Langsung ke konten utama

Biografi Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1925-2004)


Sri Susuhunan Pakubuwana XII
Sinuhun Hamardika
 .
Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwana XII (Ejaan Jawa: Pakubuwono XII) adalah raja dan penguasa Kasunanan Surakarta ke 11 (sejak Pakubuwana II) dan juga pernah menyandang jabatan singkat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Surakarta (1945-1946).

Nama aslinya adalah BRM. Surya Guritna, putra Sunan Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri GKR. Pakubuwana pada hari Selasa Legi tanggal 14 April 1925, atau dalam penanggalan Jawa pada tanggal 21 Pasa tahun Dal 1855.
.
BRM. Surya Guritna
 .
Surya Guritna adalah anak ke 11 dari 12 putra-putri yang terlahir dari tiga istri yang dinikahi ayahandanya, Pakubuwana XI. Ia mempunyai kakak kandung seibu, yaitu BRAj. Koes Sapariyam, yang bernama sepuh GKR. Sekar Kedaton. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945.

Raja Jawa yang semasa kecil oleh teman-temannya sering dipanggil dengan nama Bobby Guritna dan pernah berdinas di TNI Angkatan Darat itu, semula beristrikan enam orang, yang semuanya berstatus garwa ampil atau selir. Keenam selir itu adalah KRAy. Rogasmara, KRAy. Pradapaningrum, KRAy. Mandayaningrum, KRAy. Kusumaningrum, KRAy. Retnadiningrum, dan KRAy. Pujaningrum. Ia dikaruniai putra-putri sebanyak 37 orang.

Foto sekitar tahun 1947
Surya Guritna di masa kecilnya pernah bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) Pasar Legi, Surakarta. Di sekolah yang sama ini pula beberapa pamannya, putra Pakubuwana X yang sebaya dengannya menempuh pendidikan. Surya Guritna termasuk murid yang mudah bergaul dan hubungannya dengan teman-teman berlangsung akrab, bahkan ketika di sekolah pun ia bergaul tanpa memandang status sosial yang disandangnya. Waktu kecil ia gemar mempelajari tarian dan yang paling digemari adalah Tari Handogo dan Tari Garuda. Ia juga gemar mengaji pada Bapak Prodjowijoto dan Bapak Tjondrowijoto dari Mambaul Ulum. Kegemarannya yang lain adalah duduk di lapangan dan konsentrasi merentangkan tali busur membidikkan anak panah, olah raga panahan. Mulai tahun 1938 Surya Guritna terpaksa berhenti sekolah agak lama, sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya yang memperoleh mandat mewakili kakeknya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda saat itu untuk menghadiri undangan perayaan peringatan 40 tahun kenaikan tahta Ratu Wilhelmina. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Hogere Burger School (HBS) Bandung bersama beberapa pamannya. Baru dua setengah tahun ia belajar, pecah perang Asia Timur Raya, dan waktu itu bala tentara Jepang menang melawan sekutu dan Indonesia pun jatuh ke tangan Jepang.

Pakubuwana XI memintanya pulang dari Bandung ke Surakarta. Ia pun menurut, tak mau membantah perintah dari ayahandanya tersebut. Menurut kisah, suatu malam, seusai mendalami pengetahuan hukum dari Wiranegara, Surya Guritna mendadak dipanggil menghadap ke kamar peraduan ayahandanya di Bangsal Sasana Hadi yang terletak bersebelahan dengan bilik tidurnya. Dalam keadaan sakit, Pakubuwana XI berujar ''Bersiaplah, keraton kini sedang menuju kegelapan.'' Kemudian, ia harus menerima kenyataan menyedihkan lantaran pada Sabtu, 1 Juni 1945, ayahandanya, Pakubuwana XI, wafat.

Pakubuwana XI bersama permaisuri
Berdasarkan tradisi maka KGPH. Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan tahta. Namun peluang itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah mendahului wafat pada tahun 1910 sehingga tidak berkesempatan diangkat sebagai permaisuri tatkala suaminya mewarisi tahta kerajaan. Maka terbukalah peluang untuk Surya Guritna bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda. Teka-teki itu kian terkuak waktu jenazah Pakubuwana XI dimakamkan di Astana Imogiri, Surya Guritna tidak terlihat hadir di pemakaman. Terlepas setuju atau tidak, keluarga Keraton Kasunanan harus mulai bisa menerima pertanda itu, sebab berdasarkan kepercayaan adat keraton, bakal raja dipantangkan datang ke kuburan. Namun versi lain menyebutkan, pengangkatan Surya Guritna itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Meski raja baru telah disepakati, namun bukan berarti seluruh persoalan terselesaikan. Rencana penobatan Surya Guritna itu sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Jepang menyatakan tidak berani menjamin keselamatan calon raja.
 .
Pakubuwana XII akhirnya naik tahta menggantikan ayahandanya pada Kamis Kliwon, 12 Juli 1945 atau 2 Ruwah Tahun Ehe 1876 pada usia 20 tahun dengan gelar penuh Sahandhap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng kaping XII.
 .
Sebagai raja mudadi alam republik
Pakubuwana XII, boleh jadi merupakan raja yang berbeda dari raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebelumnya. Bukan karena cara bersikap, yang kemudian menyebabkan perbedaan itu muncul, melainkan pada apa yang akan dialami selanjutnya. 

Dan semua perbedaan itu pun berawal ketika dia naik tahta pada 12 Juli 1945. Dalam hitungan bulan, kekuasaannya sebagai seorang raja tak lagi seperti raja sebelumnya setelah Republik Indonesia (NKRI) memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, Pakubuwana XII disebut pula sebagai Sinuhun Hamardika yang artinya raja di zaman kemerdekaan. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia seringkali didampingi ibunya, GKR. Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng.

Pada tanggal 19 Agustus 1945 ia menerima surat pengakuan berupa Piagam Kalenggahan Ingkang Jumeneng Kepala Daerah Istimewa Surakarta dari pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani Presiden Soekarno. 

Selama revolusi fisik Pakubuwana XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari Proklamator, Presiden Republik Indonesia Soekarno. Kedudukannya itu menjadikan ia sering diajak mendampingi Presiden Soekarno meninjau ke beberapa medan pertempuran terutama saat Agresi Belanda II.

Dalam rangka mendukung perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan tersebut, Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana IX, banyak berperan dalam membantu memasok logistik maupun menyumbang berbagai perlengkapan lain, seperti mobil, persenjataan serta dana. Paling banyak disumbangkan saat itu mobil-mobil Susuhunan, kemudian juga gedung-gedung aset keraton yang kemudian dijadikan kantor pemerintah. Pakubuwana XII sendiri menyerahkan harta pribadinya sejumlah beberapa keping emas untuk disumbangkan kepada negara.

Pakubuwana XII menjamu Presiden Soekarno
di Sasana Handrawina Keraton Surakarta
 .
Atas perannya tersebut, Pakubuwana XII memperoleh Bintang Gerilya dan piagam sekaligus medali penghargaan dari Dewan Harian Angkatan 1945 pada 28 Oktober 1995 di Keraton Surakarta. Pada tanggal 1 September, Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang isinya:

- Sri Susuhunan Pakubuwana XII beserta seluruh kerabat keraton berdiri di belakang Pemerintah RI (mendukung Pemerintah RI). 
- Daerah Surakarta juga merupakan bagian dari wilayah RI. 
- Hubungan Daerah Istimewa Surakarta dengan Pemerintah Pusat RI tidak melalui daerah tetapi bersifat langsung.

Majalah Life yang memberitakan tentang
dukungan Pakubuwana XII
dan Hamengkubuwana IX
terhadap Soekarno
Tanggal 12-13 Oktober 1945, Pakubuwana XII sendiri bahkan ikut serta menyerbu markas Kenpetai di Kemlayan. Ia juga berkenan ikut melakukan penyerbuan ke markas Kenpetai di Timuran dengan beberapa anggota KNI dan berhasil dengan selamat. Dari kerabat keraton ada yang gugur bernama Arifin. Ia oleh Pakubuwana XII mendapat anugerah Tanda Labuh Labet berwujud Medali Sri Kabadya Tingkat III. Jenazahnya dinaikkan Kereta Layon Kagungandalem dengan ditarik empat ekor kuda serta diiringi beberapa bregada prajurit keraton. Sewaktu melakukan penyerbuan ke markas Kido Butai di daerah Mangkubumen, Pakubuwana XII juga menyempatkan berangkat bersama anggota KNI dan berhasil kembali dengan selamat. 

Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Namun, Maklumat 1 September yang dikeluarkan oleh Pakubuwana XII justru dijawab oleh teror atas nama “Gerakan Anti-Swapraja” yang dipelopori kaum kiri. Mulanya pepatih dalem, KRMH. Sasradiningrat raib diculik gerombolan bersenjata. Berikutnya, giliran KRMT. Yudanagara, pengganti Sasradiningrat, lenyap pada 15 Maret 1946. Setelah itu, sembilan petinggi keraton lainnya pun dihabisi, disusul lepasnya kabupaten-kabupaten di Daerah Istimewa Surakarta akibat adanya ancaman dari pihak komunis. Puncaknya adalah meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso di daerah Srambatan, Surakarta.
.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang letaknya berdekatan dengan Yogyakarta menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi bahkan dengan berani menyekap Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Pada tanggal 23 Mei 1946 diadakan pertemuan antara Pemerintah RI yang diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, Amir Syarifudin, dan Sudarsono dengan Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta yang diwakili oleh Pakubuwana XII, Mangkunegara VIII, KRMTH. Wuryaningrat, dan KRMTH. Partahandaya, bertempat di Javanche Bank Surakarta (sekarang Bank Indonesia Surakarta). Hasilnya, kesepakatan bahwa karena situasi semakin kacau dan dikhawatirkan akan menjalar ke segala penjuru, untuk sementara pemerintahan di pegang secara sentral.

Foto tahun 1945
 .
Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jenderal Sudirman. Bahkan, Jenderal Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Puncaknya, Presiden Soekarno terpaksa mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD, pada 15 Juli 1946. Isinya, Kasunanan dan Mangkunegaran sementara menjadi bagian dari Keresidenan Surakarta demi kondusifitas keamanan.
 .
Sebenarnya Pakubuwana XII sudah berusaha untuk mengembalikan status Daerah Istimewa Surakarta. Pada 15 januari 1952 Pakubuwana XII pernah memberi penjelasan tentang Wilayah Swapraja Surakarta secara panjang lebar pada Dewan Menteri di Jakarta, dalam kesempatan ini ia menjelaskan bahwa Pemerintah Swapraja tidak mampu mengatasi gejolak dan rongrongan yang disertai ancaman bersenjata, sementara Pemerintah Swapraja sendiri tidak mempunyai alat kekuasaan. Namun usaha itu tersendat-sendat karena tak kunjung menemui titik temu. Pada tahun 1954, akhirnya Pakubuwana XII sendiri memutuskan untuk meninggalkan keraton guna menempuh pendidikan di Jakarta. Ia menunjuk pamannya, KGPH. Kusumayuda, sebagai wakil sementara di keraton.
 .
Ketika upacara Tingalan Jumenengan
Pada tahun 1956, Pakubuwana XII kembali ke keraton dan memegang tampuk kekuasaan dengan dibantu oleh Badan Penasihat Keraton Surakarta.

Pada tanggal 31 Januari 1985, Pakubuwana XII medapat musibah. Di malam Jumat Wage Keraton Surakarta terbakar jam 21.00 WIB, tepatnya bangunan Sasana Parasdya, Sasana Sewaka, Sasana Handrawina, Dalem Ageng Prabasuyasa, Dayinta, dan Paningrat. Seluruh bangunan yang merupakan bagian inti istana termasuk segala isi dan perabotannya tersebut musnah dilalap api. Akhirnya, pada tanggal 5 Febuari ia melapor kepada Presiden Soeharto atas musibah yang melanda istananya tersebut. Presiden pun menindaklanjuti dengan membentuk Panitia 13 guna mengemban tugas untuk melaksanakan rehabilitasi keraton. Keraton berhasil pulih setelah mendapat dana 4 milyar rupiah dari pemerintah pusat, dan kembali diresmikan pada tahun 1987.
 .
Bersama tokoh nasional
Meskipun pernah gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh Tanah Jawa. Pakubuwana XII dikenal sebagai raja yang luwes dan mudah bergaul, serta ramah pada siapa saja dan tak memandang status sosial mereka. Sehari-hari, ia sering tinggal di kamar khusus yang disiapkan pihak Hotel Sahid Surakarta. Termasuk menemui tamu-tamunya, ia sering mengajak mereka untuk bertemu di hotel, bukan di keraton. Ia beralasan jika mengadakan pertemuan di keraton mereka akan canggung, karena terbelenggu oleh aturan-aturan ketat istana. Ia juga ramah dengan kawula muda, dan paham tentang situasi dan kondisi permasalahan kawula muda zaman sekarang. Orang-orang begitu mudah menemuinya, membuat Pakubuwana XII benar-benar seperti masyarakat biasa kebanyakan, padahal jika ia sudah duduk di singgasana keraton, para abdi dalem bahkan terpekur tunduk hormat tak berani menatap wajahnya.
 .
Memberikan pin kehormatan
Demikianlah perjalanan waktu yang dilalui Surya Guritna kemudian menunjukkan betapa dia adalah raja yang tak lagi memiliki otoritas kekuasaan seperti ayah, kakek, dan juga para leluhurnya. Prediksi tentang kari sak megaring payung (artinya tinggal selebar payung yang mekar; maksudnya tentang ramalan setelah 200 tahun Kasunanan Surakarta didirikan kekuasaan raja akan hapus, hanya berkuasa atas istana dan keluarganya saja) itu sepertinya memang benar-benar menjadi kenyataan.

Perjuangan Pakubuwana XII memperoleh kembali “hak monarkinya”, penguasaan tanah, misalnya, selalu mentok. Eksistensinya cuma ditopang oleh Keputusan Presiden Tahun 1988, yang menyatakan Keraton Surakarta dijadikan sumber kebudayaan nasional yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Pemerintah juga menetapkan batas tanah keraton dari Gladag sampai Gading (utara-selatan), termasuk bangunan dan alun-alun serta Masjid Agung. Luasnya hanya sekitar 1.800 hektare, tak sampai seperseribu dari tanah kekuasaan Kasunanan Surakarta 200 tahun lalu. Hal itu juga membuktikan pesan dari ayahnya, Pakubuwana XI, yang disampaikan kepadanya di suatu malam sebelum dia naik tahta, tentang bagaimana dirinya harus bersiap untuk menghadapi keraton yang sedang menuju kegelapan. Walaupun saat itu, seperti yang disebutkan dalam buku berjudul Raja di Alam Republik, karena usianya yang saat itu baru 20 tahun, dia masih belum bisa nggagapi apa maksud dari pesan ayahandanya tersebut. Namun waktulah yang kemudian memberikan jawaban kepadanya.
 .
Sebagai Sayyidin
Panatagama
Tentang hal tersebut dia pernah mengatakan, dirinya memang harus siap menghadapi perubahan zaman. Bahkan dia legawa, setelah kemerdekaan diproklamasikan, kapasitasnya sebagai seorang raja sebenarnya tak berbeda jauh dari rakyat kebanyakan. Sebagai raja dengan semua yang serba terbatas, bahkan harus menghidupi sanak-keluarganya yang begitu banyak. Honor abdi seadanya. Belum lagi ongkos untuk perhelatan upacara adat, misalnya suran (1 Sura), sekaten (Maulud Nabi Muhammad SAW), grebeg besar (dzulhijah), malem selikuran (ramadhan), jamasan pusaka, sungkeman, hingga jumenengan.
 .
Pakubuwana XII, memang terkesan bisa menerima kondisi yang harus dialaminya. Hingga dari rasa narima-nya itulah yang kemudian mengantarkan Pakubuwana XII menjadi raja yang merasakan berbagai zaman. Ketika otoritas kekuasaannya berkurang, di sisi lain ia malah menjadi raja yang pernah merasakan berbagai zaman. Mulai dari zaman revolusi, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga zaman reformasi. Ia pun kemudian mendapatkan berbagai pengalaman.
 .
Pakubuwana XII wafat
Pada pertengahan tahun 2004, Sinuhun, panggilan akrab Pakubuwana XII, mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di ruang gawat darurat di Rumah Sakit Panti Kosala Dr. Oen Surakarta, sejak hari Senin tanggal 7 Juni 2004. Sejumlah tenaga medis dari Jakarta termasuk dari Rumah Sakit Pusat Pertamina sebelumnya didatangkan untuk ikut menangani sakit yang diderita Sinuhun. Akhirnya pada hari Jumat tanggal 11 Juni 2004 pukul 08.10 WIB, Pakubuwana XII dinyatakan wafat.
 .
Dua jam setelah itu, jenazah Pakubuwana XII tiba di Keraton Surakarta dan langsung disemayamkan di Masjid Pujasana di kompleks keraton. Masyarakat merasa kehilangan salah satu tokoh nasional yang cukup disegani itu. Berbagai elemen masyarakat hadir memberikan ucapan belasungkawa, mulai dari pejabat daerah hingga pusat. Setelah dua malam di sana, persemayaman jenazah dipindahkan dari Masjid Pujasana menuju ke Sasana Parasdya.
 .
Pelepasan jenazah secara adat
Tiga hari setelah Pakubuwana XII wafat, tepatnya pada hari Senin Pahing tanggal 14 Juni 2004, jenazahnya dimakamkan di Astana Imogiri, Bantul. Pelepasan jenazah menggunakan dua tradisi, yakni militer dan adat Jawa. Dalam tradisi adat, dilakukan pula upacara brobosan sebanyak tiga kali yang dilakukan oleh seluruh putra-putri, menantu, maupun cucu Pakubuwana XII. Selaku putera tertua, KGPH. Hangabehi berada pada urutan paling depan. Sebelumnya, disampaikan riwayat hidup Pakubuwana XII oleh salah satu putranya, Kol. (Inf.) KGPH. Tedjowulan. Sementara upacara militer dipimpin oleh Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro, Mayjend. TNI Sunarso. Hal ini mengingat semasa hidupnya Pakubuwana XII pernah berdinas aktif di TNI AD dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal (tituler) serta sederet tanda penghargaan militer.

Pemakaman secara militer di Astana Imogiri
Jenazah dilepas oleh Pengageng Kasentanan, KGPH. Hadiprabawa dan selanjutnya dibawa ke Pendapa Magangan dengan iringan gending penghormatan monggang yang ditabuh di Bangsal Pradangga. Di depan Pendapa Magangan telah siap kereta jenazah peninggalan Pakubuwana X yang telah diperbaiki ulang. Kereta jenazah yang penuh dengan hiasan bunga warna putih itu ditarik delapan ekor kuda dengan kusir Mas Lurah Ratadiwirya dan KRMTH. Wreksadipura, karib dekat sekaligus abdi dalem kesayangan Pakubuwana XII. Pakubuwana XII selama hidupnya tidak pernah mengangkat permaisuri dan putra mahkota. Setelah wafatnya, sempat terjadi ketidaksepahaman di antara putra-putrinya mengenai siapa yang berhak menjadi penerus tahtanya. Konsensus keluarga menyatakan bahwa putra tertua KGPH. Hangabehi, sebagai Pakubuwana XIII, berdasarkan titah Pakubuwana XII di Tawangmangu mengenai paugeran yang harus dijalankan anak-anaknya, yaitu mengangkat raja pengganti berdasarkan naluri leluhur (putra laki-laki tertua).

Penghargaan militer:
  • Pangkat Letnan Jenderal Tituler pada 1 November 1945
  • Satyalencana Perang Kemerdekaan I pada 17 Agustustus 1958
  • Satyalencana Perang Kemerdekaan II pada 17 Agustustus 1958
  • Penghargaan atas Darma Bakti Pembinaan Angkatan Perang RI yang dikeluarkan Presiden RI Soekarno pada 5 Oktober 1958
  • Tanda Jasa Pahlawan dalam perjuangan gerilya membela kemerdekaan yang dikeluarkan Presiden RI Soekarno pada 10 November 1958
  • Mendapat Kartu Tanda Veteran Perjuangan RI pada 8 Juni 1968
  • SK No. 70/SKEP/IX/1995 tentang pemberian Penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 pada 26 September 1995

Galeri

Keenam istri Pakubuwana XII


Pakubuwana XII saat membuka kirab Tingalan Jumenengan


Pakubuwana XII bersama Mangkunegara IX saat upacara 1 Sura


Pakubuwana XII bersama beberapa putra-putri
dalam upacara Tingalan Jumenengan


Dari Berbagai Sumber:

joglosemar.co
suaramerdeka.com
nostalgia.tabloidnova.com
tokohindonesia.com
solografi.com
karatonsurakarta.com

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d