Langsung ke konten utama

Perbedaan Wayang Orang Gaya Surakarta dan Gaya Yogyakarta


Wayang orang atau yang aslinya dalam dalam Bahasa Jawa disebut wayang wόng adalah salah satu jenis teater tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang yang tumbuh dan berkembang di Jawa. Jenis kesenian ini pada mulanya berkembang terutama di lingkungan keraton dan kalangan para priyayi Jawa. Wayang wόng adalah sebuah pertunjukan seni tari drama dan teater yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai induk ceritanya. Wayang orang yang digolongkan ke dalam bentuk drama seni tari tradisional. Sebutan wayang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bayangan.

Diketahui bahwa wayang orang lahir di Mangkunegaran dan Yogyakarta, sedangkan wayang orang panggung sebagai wayang orang komersil memang diciptakan diluar keraton.

Rustopo didalam bukunya "Menjadi Jawa" yang membahas sejarah  perkembangan wayang orang, menyebutkan bahwa wayang orang di Surakarta ini berasal dari tradisi pertunjukkan seni Pura Mangkunegaran yang pada awalnya dikembangkan oleh Pangeran Adipati  Mangkunegara I (1757-1796). Rustopo mengutip Soedarsono (R.M. Soedarsono, "Wayang Wong Drama Tari  Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta") yang menyebutkan bahwa  Keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran adalah tempat kelahiran wayang  orang ketika kesusasteraan Jawa mengalami masa renaissance  pada abad ke 18-19, yang ditandai dengan penulisan kembali kakawin  (Jawa Kuno) dalam bahasa susastra Jawa Baru. Sesungguhnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad ke 10 hingga ke 15, sendratari wayang orang yang  menceritakan Ramayana dan Mahabarata ini juga sudah dikembangkan.


Wayang orang sebagai salah satu produk seni adiluhung kebudayaan Jawa, memiliki peran penting dalam menjadi suatu “identitas Jawa”. Adanya dua gagrak atau style (gaya) dalam garap seni pertunjukan wayang orang menunjukkan betapa sungguh kaya kebudayaan masyarakat Jawa. Walaupun sejatinya tak dapat dipungkiri, dua gaya yang berbeda tersebut lahir berkat lembar hitam sejarah politik adu domba penjajah pada masa lalu terhadap entitas tunggal Kesultanan Mataram. Semua produk budaya Jawa yang awalnya hanya terdapat satu gagrak tunggal yaitu gagrak Mataram, akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu gagrak Surakarta dan gagrak Yogyakarta. Masing-masing gaya memiliki sejarah, cerita perkembangan, dan dinamikanya sendiri, berawal dari balik tembok istana hingga tersebar grup wayang orang di beberapa kota di Indonesia.

Nilai luhur dalam seni olah tari dalam wayang orang dapat diambil dari falsafah joged Mataram, yaitu suatu ilmu seni pertunjukan yang mencakup aspek teknis dan juga aspek kebatinan [sawiji (kosentrasi total), grȇgȇd (dinamika atau semangat), sȇngguh (percaya diri), serta ora mingkuh (pantang mundur)]. Ilmu seni pertunjukan tersebut konon diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I dari Kesultanan Yogyakarta. Para guru tari gaya Yogyakarta tidak dapat menunjukan dokumen atau sumber tentang ilmu seni pertunjukan tersebut. Mereka mengenal dan memahami dari ketekunan menafsirkan dan menghayati petunjuk lisan yang disampaikan guru mereka. Beberapa alasan dikemukakan oleh guru tari gaya Yogyakrta tentang perihal ilmu seni pertunjukan tersebut tidak dituliskan, sebab ilmu tersebut adalah titah (sabda) Sultan ketika mengajarkan joged Mataram. GBPH. Suryobrongto mengemukakan salah satu sumber yang menunjukan bahwa filsafat joged Mataram itu merupakan sabda Sultan Hamengkubuwono I didapatkan pada Babad Giyanti dalam salah satu bentuk tembang sekar sinom, terjemahan bebasnnya sebagai berikut :

Sultan bersabda lagi
“Ananda Tirtakusuma, Tarian Maduramu itu,
agak kurang galak sedikit.
Tarian Matarammu, apakah sudah kau kuasai ?”
Tirtakusuma menyembah
“Demikianlah halnya, putranda baginda
tak tahulah, memangnya betul atau salah,”
Sultan segera berjalan,
“Ikutilah aku ananda, ikutilah masuk Prabayaksa,
ke utara sampai ke pemandian,
ayolah cepat sedikit,”
Nembang (menyanyi), ia segera menari,
Baru berjalan tiga gongan,
“Yah seperti itulah ananda,
Masih sempurna Tari Matarammu”
“Janganlah kamu ajarkan Tari Mataram ini”
Sembah Tirtakusuma,
“Putranda Sri Bupati
menjunjung titah paduka
memang pelik Tari Mataram”
Sultan tersenyum berkata,
“Yah demikianlah pula pendapat saya,”
Keluarlah Sultan dan Tirtakusuma bersama-sama.

(Wibowo,1981:900)

1.    Sejarah Perkembangan Wayang Orang

Sudah hal umum, masyarakat Jawa mengetahui adanya persaingan kultural dalam dua gagrak utama dalam kebudayaan Jawa. Kondisi itut tak lepas dari aspek historis kehadiran dua gagrak tersebut. Dulu hanya dikenal satu gagrak di kawasan geografis Kesultanan Mataram.

Namun setelah adanya aksi politis pemerintah Hindia Belanda untuk memecah-belah Mataram menjadi dua menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka sejak itulah semua aspek “kehidupan”, termasuk kesenian, ikut terpengaruh. Lewat Perjanjian Giyanti (palihan negari) tahun 1755, Mataram terbelah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam bidang kebudayaan atau kesenian, hal politis itu pun berimbas.

Termasuk dalam seni wayang orang. Wayang orang merupakan seni tradisi yang memadukan seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa. Cerita wayang orang bersumber pada lakon Mahabarata dan Ramayana. Wayang orang merupakan suatu produk kebudayaan yang syarat dengan filsafat dan pendidikan yang mengajarkan kita memahami falsafah hidup, etika, dan tuntutan budi pekerti dalam kehidupan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Konon, Pertunjukan wayang orang pertama kali digelar pada kurun waktu yang hampir bersamaan di Kesultanan Yogyakarta dibawah penguasaan Sultan Hamengkubuwono I dan di Praja Mangkunegaran Surakarta pada masa Adipati Mangkunegara I. Berdasarkan penelitian Leyveld (1931), lakon pertama yang diciptakan Hamengkubuwono I adalah Gandawerdaya, sedangkan Mangkunegara I mengambil lakon Wijanarka. Awal dari wayang orang ini diperkirakan muncul pada abad ke 18.

A.      Wayang Orang Gaya Yogyakarta

Wayang orang gaya Yogyakarta

Pada awal pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, kesenian yang mendapat perhatian besar adalah seni karawitan dan seni tari, tetapi aspek pertahanan dan keamanan juga mendapat perhatian yang besar. Mengingat waktu itu Sultan juga menghadapi kekuatan Belanda.

Oleh sebab itu teknik-teknik menari tidak jauh berbeda dengan latihan militer, ketegasan, ketagapan tubuh, kesungguhan, dan semangat menjadi sangat utama. Bentuk dramatari yang pertama diciptakan Sultan Hamengkubuwono I adalah seni wayang orang dengan lakon Gandawerdaya. Lakon ini mengandung spirit patriotisme yang digali dari epos Mahabarata, khususnya mengemukakan patriotisme dari para kesatria Pandawa yang gagah berani membela kebenaran atas kelicikan para Kurawa (Wibowo,1981: 33).

Wayang orang di Kesultanan Yogyakarta merupakan tari kelompok yang sangat sederhana, karena tidak memusatkan pada gemerlapan kostum dan piranti lainnya, tetapi lebih mencitrakan semangat dan penghayatan yang kuat terhadap karakter tokoh. Sehingga tari klasik gaya Yogyakarta menampakan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada tari gaya Surakarta yang berkesan romantik.

Perbedaan tersebut membuat tari klasik gaya Yogyakarta, termasuk wayang orang, mendapat sebutan yang ekslusif yaitu joged Mataram. Penari-penari wayang orang yang memegang peranan penting harus memiliki bekal falsafah dalam joged Mataram ini secara baik. Sebab apabila tidak, akan sukar menyalurkan “dinamika dalam” dari karakter yang dibawakannya. Seorang yang memiliki grȇgȇd, pada waktu memerankan seorang tokoh wayang akan kelihatan ekspresi dari “gerak dalam” jiwanya, biarpun ia dalam keadaan tidak sedang menari.

Perkembangan tari gaya Yogyakarta sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I hinga sekarang tetap mendapat perhatian, dan selalu terjadi peningkatan-peningkatan pada setiap generasi ataussetiap sultan yang memerintah. Oleh sebab itu dapat dikelompokkan menjadi 3 periode, yaitu :
 
1.    Periode Pertumbuhan

Perkembanan seni pertunjukan Yogyakarta diawali sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I yang memerintah antara tahun 1755 – 1792 hingga masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah antara tahun 1921 – 1939. Pada masa itu perkembangan seni pertunjukan. Khususnya wayang orang mendapat perhatian yang cukup besar dari Sultan Hamengkubuwono I. Fungsi sosial dari wayang orang adalah untuk menumbuhkan semangat patriotis dari rakyat Kesultanan Yogyakarta menghadapi penjajah Belanda.

Data tentang pementasan wayang orang pada masa awal tercatata sebagai berikut :

1) Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792); lakon yang dipentaskan Gandawerdaya dan Jayasemedi.
2) Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II (1792-1812) lakon yang dipentaskan Jayapustaka, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814) tidak ditemukan data pementasan, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV (1814-1823) tidak ditemukan data pementasan.

2.  Periode Pembakuan

Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939). Pada masa itu, banyak usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan, khsusunya mulai dari penyempurnaan gerak tari, tata busana, dan model Pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah sekolah pedalangan yang disebut Habiranda yang digukung oleh Java Institut.

Tahun 1960, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, mulai dilakukan pembakuan-pembakuan, baik aspek teknis maupun aspek pemikiran yang bersifat filosofis. Pada priode pembakuan wayang orang gaya Yogyakarta dapat disimak dapat disimak kronologisnya :
..
1) Sultan Hamengkubuwono V (1823-1855) lakon yang diproduksi antara lain Pragolog Pati, Petruk Dados Ratu, Rabinipun Angkawijaya angsal Dewi Utari, Jayasemedi, dan Pergiwa-Pergiwati.
2) Semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) tidak ada data pementasan, sementara pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) terdapat dua pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pergiwa-Pergiwati. Pada tahun 1899, J. Groneman mencatatat dalam bukunya yang berjudul “De Wayang Orang Pregiwain den Keraton te Yogyakarta”, digambarkan bahwa wayang orang dipertunjukan selama tiga hari yang dihadiri tidak kurang dari 35.000 penonton (Rusliana, 2001;13).
3) Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939) merupakan masa keemasan wayang wong gaya Yogyakarta dengan mementasan yang cukup banyak dan besar-besaran yaitu pementasan memakan waktu lebih dari 3 hari dengan mengembangkan lebih dari 20 lakon.

Rama dan Sinta

3.  Periode Pembaharuan dan Pengembangan

Pembaharuan tari gaya Yogyakarta memang tidak terjadi di dalam keraton, tetapi dengan materi tari gaya Yogyakarta yang telah diizinkan oleh pihak keraton untuk disebarluaskan pada masyarakat. Masa ini dimulai dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Sultan Hamengkubuwono IX (Wibowo, 1981: 45-47).

Masa pengembangan dan pembaharuan ini ditandai dengan berdirinya pusat-pusat latihan tari gaya Yogyakarta yang dikelola oleh masyarakat seperti Krida Beksa Wirama yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Semenjak saat itu seni tari mendapat perhatian yang cukup, besar, terutama pada teknik pengajar. Sebab metode pengajaran yang dipakai dui dalam keraton (metode tradisional) dianggap tidak relevan lagi. Apalagi untuk mempelajari tari dalam waktu yang singkat. Selain itu tujuan pendidikan tari dalam taraf penyebarluasan, sifatnya masih apresiatif. Ini berkaitan dengan masih langkanya orang mempelajari tari, waktu itu. Terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Tidak mengherankan perkembangan seni tari di zaman sebelum kemerdekaan RI (17 Agustus 45) jarang ada tari-tarian yang beraneka ragam garapannya.

Dan tari yang dipelajari masih memanfaatkan hasil produksi Istana (Keraton Jawa) (Sedyawati 1981:8), yang lazim disebut tari klasik, seperti bȇdaya, lawung, srimpi, wireng, pȇtikan, wayang wόng, dan sebagainya.

Selama perkembangan tersebut, terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan seniman, pakar tari keraton antara lain sȇmbahan, sabȇtan, lumaksana, ngombak banyu, serta srisig.

Wayang orang mungkin memang kurang populer dibandingkan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang orang tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang orang terasa istimewa karena kita bisa menikmati cerita sembali melihat keindahan gerakan para penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang orang sudah bisa disaksikan di luar keraton.
 
B.       Wayang Orang Gaya Surakarta

Wayang orang gaya Surakarta

Diketahui bahwa wayang orang gaya Surakarta lahir di Pura Mangkunegaran, sedangkan wayang orang panggung sebagai wayang orang komersil memang diciptakan di luar keraton.

Adalah Pangeran Adipati Mangkunegara I, yang pada sekitar tahun 1757 menciptakan sebuah bentuk sendratari wayang orang, yang berfungsi sebagai sajian ritual Pura Mangkunegaran dan untuk “konsumsi dalam” para bangsawan saat itu.

Penyebab pergeseran kedudukan seni wayang wong dari pertunjukan kaum elite menjadi pertunjukan bagi semua kalangan adalah keadaan keuangan Mangkunegaran yang mengalami kemerosotan dan kebijakan Mangkunegara VI dalam upaya mengembalikan perekonomian Mangkunegaran.

Diawalai pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, Mangkunegaran mengalami masa kejayaan. Banyak didirikan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di wilayah Mangkunegaran serta pembangunan
pabrik gula di Tasikmadu dan Colomadu. Keberhasilan bidang ekonomi ini membawa Mangkunegara IV dalam mengembangkan bidang kesenian. Terbukti dengan hasil seni sastranya yang terkenal yaitu Serat Wedhatama. Dalam seni tari Mangkunegara IV menciptakan opera Langendriyan, fragmen-fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam dunia pewayangan menciptakan Kyai Sebet, yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan pagelaran wayang madya.

Pada masa pemerintahan Mangkunegara V didukung oleh perekonomian yang kuat peninggalan dari Mangkunegara IV, Mangkunegara V bisa lebih fokus dalam mengembangkan dan menyempurnakan kesenian warisan dari Mangkunegara IV terutama kesenian wayang wong. Pada masa inilah kesenian wayang wong mengalami masa kejayaannya. Hal ini terbukti ketika Mangkunegara V mulai membuat standarisasi tata busana wayang wong dengan diilhami tata busana wayang purwa dan gambar Bima pada relief Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar.

Standarisasi busana ditunjukan dalam sebuah manuskrip yang berjudul “Pratelan Busananing Ringgit Tiyang”. Tidak hanya pada standarisasi tata busana, Mangkunegara V juga menciptakan  naskah lakon dan pertunjukannya.

Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi karena serangan hama dan  bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit di Eropa,  akhirnya mengakibatkan kemerosotan kegiatan seni di Pura Mangkunegaran. Selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni wayang orang ini digolongkan sebagai kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi dalem kesenian, termasuk abdi dalem wayang orang diberhentikan dan menganggur.

Merosotnya seni wayang orang di Mangkunegaran sebagai akibat dari  krisis ekonomi di keraton ini menarik minat seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama Gan Kam. Leluhur dan keluarga Gan Kam yang bernenek seorang wanita Jawa diketahui sejak lama mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Pura Mangkunegaran.

Anggota keturunan keluarga Gan yang Muslim, apabila meninggal dunia jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Gan di Desa Pajang pemberian Mangkunegara III sebagaipenghargaan atas jasa leluhur Gan kepada Mangkunegaran ketika terjadi Perang Jawa (1825-1830). Gan Kam berhasil merayu Mangkunegara V untuk memboyong wayang orang Mangkunegara keluar tembok istana untuk dipasarkan atau agar dapat dinikmati oleh orang kebanyakan dan penduduk kota.

Sekiranya Gan Kan tidak melanjutkan seni tradisi wayang orang tersebut diluar keraton, kemungkinan besar warisan seni wayang orang ini akan hilang untuk selamanya. Dan atas peranannya, seni wayang orang dari keraton itu bergeser menjadi bagian seni tradisi pertunjukkan masyarakat yang tidak sakral lagi (desakralisasi) atau menjadi pertunjukkan hiburan yang bersifat komersil dan populis dalam bentuk wayang panggung (komersil).

Pada tahun 1895, Gan Kam yang dikenal sebagai perintis yang mempopulerkan wayang orang Mangkunegaran membentuk rombongan wayang orang komersil pertama yang sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang orang Mangkunegaran yang diberhentikan.

Rama dan Sinta

Ada perbedaan antara wayang orang Mangkunegaran dengan wayang orang panggung. Atas izin Mangkunegara V, Gan Kam mengemas pertunjukkan wayang orang dalam durasi waktu yang agak pendek, lebih mementingkan dialog daripada tarinya, sehingga dapat menghibur penonton. Garapan tari yang terlalu halus, rumit dan lama yang dianggap dapat membosankan penonton dikurangi.

Kalau peranan tokoh wayang orang di Pura Mangkunegaran semuanya dimainkan oleh laki-laki (termasuk tokoh wanitanya), maka pada wayang orang panggung, peranan tokoh laki-laki tertentu (alusan) seperti Arjuna, Abimanyu, Wibisana, dan yang sejenisnya diperankan oleh penari perempuan (dengan alasan-alasan tertentu yang terlalu panjang kalau disebutkan). Diketahui ketika itu bahwa banyak penduduk Tionghoa di sekitar Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan lainnya menjadi penggemar-penggemar wayang orang dan kerawitan Jawa. Tidak jarang bahwa suatu waktu deretan kursi-kursi terdepan di Gedung Wayang Orang Sriwedari seolah-olah menjadi milik nyonya-nyonya Tionghoa, karena sudah dipesan atau diabonemen sebelumnya. Gan Kam, bapak pendiri wayang orang panggung (komersil) itu meninggal dunia pada tahun 1928.

2.    Perbandingan Garap Wayang Orang Gaya Surakarta dan Yogyakarta

Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari :

1).  20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
2).  12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
3).  2 orang sebagai waranggana;
4).  1 orang sebagai dalang.

Dalam pertunjukan wayang orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit. Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.

Pola kostum dan make up wayang orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan wayang orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis. Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang, ataupun yang lain-lain.

Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja. Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari. Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan. Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.

Garap wayang orang memiliki perbedaan dalam masing-masing gaya. Yogyakarta yang masih menjalankan budaya Mataram asli memiliki ciri khas sendiri, begitu pula dengan Mangkunegaran (Surakarta) yang memiliki ciri khas sendiri hasil yasa enggal atau membuat yang baru.

Perbedaan itu salah satunya bisa dilihat pada  tata rias pemain wayang orang. Dalam garapan gaya Surakarta, busana rias pemain tampak sangat gemerlapan serta berkesan romantik. Sementara dalam gaya Yogyakarta, busana pemain menampakkan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada busana gaya Surakarta. Untuk pakaian tokoh kera dalam adegan Ramayana misalnya, riasan wajah pemain kera gaya Surakarta hanya mengandalkan riasan make up wajah (irah-irahan) serta aksesoris berupa taring dan rumbai rambut pasangan. Sementara dalam gaya Yogyakarta, penggambaran citra wajah tokoh kera menggunakan aksesori topeng kayu. Begitu pula dalam tokoh raksaksa, gaya Yogyakarta juga menggunakan akseoris topeng kayu untuk menggambarkan ciri wajah dan perangai raksaksa yang diperankan.

Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum. Dialog dalam wayang orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi. Dalam wayang orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.

Kini, hampir kebanyakan grup wayang orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta. Jika ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkala pada kostum.

Rias Anoman pada garap wayang orang Surakarta
Rias Anoman pada garap wayang orang Yogyakarta

Berhasil tidaknya regenerasi wayang orang tidak dapat dipandang secara sepintas. Kesenian wayang orang yang diturunkan dari masa ke masa tersebut, tidak boleh punah di tangan generasi saat ini.

Perkembangan dua gaya dalam pementasan wayang orang merupakan suatu kekayaan budaya adiluhung yang tak ternilai harganya. Masing-masing gaya memiliki ciri khas tersendiri, yang menjadikan suatu identitas bagi daerah tersebut. Begitu pelik dan rumitnya olah garap sendratari wayang orang baik secara fisik maupun falsafah yang terkandung di dalamnya, menunjukkan bahwa Bangsa Jawa telah mampu menciptakan sebuah karya seni budaya yang sudah sangat maju dan terstruktur rapi, serta begitu halus dan estetis.

Walaupun sempat mengalami pasang surut dalam perkembangannya, sendratari wayang orang masih tetap eksis di tengah modernisasi. Di tengah hingar bingar hiburan modern, wayang orang menjadi salah satu rujukan hiburan dengan sensasi dan suasana yang berbeda, tradisional namun elegan.

Sebagai masyarakat Jawa yang diwarisi berbagai produk budaya yang beraneka ragam tersebut, sudah seharusnya memiliki hak dan juga berkewajiban untuk ikut melestarikan produk-produk budaya itu, termasuk pula di dalamnya wayang orang. Melestarikan seni budaya tidak perlu harus menjadi pelaku aktif dalam bidang seni budaya tersebut, walaupun memang lebih baik jika seperti itu. Semua bisa dimulai dari yang paling mendasar, yaitu merasa memiliki, kemudian bangga, serta menyukai dan mencintai. Sekalipun kita tidak memiliki bakat dan minat menjadi pemain wayang orang, kita masih bisa ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni wayang orang, yaitu dengan bangga akan seni wayang orang dan gemar menyaksikan pergelaran wayang orang. Dengan demikian, suatu produk budaya akan tetap lestari di tengah gempuran arus kemajuan dan modernisasi.


* * *

Komentar

  1. Deskripsi anda tentang Wayang Wong sungguh menarik.
    Salam kenal.

    BalasHapus
  2. Madosi topeng /rias anoman gagrag ngayogjakarta. Pinanggih ing riki. Eman kirang ageng potonipun. Nanging sampun tercerahkan. Matur nuwun.

    BalasHapus
  3. Yen ing Bantul menapa wonten tobong Wayang Wong Mataram? Maturnuwun.

    BalasHapus

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d