Wayang orang
atau yang aslinya dalam dalam Bahasa Jawa disebut wayang wόng adalah
salah satu jenis teater tradisional Jawa yang merupakan gabungan antara seni
drama yang berkembang di Barat dengan pertunjukan wayang yang tumbuh dan
berkembang di Jawa. Jenis kesenian ini pada mulanya berkembang terutama di
lingkungan keraton dan kalangan para priyayi Jawa. Wayang wόng adalah sebuah pertunjukan seni tari drama dan teater yang mengambil
cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai induk ceritanya. Wayang orang yang
digolongkan ke dalam bentuk drama seni tari tradisional. Sebutan wayang berasal
dari bahasa Jawa Kuno yang berarti bayangan.
Diketahui
bahwa wayang orang lahir di Mangkunegaran dan Yogyakarta, sedangkan wayang
orang panggung sebagai wayang orang komersil memang diciptakan diluar keraton.
Rustopo didalam bukunya "Menjadi Jawa" yang membahas sejarah perkembangan wayang orang, menyebutkan bahwa wayang orang di Surakarta ini berasal dari tradisi pertunjukkan seni Pura Mangkunegaran yang pada awalnya dikembangkan oleh Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1796). Rustopo mengutip Soedarsono (R.M. Soedarsono, "Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta") yang menyebutkan bahwa Keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran adalah tempat kelahiran wayang orang ketika kesusasteraan Jawa mengalami masa renaissance pada abad ke 18-19, yang ditandai dengan penulisan kembali kakawin (Jawa Kuno) dalam bahasa susastra Jawa Baru. Sesungguhnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad ke 10 hingga ke 15, sendratari wayang orang yang menceritakan Ramayana dan Mahabarata ini juga sudah dikembangkan.
Rustopo didalam bukunya "Menjadi Jawa" yang membahas sejarah perkembangan wayang orang, menyebutkan bahwa wayang orang di Surakarta ini berasal dari tradisi pertunjukkan seni Pura Mangkunegaran yang pada awalnya dikembangkan oleh Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1796). Rustopo mengutip Soedarsono (R.M. Soedarsono, "Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta") yang menyebutkan bahwa Keraton Yogyakarta dan Pura Mangkunegaran adalah tempat kelahiran wayang orang ketika kesusasteraan Jawa mengalami masa renaissance pada abad ke 18-19, yang ditandai dengan penulisan kembali kakawin (Jawa Kuno) dalam bahasa susastra Jawa Baru. Sesungguhnya kerajaan-kerajaan di Jawa Timur abad ke 10 hingga ke 15, sendratari wayang orang yang menceritakan Ramayana dan Mahabarata ini juga sudah dikembangkan.
Wayang
orang sebagai salah satu produk seni adiluhung kebudayaan Jawa, memiliki
peran penting dalam menjadi suatu “identitas Jawa”. Adanya dua gagrak
atau style (gaya) dalam garap seni pertunjukan wayang orang menunjukkan
betapa sungguh kaya kebudayaan masyarakat Jawa. Walaupun sejatinya tak dapat
dipungkiri, dua gaya yang berbeda tersebut lahir berkat lembar hitam sejarah
politik adu domba penjajah pada masa lalu terhadap entitas tunggal Kesultanan
Mataram. Semua produk budaya Jawa yang awalnya hanya terdapat satu gagrak
tunggal yaitu gagrak Mataram, akhirnya terpecah menjadi dua, yaitu gagrak
Surakarta dan gagrak Yogyakarta. Masing-masing gaya memiliki sejarah,
cerita perkembangan, dan dinamikanya sendiri, berawal dari balik tembok istana
hingga tersebar grup wayang orang di beberapa kota di Indonesia.
Nilai
luhur dalam seni olah tari dalam wayang orang dapat diambil dari falsafah joged
Mataram, yaitu suatu ilmu seni pertunjukan yang mencakup aspek teknis dan
juga aspek kebatinan [sawiji (kosentrasi total), grȇgȇd
(dinamika atau semangat), sȇngguh (percaya diri), serta ora mingkuh
(pantang mundur)]. Ilmu seni
pertunjukan tersebut konon diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono I dari
Kesultanan Yogyakarta. Para guru tari gaya Yogyakarta tidak dapat menunjukan
dokumen atau sumber tentang ilmu seni pertunjukan tersebut. Mereka mengenal dan
memahami dari ketekunan menafsirkan dan menghayati petunjuk lisan yang
disampaikan guru mereka. Beberapa
alasan dikemukakan oleh guru tari gaya Yogyakrta tentang perihal ilmu seni
pertunjukan tersebut tidak dituliskan, sebab ilmu tersebut adalah titah
(sabda) Sultan ketika mengajarkan joged Mataram. GBPH. Suryobrongto
mengemukakan salah satu sumber yang menunjukan bahwa filsafat joged Mataram
itu merupakan sabda Sultan Hamengkubuwono I didapatkan pada Babad Giyanti dalam
salah satu bentuk tembang sekar sinom, terjemahan bebasnnya sebagai berikut :
Sultan bersabda lagi
“Ananda Tirtakusuma, Tarian Maduramu itu,
agak kurang galak sedikit.
Tarian Matarammu, apakah sudah kau kuasai ?”
Tirtakusuma menyembah
“Demikianlah halnya, putranda baginda
tak tahulah, memangnya betul atau salah,”
Sultan segera berjalan,
“Ikutilah aku ananda, ikutilah masuk Prabayaksa,
ke utara sampai ke pemandian,
ayolah cepat sedikit,”
Nembang (menyanyi), ia segera menari,
Baru berjalan tiga gongan,
“Yah seperti itulah ananda,
Masih sempurna Tari Matarammu”
“Janganlah kamu ajarkan Tari Mataram ini”
Sembah Tirtakusuma,
“Putranda Sri Bupati
menjunjung titah paduka
memang pelik Tari Mataram”
Sultan tersenyum berkata,
“Yah demikianlah pula pendapat saya,”
Keluarlah Sultan dan Tirtakusuma bersama-sama.
(Wibowo,1981:900)
1. Sejarah Perkembangan Wayang Orang
Sudah
hal umum, masyarakat Jawa mengetahui adanya persaingan kultural dalam dua gagrak
utama dalam kebudayaan Jawa. Kondisi itut tak lepas dari aspek historis
kehadiran dua gagrak tersebut. Dulu hanya dikenal satu gagrak di
kawasan geografis Kesultanan Mataram.
Namun setelah adanya aksi politis pemerintah Hindia Belanda untuk memecah-belah Mataram menjadi dua menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka sejak itulah semua aspek “kehidupan”, termasuk kesenian, ikut terpengaruh. Lewat Perjanjian Giyanti (palihan negari) tahun 1755, Mataram terbelah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam bidang kebudayaan atau kesenian, hal politis itu pun berimbas.
Namun setelah adanya aksi politis pemerintah Hindia Belanda untuk memecah-belah Mataram menjadi dua menjadi Surakarta dan Yogyakarta, maka sejak itulah semua aspek “kehidupan”, termasuk kesenian, ikut terpengaruh. Lewat Perjanjian Giyanti (palihan negari) tahun 1755, Mataram terbelah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam bidang kebudayaan atau kesenian, hal politis itu pun berimbas.
Termasuk
dalam seni wayang orang. Wayang orang merupakan seni tradisi yang memadukan
seni tari, seni drama, seni musik, dan seni rupa. Cerita wayang orang bersumber
pada lakon Mahabarata dan Ramayana. Wayang orang merupakan suatu produk
kebudayaan yang syarat dengan filsafat dan pendidikan yang mengajarkan kita
memahami falsafah hidup, etika, dan tuntutan budi pekerti dalam kehidupan dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konon,
Pertunjukan wayang orang pertama kali digelar pada kurun waktu yang hampir bersamaan
di Kesultanan Yogyakarta dibawah penguasaan Sultan Hamengkubuwono I dan di Praja
Mangkunegaran Surakarta pada masa Adipati Mangkunegara I. Berdasarkan
penelitian Leyveld (1931), lakon pertama yang diciptakan Hamengkubuwono I
adalah Gandawerdaya, sedangkan Mangkunegara I mengambil lakon Wijanarka. Awal
dari wayang orang ini diperkirakan muncul pada abad ke 18.
A.
Wayang Orang Gaya Yogyakarta
Wayang orang gaya Yogyakarta |
Pada
awal pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, kesenian yang mendapat perhatian
besar adalah seni karawitan dan seni tari, tetapi aspek pertahanan dan keamanan
juga mendapat perhatian yang besar. Mengingat waktu itu Sultan juga menghadapi
kekuatan Belanda.
Oleh
sebab itu teknik-teknik menari tidak jauh berbeda dengan latihan militer,
ketegasan, ketagapan tubuh, kesungguhan, dan semangat menjadi sangat utama.
Bentuk dramatari yang pertama diciptakan Sultan Hamengkubuwono I adalah seni
wayang orang dengan lakon Gandawerdaya. Lakon ini mengandung spirit patriotisme
yang digali dari epos Mahabarata, khususnya mengemukakan patriotisme dari para
kesatria Pandawa yang gagah berani membela kebenaran atas kelicikan para Kurawa
(Wibowo,1981: 33).
Wayang orang di Kesultanan Yogyakarta merupakan tari kelompok yang sangat sederhana, karena tidak memusatkan pada gemerlapan kostum dan piranti lainnya, tetapi lebih mencitrakan semangat dan penghayatan yang kuat terhadap karakter tokoh. Sehingga tari klasik gaya Yogyakarta menampakan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada tari gaya Surakarta yang berkesan romantik.
Perbedaan
tersebut membuat tari klasik gaya Yogyakarta, termasuk wayang orang, mendapat
sebutan yang ekslusif yaitu joged Mataram. Penari-penari wayang orang
yang memegang peranan penting harus memiliki bekal falsafah dalam joged
Mataram ini secara baik. Sebab apabila tidak, akan sukar menyalurkan
“dinamika dalam” dari karakter yang dibawakannya. Seorang yang memiliki grȇgȇd,
pada waktu memerankan seorang tokoh wayang akan kelihatan ekspresi dari “gerak
dalam” jiwanya, biarpun ia dalam keadaan tidak sedang menari.
Perkembangan
tari gaya Yogyakarta sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I hinga sekarang
tetap mendapat perhatian, dan selalu terjadi peningkatan-peningkatan pada
setiap generasi ataussetiap sultan yang memerintah. Oleh sebab itu dapat
dikelompokkan menjadi 3 periode, yaitu :
1.
Periode Pertumbuhan
Perkembanan seni pertunjukan Yogyakarta diawali sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I yang memerintah antara tahun 1755 – 1792 hingga masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII yang memerintah antara tahun 1921 – 1939. Pada masa itu perkembangan seni pertunjukan. Khususnya wayang orang mendapat perhatian yang cukup besar dari Sultan Hamengkubuwono I. Fungsi sosial dari wayang orang adalah untuk menumbuhkan semangat patriotis dari rakyat Kesultanan Yogyakarta menghadapi penjajah Belanda.
Data tentang pementasan wayang orang pada masa awal tercatata sebagai berikut :
1)
Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792); lakon yang dipentaskan Gandawerdaya
dan Jayasemedi.
2)
Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono II (1792-1812) lakon yang dipentaskan Jayapustaka,
masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono III (1812-1814) tidak ditemukan data
pementasan, masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV (1814-1823) tidak
ditemukan data pementasan.
2. Periode Pembakuan
Tari gaya Yogyakarta yang terus tumbuh dan berkembang hingga pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939). Pada masa itu, banyak usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan, khsusunya mulai dari penyempurnaan gerak tari, tata busana, dan model Pedalangan. Terlebih pada masa itu berdiri sebuah sekolah pedalangan yang disebut Habiranda yang digukung oleh Java Institut.
Tahun 1960, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX, mulai dilakukan pembakuan-pembakuan, baik aspek teknis maupun aspek pemikiran yang bersifat filosofis. Pada priode pembakuan wayang orang gaya Yogyakarta dapat disimak dapat disimak kronologisnya :
..
1) Sultan
Hamengkubuwono V (1823-1855) lakon yang diproduksi antara lain Pragolog Pati,
Petruk Dados Ratu, Rabinipun Angkawijaya angsal Dewi Utari, Jayasemedi, dan
Pergiwa-Pergiwati.
2) Semasa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) tidak ada data pementasan,
sementara pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921) terdapat
dua pementasan dengan lakon Sri Suwela dan Pergiwa-Pergiwati. Pada tahun 1899,
J. Groneman mencatatat dalam bukunya yang berjudul “De Wayang Orang
Pregiwain den Keraton te Yogyakarta”, digambarkan bahwa wayang orang
dipertunjukan selama tiga hari yang dihadiri tidak kurang dari 35.000 penonton
(Rusliana, 2001;13).
3) Pada
masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1921-1939) merupakan masa
keemasan wayang wong gaya Yogyakarta dengan mementasan yang cukup banyak dan
besar-besaran yaitu pementasan memakan waktu lebih dari 3 hari dengan
mengembangkan lebih dari 20 lakon.
Rama dan Sinta |
3. Periode Pembaharuan dan Pengembangan
Pembaharuan tari gaya Yogyakarta memang tidak terjadi di dalam keraton, tetapi dengan materi tari gaya Yogyakarta yang telah diizinkan oleh pihak keraton untuk disebarluaskan pada masyarakat. Masa ini dimulai dari masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Sultan Hamengkubuwono IX (Wibowo, 1981: 45-47).
Masa pengembangan dan pembaharuan ini ditandai dengan berdirinya pusat-pusat latihan tari gaya Yogyakarta yang dikelola oleh masyarakat seperti Krida Beksa Wirama yang didirikan pada tahun 1918 di Yogyakarta. Semenjak saat itu seni tari mendapat perhatian yang cukup, besar, terutama pada teknik pengajar. Sebab metode pengajaran yang dipakai dui dalam keraton (metode tradisional) dianggap tidak relevan lagi. Apalagi untuk mempelajari tari dalam waktu yang singkat. Selain itu tujuan pendidikan tari dalam taraf penyebarluasan, sifatnya masih apresiatif. Ini berkaitan dengan masih langkanya orang mempelajari tari, waktu itu. Terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Tidak mengherankan perkembangan seni tari di zaman sebelum kemerdekaan RI (17 Agustus 45) jarang ada tari-tarian yang beraneka ragam garapannya.
Dan
tari yang dipelajari masih memanfaatkan hasil produksi Istana (Keraton Jawa) (Sedyawati
1981:8), yang lazim disebut tari klasik, seperti bȇdaya, lawung,
srimpi, wireng, pȇtikan, wayang wόng, dan
sebagainya.
Selama perkembangan tersebut,
terciptalah gerak-gerak tari baru yang diciptakan seniman, pakar tari keraton
antara lain sȇmbahan, sabȇtan, lumaksana, ngombak banyu,
serta srisig.
Wayang orang mungkin memang
kurang populer dibandingkan wayang kulit. Namun sesungguhnya pertunjukan wayang
orang tidak kalah menarik dengan wayang kulit. Wayang orang terasa istimewa
karena kita bisa menikmati cerita sembali melihat keindahan gerakan para
penari. Sama halnya dengan tari-tari tradisional, saat ini wayang orang sudah
bisa disaksikan di luar keraton.
B.
Wayang Orang Gaya Surakarta
Wayang orang gaya Surakarta |
Diketahui
bahwa wayang orang gaya Surakarta lahir di Pura Mangkunegaran, sedangkan wayang
orang panggung sebagai wayang orang komersil memang diciptakan di luar keraton.
Adalah
Pangeran Adipati Mangkunegara I, yang pada sekitar tahun 1757 menciptakan
sebuah bentuk sendratari wayang orang, yang berfungsi sebagai sajian ritual
Pura Mangkunegaran dan untuk “konsumsi dalam” para bangsawan saat itu.
Penyebab
pergeseran kedudukan seni wayang wong dari pertunjukan kaum elite menjadi
pertunjukan bagi semua kalangan adalah keadaan keuangan Mangkunegaran yang
mengalami kemerosotan dan kebijakan Mangkunegara VI dalam upaya mengembalikan
perekonomian Mangkunegaran.
Diawalai pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, Mangkunegaran mengalami masa kejayaan. Banyak didirikan perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di wilayah Mangkunegaran serta pembangunan pabrik gula di Tasikmadu dan Colomadu. Keberhasilan bidang ekonomi ini membawa Mangkunegara IV dalam mengembangkan bidang kesenian. Terbukti dengan hasil seni sastranya yang terkenal yaitu Serat Wedhatama. Dalam seni tari Mangkunegara IV menciptakan opera Langendriyan, fragmen-fragmen epos Ramayana dan Mahabharata, serta Beksan Wireng. Dalam dunia pewayangan menciptakan Kyai Sebet, yaitu wayang kulit pusaka Mangkunegaran dan pagelaran wayang madya.
Pada masa pemerintahan Mangkunegara V didukung oleh perekonomian yang kuat peninggalan dari Mangkunegara IV, Mangkunegara V bisa lebih fokus dalam mengembangkan dan menyempurnakan kesenian warisan dari Mangkunegara IV terutama kesenian wayang wong. Pada masa inilah kesenian wayang wong mengalami masa kejayaannya. Hal ini terbukti ketika Mangkunegara V mulai membuat standarisasi tata busana wayang wong dengan diilhami tata busana wayang purwa dan gambar Bima pada relief Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar.
Standarisasi busana ditunjukan dalam sebuah manuskrip yang berjudul “Pratelan Busananing Ringgit Tiyang”. Tidak hanya pada standarisasi tata busana, Mangkunegara V juga menciptakan naskah lakon dan pertunjukannya.
Untuk melestarikan seni wayang orang di keraton ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi ketika terjadi krisis ekonomi yang disebabkan oleh gagalnya panen kopi karena serangan hama dan bangkrutnya pabrik gula karena beredar luasnya gula bit di Eropa, akhirnya mengakibatkan kemerosotan kegiatan seni di Pura Mangkunegaran. Selain karena krisis keuangan, juga kegiatan seni wayang orang ini digolongkan sebagai kegiatan yang memboroskan. Akibatnya sebagian besar abdi dalem kesenian, termasuk abdi dalem wayang orang diberhentikan dan menganggur.
Merosotnya
seni wayang orang di Mangkunegaran sebagai akibat dari krisis ekonomi di keraton ini menarik minat
seorang pengusaha batik Tionghoa Surakarta yang bernama Gan Kam. Leluhur dan
keluarga Gan Kam yang bernenek seorang wanita Jawa diketahui sejak lama mempunyai
hubungan dekat dengan keluarga Pura Mangkunegaran.
Anggota keturunan keluarga Gan yang Muslim, apabila meninggal dunia jenazahnya dimakamkan di makam keluarga Gan di Desa Pajang pemberian Mangkunegara III sebagaipenghargaan atas jasa leluhur Gan kepada Mangkunegaran ketika terjadi Perang Jawa (1825-1830). Gan Kam berhasil merayu Mangkunegara V untuk memboyong wayang orang Mangkunegara keluar tembok istana untuk dipasarkan atau agar dapat dinikmati oleh orang kebanyakan dan penduduk kota.
Sekiranya Gan Kan tidak melanjutkan seni tradisi wayang orang tersebut diluar keraton, kemungkinan besar warisan seni wayang orang ini akan hilang untuk selamanya. Dan atas peranannya, seni wayang orang dari keraton itu bergeser menjadi bagian seni tradisi pertunjukkan masyarakat yang tidak sakral lagi (desakralisasi) atau menjadi pertunjukkan hiburan yang bersifat komersil dan populis dalam bentuk wayang panggung (komersil).
Pada tahun 1895, Gan Kam yang dikenal sebagai perintis yang mempopulerkan wayang orang Mangkunegaran membentuk rombongan wayang orang komersil pertama yang sebagian besar pemainnya direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang orang Mangkunegaran yang diberhentikan.
Rama dan Sinta |
Ada perbedaan antara wayang orang Mangkunegaran dengan wayang orang panggung. Atas izin Mangkunegara V, Gan Kam mengemas pertunjukkan wayang orang dalam durasi waktu yang agak pendek, lebih mementingkan dialog daripada tarinya, sehingga dapat menghibur penonton. Garapan tari yang terlalu halus, rumit dan lama yang dianggap dapat membosankan penonton dikurangi.
Kalau peranan tokoh wayang orang di Pura Mangkunegaran semuanya dimainkan oleh laki-laki (termasuk tokoh wanitanya), maka pada wayang orang panggung, peranan tokoh laki-laki tertentu (alusan) seperti Arjuna, Abimanyu, Wibisana, dan yang sejenisnya diperankan oleh penari perempuan (dengan alasan-alasan tertentu yang terlalu panjang kalau disebutkan). Diketahui ketika itu bahwa banyak penduduk Tionghoa di sekitar Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan lainnya menjadi penggemar-penggemar wayang orang dan kerawitan Jawa. Tidak jarang bahwa suatu waktu deretan kursi-kursi terdepan di Gedung Wayang Orang Sriwedari seolah-olah menjadi milik nyonya-nyonya Tionghoa, karena sudah dipesan atau diabonemen sebelumnya. Gan Kam, bapak pendiri wayang orang panggung (komersil) itu meninggal dunia pada tahun 1928.
2.
Perbandingan Garap Wayang Orang Gaya Surakarta dan Yogyakarta
Untuk
menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan
pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari :
1). 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
2). 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
3). 2 orang sebagai waranggana;
4). 1 orang sebagai dalang.
Dalam pertunjukan wayang orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit. Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog. Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.
Pola kostum dan make up wayang orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan wayang orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis. Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang, ataupun yang lain-lain.
Gamelan
yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan
bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja. Lama pertunjukan wayang
orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada
malam hari. Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan. Sebelum pertunjukan di
mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut
ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.
Garap wayang orang memiliki perbedaan dalam masing-masing gaya. Yogyakarta yang masih menjalankan budaya Mataram asli memiliki ciri khas sendiri, begitu pula dengan Mangkunegaran (Surakarta) yang memiliki ciri khas sendiri hasil yasa enggal atau membuat yang baru.
Perbedaan
itu salah satunya bisa dilihat pada tata
rias pemain wayang orang. Dalam garapan gaya Surakarta, busana rias pemain
tampak sangat gemerlapan serta berkesan romantik. Sementara dalam gaya
Yogyakarta, busana pemain menampakkan ciri bentuk yang lebih klasik dari pada busana
gaya Surakarta. Untuk pakaian tokoh kera dalam adegan Ramayana misalnya, riasan
wajah pemain kera gaya Surakarta hanya mengandalkan riasan make up wajah
(irah-irahan) serta aksesoris berupa taring dan rumbai rambut pasangan.
Sementara dalam gaya Yogyakarta, penggambaran citra wajah tokoh kera
menggunakan aksesori topeng kayu. Begitu pula dalam tokoh raksaksa, gaya
Yogyakarta juga menggunakan akseoris topeng kayu untuk menggambarkan ciri wajah
dan perangai raksaksa yang diperankan.
Perbedaan
yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan
kostum. Dialog dalam wayang orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai
dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak
bervariasi. Dalam wayang orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian
rupa dan mempunyai pola yang monoton.
Kini, hampir
kebanyakan grup wayang orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta. Jika
ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkala
pada kostum.
Rias Anoman pada garap wayang orang Surakarta |
Berhasil
tidaknya regenerasi wayang orang tidak dapat dipandang secara sepintas.
Kesenian wayang orang yang diturunkan dari masa ke masa tersebut, tidak boleh
punah di tangan generasi saat ini.
Perkembangan dua gaya dalam pementasan wayang
orang merupakan suatu kekayaan budaya adiluhung yang tak ternilai
harganya. Masing-masing gaya memiliki ciri khas tersendiri, yang menjadikan
suatu identitas bagi daerah tersebut. Begitu pelik dan rumitnya olah garap
sendratari wayang orang baik secara fisik maupun falsafah yang terkandung di
dalamnya, menunjukkan bahwa Bangsa Jawa telah mampu menciptakan sebuah karya
seni budaya yang sudah sangat maju dan terstruktur rapi, serta begitu halus dan
estetis.
Walaupun sempat mengalami pasang surut dalam
perkembangannya, sendratari wayang orang masih tetap eksis di tengah
modernisasi. Di tengah hingar bingar hiburan modern, wayang orang menjadi
salah satu rujukan hiburan dengan sensasi dan suasana yang berbeda, tradisional
namun elegan.
Sebagai masyarakat Jawa yang diwarisi berbagai
produk budaya yang beraneka ragam tersebut, sudah seharusnya memiliki hak dan
juga berkewajiban untuk ikut melestarikan produk-produk budaya itu, termasuk
pula di dalamnya wayang orang. Melestarikan seni budaya tidak perlu harus
menjadi pelaku aktif dalam bidang seni budaya tersebut, walaupun memang lebih
baik jika seperti itu. Semua bisa dimulai dari yang paling mendasar, yaitu
merasa memiliki, kemudian bangga, serta menyukai dan mencintai. Sekalipun kita
tidak memiliki bakat dan minat menjadi pemain wayang orang, kita masih bisa
ikut berpartisipasi dalam melestarikan seni wayang orang, yaitu dengan bangga
akan seni wayang orang dan gemar menyaksikan pergelaran wayang orang. Dengan
demikian, suatu produk budaya akan tetap lestari di tengah gempuran arus
kemajuan dan modernisasi.
* * *
Deskripsi anda tentang Wayang Wong sungguh menarik.
BalasHapusSalam kenal.
Inggih matur nuwun
HapusMadosi topeng /rias anoman gagrag ngayogjakarta. Pinanggih ing riki. Eman kirang ageng potonipun. Nanging sampun tercerahkan. Matur nuwun.
BalasHapusInggih sami sami, ngapunten kirangipun
HapusYen ing Bantul menapa wonten tobong Wayang Wong Mataram? Maturnuwun.
BalasHapus