adalah salah satu komposisi tari putri klasik yang dibawakan oleh sembilan orang penari putri yang diiringi oleh Gendhing Ketawang. Kata ketawang berasal dari kata tawang, yang dalam bahasa Jawa berarti langit. Maka secara harfiah Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan suasana langit sebagai tempat tertinggi dengan segala komponennya.

Dari segi kedudukan, Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian paling sakral dan paling utama dari seluruh tarian di Keraton Surakarta. Tari Bedhaya Ketawang hanya ditampilkan satu kali dalam setahun yaitu ketika upacara Jumenengandalem (upacara kenaikan takhta Sunan), serta di saat upacara Tingalandalem Jumenengan (upacara peringatan kenaikan takhta Sunan).

Sejarah Tari Bedhaya Ketawang

R.T. Warsadiningrat, seorang abdidalem niyaga Keraton Surakarta (KGPH. Hadiwijaya, 1974:16) menuturkan bahwa pada awalnya Tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh tujuh orang penari. Kangjeng Ratu Kidul-lah yang menambahkan dua orang penari lagi, sehingga total penari Tari Bedhaya Ketawang menjadi sembilan orang. Menurutnya, Tari Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Bathara Guru pada tahun 167. Semula disusunlah satu formasi, terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa dan diiringi oleh gamelan berlaras pelog pathet lima, yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong). Lenggotbawa, menurut GPH. Kusumadiningrat (KGPH. Hadiwijaya, 1974:17), diciptakan oleh Bathara Wisnu, tatkala duduk di balekambang Kahyangan Utarasegara. Tujuh buah permata kahyangan yang indah kemudian dipuja dan berubah wujud menjadi tujuh bidadari, yang kemudian menari mengitari Bathara Wisnu dari arah kanan.

Sunan Pakubuwana X (bertakhta 1893-1939).

Menurut Sunan Pakubuwana X (KGPH. Hadiwijaya, 1974:17), Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang diciptakan sebagai lambang cinta Kangjeng Ratu Kidul (Ratu Kencanasari) pada Panembahan Senapati, raja Kesultanan Mataram ke-1, ketika beliau bermunajat di Pantai Parangkusuma. Segala gerakkannya melukiskan bujuk rayu, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Panembahan Senapati. Maka, Ratu Kidul lalu memohon agar Panembahan Senapati tidak pergi dan menetap di Samudra Kidul dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana. Panembahan Senapati tidak menuruti kehendak Ratu Kidul, namun sebagai gantinya beliau berkenan memperistri Ratu Kidul secara turun-temurun. Sebaliknya, bahkan jika sewaktu-waktu Panembahan Senapati dan seluruh raja-raja Dinasti Mataram keturunannya menyelenggarakan pergelaran Tari Bedhaya Ketawang, Ratu Kidul diminta datang ke daratan untuk mengajarkan Tari Bedhaya Ketawang pada para abdidalem bedhaya (penari keraton). 

Sedangkan menurut Sri Sekar Setyosih, S.Kar., M.Sn. (dosen Prodi Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta, 2017), mengacu pada Kitab Wedhapradangga, Tari Bedhaya Ketawang dan Gendhing Ketawang sendiri diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Kesultanan Mataram ke-4. Ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma sedang bersemadi, beliau mendengar sayup-sayup suara tiupan angin yang mengenai angkup (sejenis binatang yang berterbangan). Saat Sultan Agung Hanyakrakusuma menyermatinya, suara tersebut terdengar seperti suara kemanak Gamelan Lokananta (gamelan kahyangan). Seketika itu pula terdengar senandung gaib yang menyuarakan lagu indah yang agung dan berwibawa. Hal itu membuat Sultan Agung Hanyakrakusuma terpesona. Pada pagi harinya, beliau memanggil para empu karawitan, yaitu Kangjeng Panembahan Purubaya, Kyai Pajang Mas (abdidalem dhalang) dan putranya, Pangeran Karanggayam II, serta Tumenggung Alap-Alap, untuk membuat gendhing yang mengacu pada kejadian yang dialami beliau sewaktu bersemadi.

Dua penari yang akan membawakan Tari Bedhaya Ketawang, sekitar tahun 1970-an.

Konon, ketika proses penyusunan gendhing, Sultan Agung Hanyakrakusuma didatangi secara gaib oleh Sunan Kalijaga. Beliau mengetahui niat Sultan Agung Hanyakrakusuma untuk membuat gendhing bedhaya dan menyatakan turut berbahagia. Sunan Kalijaga bahkan mengatakan bahwa karya tersebut akan mejadi pusaka luhur para raja-raja Dinasti Mataram keturunan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Beliau juga berpesan untuk membunyikan gendhing tersebut saat hari Anggara Kasih agar raja dan rakyat senantiasa dalam keadaan damai. Setelah Gendhing Ketawang tercipta, untuk menarikan Tari Bedhaya Ketawang, Sultan Agung Hanyakrakusuma menghendaki delapan orang penari yang diambil dari anak perempuan masing-masing bupati nayaka (menteri kerajaan). Agar memenuhi jumlah sembilan penari, dipilihlah satu orang lagi yaitu salah seorang cucu perempuan pepatih dalem (perdana menteri kerajaan).

Dalam sejarahnya, Tari Bedhaya Ketawang menjadi hak milik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat semenjak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah, Kasunanan Surakarta (yang dipimpin Sunan Pakubuwana III) dan Kesultanan Yogyakarta (yang dipimpin Sultan Hamengkubuwana I). Pembagian wilayah ini juga diikuti oleh pembagian warisan berupa pusaka. Tari Bedhaya Ketawang, sebagai salah satu pusaka non-benda Kesultanan Mataram, diwariskan kepada Kasunanan Surakarta sebagai penghormatan karena Kasunanan Surakarta merupakan monarki yang berkedudukan lebih tua dari Kesultanan Yogyakarta. Sebagai gantinya, Keraton Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menciptakan Tari Bedhaya Semang. Jauh sebelum pecahnya Kesultanan Mataram, Sunan Pakubuwana I (yang ketika itu masih bergelar Pangeran Puger) pada tahun 1701 menciptakan Tari Bedhaya Sumreg yang mirip dengan Tari Bedhaya Ketawang (Clara Brakel-Papenhuiyzen, 1992:47).

Sifat dan Makna Tari Bedhaya Ketawang

Menurut KGPH. Panembahan Hadiwijaya Maharsitama (KGPH. Hadiwijaya, 1974: 12), Tari Bedhaya Ketawang mengandung sifat dan makna sebagai berikut:

A. Adat Upacara

Tari Bedhaya Ketawang berkedudukan bukan hanya sebagai produk budaya untuk tontonan semata, karena kedudukannya sebagai sebuah tarian pusaka yang bahkan hanya ditampilkan pada waktu-waktu yang sangat khusus. Selama tarian berlangsung, tidak diperkenankan mengeluarkan hidangan dan merokok, seluruh suasana diharuskan untuk hening, dan semua tamu yang hadir tidak diperkenankan berbicara.

B. Sakral

Menurut kepercayaan keraton, Kangjeng Ratu Kidul turut hadir ketika Tari Bedhaya Ketawang ditampilkan. Tidak setiap orang dapat melihat kehadiran Ratu Kidul, hanya orang-orang yang peka secara mata batin yang dapat menangkap wujud kehadiran sang ratu. Konon pada saat para penari berlatih, Ratu Kidul ikut serta mengawasi dan bahkan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh si penari.

Penari Tari Bedhaya Ketawang saat hendak tampil di Upacara Tingalandalem Jumenengan Sunan Pakubuwana XII (bertakhta 1945-2004) yang diselenggarakan di Keraton Kilen ing Prabasana (foto sekitar tahun 1985-1987).

C. Religius

Dari sisi religius, Tari Bedhaya Ketawang diiringi Gendhing Ketawang yang salah satu baitnya berbunyi, “...tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, yen mati ngendi surupe, kyai?” Akhir lirik tersebut kurang lebih berarti, “...kalau meninggal, kemana tujuannya, kyai?” Hal itu menjadi pengingat bahwa setiap manusia akan mengalami kematian, maka diharuskan bagi siapapun untuk berbuat baik dan berbakti kepada Tuhannya.

D. Asmara/Percintaan

Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu Kidul terhadap Panembahan Senapati. Semuanya tersirat dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh penari, cara penari memegang sondher, dan lain sebagainya. Segala jenis perlambang tersebut telah dibuat sedemikian halusnya, sehingga mata orang awam bahkan sukar memahaminya. Satu-satunya hal yang dapat dibaca oleh mata orang awam adalah busana seluruh penarinya yang merupakan busana pengantin dan semua penari dirias seperti lazimnya mempelai perempuan.

Pelaksanaan Pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang

A. Gendhing Pengiring

Gendhing yang dipakai untuk mengiringi penampilan Tari Bedhaya Ketawang adalah Gendhing Ketawang atau juga disebut Gendhing Ketawang Gedhe. Gendhing ini bersifat sakral dan khusus; tidak dapat dijadikan gendhing klenengan (untuk hiburan), sebab bentuk asalnya merupakan tembang yang termasuk dalam tembang gerong. Gamelan yang mengiringi Tari Bedhaya Ketawang terdiri dari lima jenis, yaitu kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Suara kemanak-lah yang paling menonjol dalam Gendhing Ketawang.

Di tengah-tengah berlangsungnya Gendhing Ketawang, laras atau iramanya berpindah sejenak dari pelog ke slendro sampai dua kali, sebelum kemudian kembali ke laras pelog sampai akhir gendhing. Pada bagian pertama diiringi sindhenan (lagu) Durma, selanjutnya berganti ke sindhenan Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke dalam Dalem Ageng Prabasuyasa, instrumen gamelan pengiringnya ditambah dengan rebab, gender, gambang, dan suling. Dan selama tarian berlangsung, tidak digunakan keprak seperti halnya Tari Srimpi.

Lirik Gendhing Ketawang, selain mengandung suasana asmara, juga berisi tentang perbintangan (astrologi). Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu liriknya yang berbunyi, “...anglawat akeh rabine Susuhunan, nde. Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde. Sesotya gelaring mega, Susuhunan kadi lintang kuwasane.” Yang kurang lebih berarti, “...dalam perlawatan, Susuhunan (Sunan) banyak menikah. Dalam perlawatan, Susuhunan banyak permaisurinya. Permata bertebaran di langit membentang. Susuhunan yang berkuasa, bagai bintang.

Penari Tari Bedhaya Ketawang berlatih di Pendhapa Sasana Sewaka.

B. Penari Tari Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Mereka dilatih secara khusus oleh para abdidalem putri, ialah mantan penari keraton yang diangkat oleh Sunan menjadi pelatih tari klasik. Syarat menjadi penari Tari Bedhaya Ketawang adalah harus seorang putri yang masih perawan, suci lahir dan batin, serta bukan merupakan putri Sunan; peraturan ini kemudian berubah pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XII (bertakhta 1945-2004), sejak tahun 1980, putri-putri Sunan maupun penari dari luar keraton yang memiliki kemampuan mumpuni diperkenankan ikut berlatih dan menarikan Tari Bedhaya Ketawang, dengan syarat harus meminta izin kepada Kangjeng Ratu Kidul (secara batiniah).

Para penari Tari Bedhaya Ketawang diharuskan berlatih di Pendhapa Sasana Sewaka, Keraton Surakarta, sebelum menampilkan Tari Bedhaya Ketawang di hadapan Sunan pada saat Tingalandalem Jumenengan. Pelatih Tari Bedhaya Ketawang membedakan sebutan untuk para penari sesuai dengan tahap latihan yang harus dilalui, yaitu:

1). Penari magang, berjumlah 36 orang yang berdomisili di Surakarta dan bukan merupakan kerabat keraton.
2). Penari anggara kasih, berjumlah 5 orang, yang terpilih dari 36 penari magang dan mendapat izin untuk menarikan Tari Bedhaya Ketawang pada saat latihan di hari Anggara Kasih atau Selasa Kliwon.
3). Abdidalem bedhaya, yaitu penari pada hari latihan Anggara Kasih yang terpilih menjadi penyaji Tari Bedhaya Ketawang.

Penari Tari Bedhaya Ketawang juga memiliki nama-nama khusus, sesuai dengan posisi dan peranannya selama berlangsungnya persembahan Tari Bedhaya Ketawang, yaitu:

1). Batak
2). Endhel Ajeg
3). Endhel Weton
4). Apit Ngarep
5). Apit Mburi
6). Apit Meneng
7). Gulu
8). Dhadha
9). Boncit

Persembahan Tari Bedhaya Ketawang saat Upacara Tingalandalem Jumenengan Sunan Pakubuwana XIII (bertakhta sejak 2004) pada tahun 2012.

Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendhapa Sasana Sewaka, melalui Sasana Parasdya, berjalan berurutan satu per satu. Kemudian mereka mengitari Sunan yang duduk di dhampar kencana (singgasana). Demikian juga saat mereka berjalan kembali ke Dalem Ageng Prabasuyasa. Yang membedakan dengan tari-tarian lainnya adalah para penari Tari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sunan, sedangkan beliau berposisi di sebelah kanan mereka. Pada tarian Bedhaya atau Srimpi biasa, penari-penari melakukan gerakan keluar-masuk dari sebelah kanan Sunan dan kembali melalui jalan yang sama.

Dalam hal sejak kapan dimulainya penyajian Tari Bedhaya Ketawang pada upacara Jumenengandalem atau Tingalandalem Jumenengan, belum ada yang mengetahui dengan pasti (KGPH. Hadiwijaya, 1974:14). Aslinya pergelaran Tari Bedhaya Ketawang berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X (bertakhta 1893-1939), diadakan pengurangan durasi menjadi satu setengah jam hingga dua jam saja. Tari Bedhaya Ketawang harus dipertunjukkan di Pendhapa Sasana Sewaka, pengecualian pada saat keraton mengalami musibah kebakaran tahun 1985, penyajian Tari Bedhaya Ketawang sementara dilakukan di Pendhapa Keraton Kilen ing Prabasana sampai bangunan fisik Pendhapa Sasana Sewaka selesai dibangun kembali. 

Berusia lebih dari tiga abad, Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian istana Jawa tertua yang masih lestari. Kedudukan Tari Bedhaya Ketawang sebagai tarian pusaka tertinggi tetap dilestarikan eksistensinya oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sampai saat ini, setiap upacara Tingalandalem Jumenengan Sunan Pakubuwana XIII (bertakhta sejak 2004), tarian tersebut selalu ditampilkan lengkap tanpa terkecuali. Hal tersebut sebagai bukti bahwa Kasunanan Surakarta masih eksis dan tetap berdiri sebagai benteng pelindung serta penjaga budaya, khususnya budaya Jawa, di tengah arus moderenisasi.


* * *




Dokumentasi Gendhing Ketawang Ageng yang dibawakan oleh abdidalem nayaga dan abdidalem waranggana Keraton Surakarta dengan iringan gamelan Kyai Kaduk Manis, 1973.
.

Dokumentasi Tari Bedhaya Ketawang pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana XII.


Bedhaya Ketawang - Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film; Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, 2009.



* * *



  • Brakel-Papenhuiyzen, Clara. 1992. The Bedhaya Court Dances of Central Java. Leiden: Brill Publishers.
  • Hadiwidjaya, KGPH. 1974. Bedhaya Ketawang: Tarian Sakral di Candi-Candi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Taman Siswa.



* * *





Bedhaya Ketawang, Tari Bedhaya Ketawang, Pengertian Tari Bedhaya Ketawang, Sejarah Tari Bedhaya Ketawang, Sejarah Bedhaya Ketawang, Makna Tari Bedhaya Ketawang, Fakta Tari Bedhaya Ketawang, Gendhing Bedhaya Ketawang, Kasunanan Surakarta, Keraton Surakarta

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d