Langsung ke konten utama

Raja Chulalongkorn dan Pesona Batik Indonesia


Bukti sejarah hubungan erat Indonesia dan Thailand dapat disaksikan dengan jelas dalam 307 potong kain batik berbagai corak yang berasal dari akhir abad ke-19 yang dipamerkan di Museum Tekstil Ratu Sirikit (Queen Sirikit Museum of Textiles/QSMT), di kompleks Istana Raja Thailand (Grand Palace), Bangkok, mulai akhir Oktober 2018 sampai musim semi 2021. Pameran tersebut bertema "A Royal Treasure: Javanese Batik from the Collection of King Chulalongkorn of Siam", yang memamerkan ratusan kain batik koleksi Raja Thailand ke-5, Chulalongkorn.

Selama masa pemerintahannya yang panjang, Raja Chulalongkorn - atau gelar resminya Raja Rama V - mengunjungi Pulau Jawa (Hindia Belanda pada saat itu) selama tiga kali antara tahun 1871 dan 1901.  Sejak kunjungan yang pertama, Raja Chulalongkorn menampakan ketertarikannya yang besar terhadap seni batik, sehingga pada kunjungannya yang ke dua dan ke tiga Raja mulai mengoleksi kain batik dari berbagai sentra produksi batik di pulau Jawa; dan sepulang dari kunjungannya, raja turut memboyong 307 potong kain batik ke Negeri Gajah Putih. Secara geografis, batik-batik koleksi Raja Chulalongkorn mewakili gaya batik keraton dan gaya batik pesisir.

Raja Chulalongkorn (Rama V)
.
Pada tahun 1871, di usia 18 tahun, Raja Chulalongkorn melakukan kunjungan resmi ke Singapura dan Jawa. Ini adalah pertama kalinya seorang Raja Siam (Thailand) melakukan perjalanan resmi ke luar negeri. Salah satu program besar pemerintahan baginda adalah memoderenisasi Siam, dan atas alasan tersebut raja berkunjung ke berbagai negara untuk mengumpulkan inspirasi dan berinovasi; semisal, dalam kunjungannya ke Jawa, raja melakukan studi banding terhadap jalur rel kereta api baru antara Batavia (Jakarta) dan Semarang. Selain itu, raja juga menaruh minat yang dalam mengenai kesamaan warisan budaya Hindu-Budha antara Jawa dan Siam.

Kapal pesiar baginda merapat di pelabuhan Batavia pada 26 Maret 1871. Setelah enam hari bermalam di Batavia, di mana baginda juga disambut secara kenegaraan oleh Gubernur Jenderal Pieter Mijer, kapal pesiar kerajaan kemudian bertolak Semarang. Di sinilah baginda mengunjungi sentra produksi batik, di mana ia juga sempat mencoba berkreasi membuat motif batik menggunakan canting.

Raja Chulalongkorn dan rombongan saat mengunjungi pabrik kina di Bandung
.
Kunjungan singkat ke Jawa ini hanya berlangsung selama 15 hari, namun perjalanan tersebut membuat kesan yang luar biasa pada sang raja muda, karena kemudian ia kembali mengunjungi Jawa pada tahun 1896 dan 1901. Sebagai tanda terima kasih dan simbol persahabatan antara Siam-Jawa, 
baginda menghadiahkan sebuah patung gajah yang sampai hari ini masih berdiri di halaman Museum Nasional, Jakarta.


Kunjungan ke dua Raja Chulalongkorn di Jawa berlangsung pada 25 Mei hingga 28 Juli 1896, di mana ia juga secara khusus mengunjungi istana-istana Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Pada tanggal 25 Juni, baginda tiba di Keraton Yogyakarta dan menjadi tamu kehormatan Sultan Hamengkubuwono VII dan Adipati Pakualam V. Sultan memberi baginda sebuah keris sakral yang disebut Keris Mangkurat, sementara baginda mempersembahkan Ordo Kehormatan Chula Suraporn kepada sultan. Ia juga sempat berfoto menggunakan busana ala Raja Jawa, lengkap dengan kain batik motif parang dan payung kebesaran.

Raja Chulalongkorn berfoto menggunakan busana ala Raja Jawa(*).
.
Selama di Jawa Tengah,  raja juga mengunjungi Candi Prambanan dan Candi Borobudur serta Candi Mendut, Candi Kalasan, dan Candi Sari. Kemegahan dan keindahan candi-candi peninggalan Kerajaan Medang tersebut sangat mengesankan di mata raja; ia juga aktif berdiskusi dengan Dr. J. Groneman, seorang arkeolog Belanda yang menemaninya selama mengunjungi candi-candi tersebut.

Pada tanggal 5 Juli 1896, Raja Chulalongkorn, bersama Ratu Saovabha Phongsri dan sejumlah rombongan besar, tiba dengan kereta api khusus di Surakarta di mana baginda bertamu ke Keraton Surakarta dan disambut langsung oleh Sunan Pakubuwono X dan GKR. Pakubuwono bersama Adipati Mangkunegoro VI, Residen Surakarta, serta beberapa bangsawan dan pejabat. Dalam buku hariannya, baginda membuat catatan khusus tentang kebaikan Sunan Pakubuwono X yang menjamunya dengan 20 jenis buah-buahan segar. Raja Chulalongkorn juga berkesempatan berfoto bersama dengan Sunan Pakubuwono X, bergandengan tangan secara hangat, bersama para bangsawan dan pejabat Belanda yang hadir. Sunan juga menghibur baginda di Pendhopo Sasono Sewoko dengan tari-tarian (bedhoyo dan srimpi). Sang raja kemudian memberikan Ordo Kehormatan Kerajaan Siam kepada Sunan Pakubuwono X dan beberapa bangsawan sebagai hadiah. Di Mangkunegaran, raja berkesempatan mengunjungi Adipati Mangkunegoro VI. Kedatangannya dijamu dengan pertunjukan langendriyan yang dimainkan oleh keluarga Puro Mangkunegaran, yang membuat baginda memahami bahwa begitu banyak kesamaan antara sendratari Siam dan Jawa.


Raja Chulalongkorn dan Putri Suddha Dibyaratana bersama Sunan Pakubuwono X berfoto di Bangsal Maligi, Keraton Surakarta.
.
Setelah mengunjungi Surakarta, baginda juga berkesempatan mengunjungi keraton-keraton Cirebon pada 28 Juli. Baginda bertemu dengan Sultan Sepuh XI dan Sultan Anom VIII, bersama dengan para bangsawan dan pejabat Belanda lainnya. Di Keraton Kasepuhan, raja mengunjungi Taman Sari Sunyaragi dan bertemu dengan Residen Cirebon. Dari pelabuhan Cirebon, kapal pesiar kerajaan berlayar ke Singapura sebelum akhirnya tiba di Bangkok.

Perjalanan ke tiga Raja Chulalongkorn ke Jawa berlangsung dari 5 Mei hingga 24 Juli 1901, ketika ia kembali mengunjungi Yogyakarta dan Surakarta. Meskipun baginda hanya menghabiskan beberapa jam di Yogyakarta, ia tinggal selama tiga hari di Surakarta, di mana ia juga beberapa kali bertemu Sunan Pakubuwono X, karena mereka telah menjadi teman baik selama kunjungan baginda sebelumnya. Raja juga mengunjungi kediaman KRA. Sosrodiningrat IV (patih Kasunanan Surakarta) untuk minum teh dan menyaksikan pertunjukan wayang orang. Hubungan erat antara Siam dan kerajaan-kerajaan Jawa masih terus terjaga, terbukti dengan kunjungan Raja Prajadhipok (Rama VII) ke istana-istana Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1929.

Sunan Pakubuwono X dan GKR. Hemas menerima kunjungan Raja Prajadhipok dan Ratu Rambhai Barni di Keraton Surakarta tahun 1929. Khusus menyambut kedatangan Raja Prajadhipok, pihak Keraton Surakarta menampilkan Gendhing Ladrang Siyem; yang mengadopsi nada lagu seremonial monarki Thailand, Sansoen Phra Barami.
.
Raja Chulalongkorn memborong kain batik sejumlah 307 buah selama tiga kali kunjungannya ke Jawa. Namun, kemungkinan besar mayoritas batik koleksinya berasal dari kunjungan tahun 1896. Pada tahun 1897, beberapa batik koleksi raja sempat dipertunjukkan dalam waktu singkat di Bangkok, tetapi kemudian tidak pernah dilakukan lagi sejak sang raja mangkat. Setelah baginda wafat pada tahun 1910, koleksi batik tersebut disimpan di Istana Raja dan tidak pernah diperlihatkan ke publik selama lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, pameran "A Royal Treasure: Javanese Batik from the Collection of King Chulalongkorn of Siam" merupakan pameran pertama dari batik-batik koleksi Raja Chulalongkorn.

Pembukaan Pameran Batik tersebut dilakukan selama 3 hari berturut-turut yaitu tanggal 29, 30, dan 31 Oktober 2018, serta akan dibuka untuk umum pada tanggal 1 November 2018. Pembukaan tanggal 29 Oktober 2018 merupakan Grand Opening, tanggal 30 untuk kalangan media, dan tanggal 31 untuk para duta besar negara sahabat dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Bangkok.

Putri Mahachakri Sirindhorn saat acara Grand Opening "A Royal Treasure: Javanese Batik from the Collection of King Chulalongkorn of Siam".
.
Acara Grand Opening dibuka secara resmi oleh Putri Mahachakri Sirindhorn (adik Raja Vajiralongkorn alias Raja Rama X) dan dihadiri oleh para petinggi kerajaan dan pejabat Thailand; Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Thailand, Ahmad Rusdi beserta istri; para pakar seni dan kolektor tekstil tradisional Asia Tenggara yang berasal dari Indonesia, Thailand, dan negara lainnya; serta para pencinta batik.

Acara Grand Opening semakin terasa membawa hadirin ke suasana keluhuran dan kearifan budaya Jawa serta hubungan erat antara Kerajaan Thailand dan Kasunanan Surakarta maupun Kesultanan Yogyakarta dengan kehadiran GKR. Hemas (permaisuri Sultan Hamengkubuwono X) dan GBRAy. Pakualam (permaisuri Adipati Pakualam X) sebagai tamu kehormatan dari acara Grand Opening tersebut. Terlebih dalam acara tersebut ditampilkan pula permainan gamelan oleh guru dan siswa-siswi Sekolah Indonesia Bangkok serta staf KBRI, demonstrasi membatik oleh pembatik dari Keraton Yogyakarta, serta hidangan makanan dan minuman khas Indonesia yang disajikan oleh KBRI Bangkok.

Putri Mahachakri Sirindhorn didampingi GKR. Hemas dan GBRAy. Pakualam beseta pejabat KBRI saat menyaksikan busana ala Sultan Yogyakarta koleksi Raja Chulalongkorn.
.
Ketertarikan dan minat yang tinggi terhadap batik dan budaya Indonesia tampak pada Putri Sirindhorn. Putri menikmati pertunjukan gamelan dan demo membatik serta serius memperhatikan satu per satu koleksi batik yang dipamerkan. Dengan telaten sang putri mendengarkan penjelasan Duta Besar Ahmad Rusdi dan membuat catatan pribadi setiap elemen pameran dan pertunjukan budaya yang menarik minatnya.

Pameran tersebut juga menayangkan video-video kunjungan kenegaraan Raja Prajadhipok (Rama VII) dan Ratu Rambhai Barni ke Hindia Belanda pada tahun 1929 serta kunjungan Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) dan Ratu Sirikit pada tahun 1960 ke Indonesia. Turut dipamerkan pula kain batik "motif Sirikit" dari Asosiasi Batik Sekar Jagad di Yogyakarta yang didedikasikan khusus oleh Presiden Soekarno - yang pada waktu itu meminta seorang pengrajin untuk membuat batik dengan motif khusus - untuk Ratu Sirikit sebagai hadiah. Motif tersebut mengandung pola bunga (sulur-suluran) yang melambangkan kecantikan sang ratu.

Batik dengan motif dan warna khas pedalaman Jawa koleksi Raja Chulalongkorn.

Kegiatan pengunjung selama pameran.

Pengunjung dapat mencoba menggunakan busana adat Jawa.
.
Duta Besar Ahmad Rusdi mengatakan bahwa pameran batik koleksi Raja Chulalongkorn yang diselenggarakan di salah satu obyek wisata penting Thailand ini merupakan hal yang sangat strategis bagi peningkatan pemahaman terhadap seni dan budaya Indonesia serta promosi pariwisata kepada masyarakat Thailand dan global, karena Thailand merupakan negara dengan kunjungan wisatawan tertinggi di ASEAN.

Hubungan baik antara Kerajaan Thailand dan Republik Indonesia yang sudah terbina dengan hangat, bahkan sejak negara Indonesia belum berwujud, hendaknya dapat terus terjaga. Kesamaan akar dan corak kebudayaan hendaknya dapat menjadi tali pemersatu eratnya hubungan dua negara, bukan digunakan sebagai alat perpecahan atas nama saling klaim produk kebudayaan. Batik Indonesia, yang sejak Oktober 2009 ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia, sudah selayaknya tetap terus dan harus selalu dijaga kelestariannya, dibalik rasa bangga akan warisan leluhur tersebut.

.
* * *


  • A Treasure of Rama V: The Batik Collected in Java by King Chulalongkorn goes on Public View for the Frist Time
    https://www.pressreader.com/thailand/the-nation/20181103/281526522060854
  • Cantiknya Batik Abad ke-19 Koleksi Raja Chulalongkorn di Museum Thailand
    https://www.kemlu.go.id/id/berita/berita-perwakilan/Pages/307-Potong-Kain-Batik-Koleksi-Raja-Chulalongkorn-Dipamerkan-selama-2,5-Tahun-di-Musium-Tekstil-Queen-Sirikit-Bangkok.aspx
  • Introduction To The Batik Collection Of King Chulalongkorn
    http://www.qsmtthailand.org/research/introduction-to-the-batik-collection-of-king-chulalongkorn/




Raja Chulalongkorn, Raja Rama V, King Chulalongkorn, King Rama V, Hubungan Indonesia-Thailand, Hubungan Diplomatik Indonesia-Thailand, Koleksi Batik Raja Chulalongkorn, Batik Indonesia, Batik Jawa, Batik Keraton, Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran, Puro Pakualaman, Sunan Pakubuwono X, Sultan Hamengkubuwono VII

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko