Langsung ke konten utama

Biografi Sri Susuhunan Pakubuwono X (1866-1939)


Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono X (lahir di Surakarta29 November 1866; dan meninggal di Surakarta1 Februari 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 18931939

Nama lahirnya (asmo timur) adalah GRM. Sayyidin Malikul Kusno, putra Susuhunan Pakubuwono IX yang lahir dari permaisuri GKR. Pakubuwono/KRAy. Kustiyah (putri dari Pangeran Wijoyo II), pada tanggal 29 November 1866Pakubuwono IX sendiri adalah putra dari Susuhunan Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda atas tuduhan pengkhianatan dan dukungannya terhadap Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Jadi Pakubuwono X adalah cucu Pakubuwono VI, maka dalam garis perjuangannya melawan kekuatan Belanda, beliau tidak pernah mengabaikan pesan dan terus melanjutkan perjuangan jejak kakeknya.

Sunan Pakubuwono IX bersama GKR. Pakubuwono.

Sunan Pakubuwono X di awal masa bertahtanya.

GRM. Sayyidin Malikul Kusno dilahirkan pada hari Kamis legi tanggal 22 Rajab Tahun 1795 (tahun Jawa) atau tanggal 29 November 1866 pada pukul 07.00 pagi. Waktu mengandung, KRAy. Kustiyah (GKR. Pakubuwono) ngidam dhahar gedang pakis raja, yang  dengan susah payah dicarikan seorang kerabat dan diketemukan di rumah Jan Smith di Desa Gumawang. Kelahiran Sayyidin Malikul Kusno disambut oleh para sentana/kerabat dengan bunyi meriam dan segala tetabuhan serta terompet lengkap dengan bunyi gaamelan Kodok Ngorek sebagai wujud syukur atas kelahiran calon pengganti raja yang ditunggu-tunggu. Pada usia 3 tahun Sayyidin Malikul Kusno telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojoputro Narendro ing Mataram VI.

Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga R.Ng. Ronggowarsito. Dikisahkan, pada saat KRAy. Kustiyah baru mengandung, Pakubuwono IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ronggowarsito menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwono IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari KRAy. Kustiyah. Selama berbulan-bulan Pakubuwono IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, KRAy. Kustiyah melahirkan Sayyidin Malikul Kusno. Pakubuwono IX dengan bangga menuduh ramalan Ronggowarsito meleset.

Ronggowarsito menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ronggowarsito ini, Pakubuwono IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwono IX dengan Ronggowarsito sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwono VI dengan keluarga Yosodipuro.

Upacara penobatan Sunan Pakubuwono X sebagai raja Kasunanan Surakarta ke sembilan pada tahun 1893. Tampak pada gambar Pakubuwono X berjalan di bawah payung kebesaran, bersama dengan residen Surakarta, O.A. Burnaby Lautier, dan para bangsawan serta abdi dalem.

Sayyidin Malikul Kusno naik tahta sebagai Susuhunan pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya, dengan gelar resmi Sahandhap Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Alogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Ingkang Jumeneng kaping XAdapun sebutan "Sayyidin Panotogomo" dikarenakan pada malam sebelum penobatan yang bertempat di Masjid Pujosono Keraton Surakarta, beliau dihadapkan dengan para penghulu dari keturunan Wali Songo yang telah sungkem mengamini penobatannya sebagi wali hakim.
.
Sunan Pakubuwono X saat menerima kunjungan Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand di Keraton Surakarta pada tahun 1896.
.
Semasa berkuasa selama 46 tahun, Pakubuwono X menjadi pendorong di balik layar pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Pada masa itu, Surakarta menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang dapat mengibarkan bendera gula kelapa atau Merah Putih, bukan bendera Belanda. 
Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia-Belanda

Pakubuwono X juga berhasil menyatukan trah Dinasti Mataram yang terpecah sejak tahun 1755 melalui pernikahan. Setelah tidak dapat memiliki keturunan dari permaisurinya, GKR. Pakubuwono, beliau menikah lagi dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII dari Kesultanan Yogyakarta yang bernama GBRAj. Mur Sudarinah. Pernikahan agung kedua kerajaan itu berlangsung pada 27 Oktober 1915, dan setelah diangkat menjadi istri permaisuri mendapat gelar GKR. Hemas. 

GKR. Pakubuwono, Permaisuri I Sunan Pakubuwono X.

GKR. Hemas, Permaisuri II Sunan Pakubuwono X.

Sebuah foto berwarna yang menampilkan Sunan Pakubuwono X sewaktu menikah dengan GKR. Hemas di Keraton Surakarta, 27 Oktober 1915.

Dalam bidang sosial-ekonomi, Pakubuwono X memberikan kredit untuk pembangunan rumah bagi warga kurang mampu. Di bidang pendidikan, ia mendirikan sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan untuk kepentingan kerabat keraton. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede Harjonagoro, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo Kota (Sangkrah), Taman dan Stadion Sriwedari, Kebun Binatang Jurug, Jembatan Jurug yang melintasi Bengawan Solo di timur kota, gedung-gedung pengadilan, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, dan rumah perabuan (pembakaran jenazah) bagi warga Tionghoa. Dalam bidang pendidikan, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah, termasuk Mambaul Ulum dan Pamardi Putri di Kasatriyan.

Beliau secara terbuka atau diam-diam mendukung organisasi politik kebangsaan pada awal abad ke-20. Beberapa pergerakan nasional juga lahir di Surakarta, seperti Serikat Dagang Islam pada 1905. Budi Utomo yang berdiri di Batavia (Jakarta), juga mendapatkan dukungan kuat dan banyak beroperasi di Surakarta. Beliau pun aktif mendorong kerabat keraton untuk belajar dan mendukung pergerakan nasional. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) diadakan pada masa pemerintahannya. 

Sunan Pakubuwono X bergandengan dengan P.R.W. van Gesseler Verschuir, gubernur Yogyakarta (mewakili gubernur Surakarta yang berhalangan hadir), meresmikan bangunan Pasar Gede di Surakarta, sekitar tahun 1930.


Sunan Pakubuwono X berupaya meneruskan usaha ayahnya, Sunan Pakubuwono IX, untuk mempermegah bangunan Keraton Surakarta dan sekelilingnya. Bangunan fisik Keraton Surakarta yang dapat disaksikan sekarang sebagian besar merupakan hasil restorasi besar-besaran semasa pemerintahan Sunan  Pakubuwono X. Tampak pada gambar, adalah bentuk bangunan Kori Kamandungan Lor semasa restorasi pertama (atas) dan bentuk bangunan baru hasil restorasi kedua (bawah).

Dalam tulisan-tulisan ilmiah, peranan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dalam gerakan nasional Indonesia kurang terungkap. Padahal, Yogyakarta melahirkan Budi Utomo (1908) sebagai partai politik yang benar-benar pertama di Indonesia. Awal 1912 di Surakarta muncul Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik massa yang juga pertama di Indonesia. Walaupun SI dilahirkan di sebuah kerajaan Jawa, kemungkinan keterlibatan keraton dalam gerakan nasional seperti diabaikan. Bahkan beberapa sarjana menyebutkan, salah satu faktor utama perkembangan SI adalah adanya kejengkelan rakyat terhadap para bangsawan dan hukum keraton yang sudah kuno. 

Arsip di Belanda menjelaskan bahwa sebenarnya pihak keraton terlibat dalam gerakan itu. Munculnya organisasi kebangsaan yang penting di kerajaan Jawa tak mengherankan. Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa, perkembangan teknologi di kerajaan itu tampak terbelakang, tapi perkembangan kebudayaannya amat pesat. J.Th. Petrus Blumberger, penulis tentang gerakan nasionalis Indonesia yang paling perseptif, mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan itu merupakan tempat “jantung Jawa berdenyut”. Penulis lain menyebutkan bahwa, terutama sekali di daerah kerajaan, rakyat menunggu-nunggu datangnya Heru Cokro, sang juru selamat, sebagaimana telah diramalkan oleh Raja Jayabaya.

Pakubuwono X merupakan tokoh sentral yang membingungkan. Bahkan mungkin kurang diperhitungkan oleh ke-13 orang residen dan gubernur Belanda yang ditempatkan di Surakarta sejak tahun 1893 hingga 1939. Kebanyakan orang Belanda menganggap beliau lemah, tidak cakap, serta patuh. Memang, di mata Belanda, Pakubuwono X tidak memperlihatkan sikap keras, apalagi hidupnya mewah, gemar makan enak, senang mengenakan pakaian kebesaran dengan lencana dan bintang-bintang kehormatan (bahkan orang Belanda sering menyindir, bahwa tanda kebesaran yang dikenakan Pakubuwono X secara berlebihan bahkan sampai dipunggunngnya pun tanda kebesaran itu masih dipasang). Belanda juga menganggapnya percaya pada takhayul sebagaimana kawulanya percaya bahwa ia punya kekuatan gaib guna menyembuhkan orang sakit, memiliki keris dan senjata yang serba sakti. Nyatanya, dalam perkembangan selanjutnya, gambaran  tentang Pakubuwono X jauh berbeda. Belanda sempat terkecoh oleh kesehatan beliau.

Sunan Pakubuwono X bersama para putri dan abdi dalem.

Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas dan rombongan sewaktu berkunjung di Candi Penataran, Blitar.

Sunan Pakubuwono X bersama rombongan sewaktu berkunjung di Candi Borobudur, Magelang.

Raja yang lahir tahun 1866 itu, dalam usia 32 tahun, menderita batu ginjal dan tidak dapat membatasi kemauannya. Belanda sudah memperhitungkan usianya dan menyiapkan pengganti yang sesuai dengan politik Hindia Belanda. Tapi ternyata ia baru wafat setelah 72 tahun. Sejalan dengan usianya, sikap dan wataknya semakin tegas. Patihnya yang amat berkuasa diganti atas perintahnya, sehingga kekuasaannya meningkat. Namun Belanda tetap saja menganggap ia kurang cakap dalam keuangan dan administrasi. Perhatiannya direbut upacara-upacara kebesaran dan politik.

Selama pemerintahannya yang panjang, dalam menghadapi 10 orang gubernur jenderal dan 13 residen secara silih berganti, Pakubuwono X mampu menjauhkan pertentangan yang serius, bahkan tampil seolah sebagai teman pemerintah Hindia Belanda. Tetapi kewibawaannya sebagai raja Jawa di mata rakyat semakin meningkat. Loyatitasnya kepada Hindia Belanda memang tidak meragukan Kontrak Politik yang ditandatanganinya ketika naik tahta sebagai Susuhunan pada tahun 1893Pakubuwono X sadar, sebagai cucu Pakubuwono VI yang pada tahun 1831 dibuang Belanda ke Ambon, ia merasa harus meneruskan perjuangan pendahulunya dalam mengusir penjajah.

Petunjuk bahwa Pakubuwono X mempunyai kecenderungan terlibat dalam aktivitas politik dilaporkan oleh Residen Sollewijn Gelpke (1914-1918) kepada atasannya. Secara teratur ia mendapati Pakubuwono X memerlukan terjemahan berita-berita penting dari De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Khususnya berita mengenai Perang Dunia I, Gelpke mendapati Pakubuwono X bersimpati pada Jerman sebagaimana banyak orang Indonesia saat itu, termasuk orang-orang Sarekat Islam. Peranan Pakubuwono X sebagai imam bagi masyarakat muslim di Surakarta, juga sangat diperhitungkan Belanda.

Sunan Pakubuwono X dan GKR. Hemas bersama rombongan ketika melakukan kunjungan di Gresik, tahun 1927. 

Sunan Pakubuwono X saat berkunjung ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1932. Kedatangan beliau disambut langsung oleh Sultan Hamengkubuwono VIII beserta gubernur Yogyakarta.

Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas dan rombongan sewaktu berkunjung di kediaman bupati Garut pada tahun 1921.

Sementara itu, Residen L.Th. Schneider (1905-1908) berpendapat bahwa potensi subversif Pakubuwono X patut diperhitungkan. Schneider merupakan salah seorang yang pertama kali mencurigai pengaruh perjalanan Pakubuwono X ke luar daerah. Walaupun perjalanan dan kunjungan itu secara teoretis bersifat incognito, kunjungannya ke Semarang, Surabaya, Ambarawa, dan Salatiga (antara tahun 1903 dan 1906) benar-benar dapat disebut sebagai kunjungan resmi. Kunjungan itu dapat dianggap sebagai pencerminan tujuan politik Pakubuwono X yang hendak memperluas pengaruhnya sebagai raja Jawa. Ia juga melawat ke Bali dan Lombok, serta Lampung.

Pada bulan Desember 1921, Pakubuwono X melakukan perjalanan ke daerah Priangan, diiringi oleh 52 bangsawan dan abdi dalem. Setelah singgah di Semarang, Pekalongan, dan Cirebon, Pakubuwono X menetap cukup lama di Garut dan Tasikmalaya. Di Garut, ratusan orang berkumpul menanti kehadiran Pakubuwono X, sehingga merepotkan polisi Belanda. Pada bulan Februari 1922, Pakubuwono X mengadakan perjalanan lagi ke Madiun, disertai oleh 58 bangsawan dan abdi dalem. Perjalanan itu resminya sekali lagi disebut incognito, tapi justru benar-benar membuat citra Pakubuwono X semakin meningkat. Ia mengobral banyak hadiah tanda mata dengan lambang PB X. Bupati-bupati menerima keris dengan hiasan permata, serta para wedana dan asisten wedana memperoleh berbagai arloji emas.

Sunan Pakubuwono X bersama putri beliau, GKR. Pembayun, ketika berbincang dengan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan putrinya dalam kunjungan beliau di Istana Bogor.

Sunan Pakubuwono X menyambut kedatangan Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sewaktu berkunjung ke Surakarta.

Sunan Pakubuwono X bersama Gubernur Jenderal de Graeff ketika berada di Boyolali, tahun 1928.

Demi mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat (Jawa), Pakubuwono X terus mengadakan perjalanan ke daerah-daerah. Belanda keberatan, dengan alasan biaya. Padahal, sebenarnya Belanda hendak membatasi popularitas Pakubuwono X. Sekalipun perjalanan itu bersifat incognito, tetapi Pakubuwono X selalu mengesankan di mata rakyat sebagai Kaisar Tanah Jawa. Setelah perjalanannya ke Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1922, yang bersamaan dengan meningkatnya semangat radikalisme Budi Utomo, Pakubuwono X tidak mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1923. Baru pada tahun berikutnya, ia mengadakan kunjungan besar ke Malang. Penampilannya yang mengalihkan perhatian rakyat disana menyebabkan Gubernur Jenderal Dirk Fock bahkan menyuruh Residen Nieuwenhuys mempersilahkan Pakubuwono X untuk segera pulang. Alasannya, persyaratan incognito telah dilanggar. Setelah Nieuwenhuys pindah dari Surakarta, Pakubuwono X mengadakan perjalanan lagi pada tahun 1927. Diiringi 44 orang bangsawan dan abdi dalem, ia mengadakan kunjungan ke Gresik, Surabaya, dan Bangkalan selama seminggu. Jumlah pengiringnya kala itu bahkan mencapai tiga kali lipat dari jumlah dalam persyaratan yang dibuat oleh Belanda.

Hubungan SI dengan keraton dan Pakubuwono X boleh dikata berawal di bulan September 1912. Dari sebelas orang pimpinan SI Solo, empat orang di antaranya pejabat tinggi keraton. Kongresnya yang kedua diselenggarakan di Sriwedari, sebuah taman dan tempat pertemuan milik Pakubuwono X. Beberapa hari sebelum kongres dibuka, patih Sosrodiningrat memberi tahu Van Wijk bahwa SI setempat meminta kepada putranya, RM. Wuryaningrat, agar menjadi anggota kehormatan. Selanjutnya, atas perintah ayahnya, Wuryaningrat menolak permintaan itu dengan pura-pura membuat alasan karena anggaran dasar SI belum mendapat persetujuan dari pemerintah Hindia Belanda. Van Wijk lagi-lagi terkejut ketika pada malam menjelang pembukaan kongres mendengar KGPH. Hangabehi terpilih sebagai pelindung SI. Ketika ditanya oleh residen Belanda, Hangabehi mengatakan bahwa keanggotaannya di SI baru dua hari, ia juga telah diundang hadir pada rapat pendahuluan kongres. Ketika tiba-tiba diminta jadi pelindung, permintaan itu langsung diterimanya, tanpa meminta nasihat dulu dari Susuhunan atau patih. Kehadiran KGPH. Hangabehi memang mendapat sambutan hangat dari kongres. Secara resmi pangeran itu terpilih sebagai pelindung. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua, dan Cokroaminoto sebagai wakil ketua. KRMA. Puspodiningrat – putra KRT. Wiryodiningrat, penasihat Pakubuwono X yang paling terpercaya jadi ketua cabang Jawa Tengah. Puspodiningrat waktu itu berpangkat bupati nayoko di keraton, ia dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, yang antipati pada orang Eropa.


Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas sewaktu berkunjung di Batavia, tahun 1915. 

Sunan Pakubuwono X bersama gubernur Surakarta, J.J. van Helsdingen, dalam sebuah upacara di Keraton Surakarta, sekitar tahun 1935.

Beberapa putra Sunan  Pakubuwono X. Dari kiri : KGPH. Kusumoyudo, KGPH. Kusumodilogo, KGPH. Kusumodiningrat, KGPH. Prabuningrat, KGPH. Hangabehi (kelak menjadi raja bergelar Sunan Pakubuwono XI), KGPH. Purbodiningrat, KGPH. Hadiwijoyo, dan KGPH. Suryobroto.

Tindakan Pakubuwono X ini bahkan menyerempet-nyerempet bahaya, kalau ditilik dari sangsi yang dapat dijatuhkan Belanda kepada beliau, sehubungan dengan kontrak politik yang ditandatangani beliau pada waktu naik tahta. Namun semua ini tidak diperdulikan Pakubuwono X, bahkan beliau tidak pernah mau datang di kantor gubernur jika ada urusan dinas yang perlu dibicarakan. Sebaliknya, gubernur-lah yang harus menghadap ke keraton, dan itupun harus mengikuti protokuler, yaitu mengajukan permohonan dulu jika hendak ketemu Pakubuwono X. Beliau adalah satu-satunya Raja Jawa yang berani mengambil resiko ini. Beliau tetap menunjukkan kewibawaannya sebagai ratu. Pakubuwono X sadar bahwa untuk mengadakan aksi militer terhadap Belanda sudah tidak mungkin lagi, sejak Dinasti Mataram terpecah menjadi dua kerajaan dan dua kadipaten. Namun Pakubuwono X tidak akan melepaskan cita-citanya membangun kembali Mataram seperti semula. Kata seorang gubernur Belanda, bahwa dalam mimpinya Pakubuwono X masih membayangkan ini. Juga tidak akan dilupakan pesan yang ditinggalkan sang eyang, Pakubuwono VI, yang wafat di tanah pembuangan, agar jangan lupa mengambil tindakan terhadap Belanda.

Walaupun pada kenyataannya, semua tindakan perjuangan Pakubuwono X ini tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia kebanyakan. Termasuk pula peran kota Solo atau Surakarta sebagai kota pusat pergerakan nasional. Hal tersebut tidak lepas karena saat itu Surakarta merupakan sebuah kota pusat pemerintahan, otomatis segala gerak perjuangan yang dilakukan oleh pihak-pihak keraton bersifat bawah tanah. Atas jasa-jasa perjuangan Pakubuwono X, pemerintah Indonesia menganugerahi beliau sebagai Pahlawan Nasional (Keppres No. 113/TK/2011, Tgl. 7 November 2011).

Sunan Pakubuwono X dan GKR. Hemas beserta putri, GRAj. Sekar Kedaton, kelak bergelar GKR. Pembayun.

Sunan Pakubuwono X bersama KGPAA. Mangkunegoro VII (paling kiri) menyaksikan defile pasukan baru dari Legiun Mangkunegaran pada tahun 1932.

Sunan Pakubuwono X ketika sedang berkuda. Tampak pada gambar beliau mengenakan seragam militer ala Jerman.

Dalam bidang keagamaan, Pakubuwono X mengadakan perombakan besar-besaran pada bangunan fisik Masjid Agung Surakarta, serta Masjid Kotagede dan Masjid Imogiri yang masuk dalam wilayah enclave Kasunanan Surakarta di dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan beliau, pembacaan kitab-kitab agama dilangsungkan pada hari Rabu malam Kamis, bertempat di Bangsal Pracimarga. Pembacaan diatur secara bergantian dan dipilih diantara mereka yang telah pandai. Pada pertemuan itu R. Penghulu menguraikan isi kitab yang baru saja dibaca. Pada hari Kamis Malam Jumat, Pakubuwono X melakukan udhik-udhik (sedekah artinya menyebar dana uang). Pakubuwono X melakukan ritual agama di beberapa tempat tertentu, yaitu berupa pemberian uang sedekah yang disebarkan kepada rakyat.

Pakubuwono X pernah datang di Masjid Demak untuk melakukan shalat sunnah. Beliau juga memerintahkan permaisuri dan para putri serta para abdi dalem wanita untuk beziarah ke makam Sunan Kalijaga. Pada awal didirikannya Masjid Agung Surakarta tidak sebesar dan semegah sekarang. Pakubuwono X sebagai raja yang memerintah berikutnya banyak melakukan perbaikan Masjid Agung Surakarta, baik mengenai bangunan, perabotnya maupun dekorasinya. Aktivitas memakmurakan masjid tertata dengan rapi mulai dari aktivitas harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Majelis taklim tersedia bagi anak-anak remaja dan orang tua. pendidikan kegamaan bagi keluarga Sunan dilaksanakan di Istana dan dilaksanakan oleh Abdi Dalem Mutihan. Pakubuwono X sendiri belajar ilmu agama dari Abdi Dalem Mutihan tersebut, yaitu kepada Bagus Raden Panji Affandi Muhammad Muqaddas, saudara Penghulu Tafsir Anom V. Waktu Pakubuwono X masih remaja, guru-guru mengajinya adalah Kyai Shalekhah, Kyai Yahya, Kyai Pujiwidada, sedang Kyai Anip adalah seorang khoja diangkat sebagai guru untuk doa-doa terpilih. Pakubuwono X juga terkenal mahir dalam dunia karya sastra, salah satu karya beliau adalah Serat Wulangreh Putri.

Suasana acara selamatan di Sasana Sewayana, Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta, sekitar tahun 1920-an. 

Sunan Pakubuwono X beserta GKR. Hemas dan rombongan mengenakan pakaian haji saat hendak melakukan sholat Jumat di Masjid Agung Surakarta.

Pakubuwono X sendiri merupakan raja yang gemar melaksanakan upacara kerajaan secara besar-besaran, tak hanya melibatkan para bangsawan, namun juga masyarakat umum. Beliau juga gemar mengenakan pakaian kebesaran selama bertatap muka dengan rakyat dan ketika melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah. Pakubuwono X selain sebagai seorang raja, beliau juga gemar melakukan bisnis. Tak heran, begitu banyak aset kekayaan yang dimiliki Pakubuwono X, membuat beliau sebagai raja terkaya di Hindia Belanda pada saat itu. Konon, busana-busana permaisuri GKR. Hemas didatangkan langsung dari Belanda dan Perancis. 

Pakubuwono X adalah orang Indonesia, bahkan orang Asia Tenggara pertama yang tercatat sebagai pemilik mobil pada tahun 1894. Mobilnya bermerk Benz, tipe Carl Benz, beroda empat. Diperlukan waktu satu tahun persiapan pembuatannya, karena tipe ini memiliki banyak variasi sesuai dengan pesanan Pakubuwono X sendiri. John.C.Potter seorang penjual mobil mendapat kepercayaan untuk mengurusi pengirimannya dari Eropa. Mobil ini bekerja dengan empat silinder sama dengan kendaraan yang dipakai oleh gubernur jenderal di Batavia. Malahan ada kabar burung, bahwa dibelinya mobil Daimler tersebut oleh Pakubuwono X, disebabkan karena beliau tidak mau kalah gengsi dengan si gubernur jenderal. Sebelumnya, ketika gubernur jenderal masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Pakubuwono X memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama. Suatu tindakan nyentrik yang berani pada masa itu.

Sunan Pakubuwono X bersama seorang pejabat Belanda sewaktu kunjungan beliau di Istana Bogor. Tampak pada gambar mobil Sunan Pakubuwono X, dengan lambang Sri Radya Laksana (lambang Kasunanan Surakarta) dan inisial PB X pada bagian bodi mobil.

Sunan Pakubuwono X ketika berada di dalam salah satu kereta kencana kebesarannya.

Masa pemerintahan Pakubuwono X adalah masa keemasan bagi Kasunanan Surakarta. Bersama dengan Mangkunegoro VII, Surakarta berkembang pesat menjadi kota terbesar ke lima di Hindia Belanda pada masa itu. Kemakmuran Surakarta membuat banyak penulis/jurnalis luar negeri yang datang berkunjung ke Surakarta sejak abad 19 karena tertarik dengan keunikan kota ini. Yang menjadi pusat perhatian tentunya pusat budaya dan pemerintahan saat itu, yaitu Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. 

Pada tahun 1937, majalah bergengsi dari Amerika Serikat, Life, meliput upacara besar ulang tahun Pakubuwono X. Isi liputan majalah tersebut adalah sebagai berikut:

"Salah satu dinasti tertua di dunia adalah dinasti keluarga raja Surakarta di Jawa bagian tengah, Sunan Paku Buwono X, yang dikenal oleh 2.260.000 penduduk Jawa sebagai "Sang Bijak/Ingkang Wicaksono". Di bawah naungan Ratu Wilhelmina dari Belanda, beliau menguasai satu di antara dua kesultanan asli di tanah Belanda pada sisi dunia yang lain. Petinggi di atasnya adalah residen M.J.J. Treur yang mana dipanggil sebagai "saudara". Baru-baru ini, sang Sunan merayakan ulang tahunnya yang ke-72 dan mengundang "saudara"-nya untuk ikut menghadiri pesta di istananya. Selain itu, yang ikut hadir adalah para permaisurinya, para istri selir, 44 putra-putrinya, 88 cucunya, 20 cicitnya - dan turut diundang pula fotografer pertama Eropa untuk meliput pesta ulang tahun sang Sunan. Berhubung Paku Buwono masih memegang teguh tradisi istana Jawa, seluruh 6.000 abdi dalem, pegawai, prajurit, pembantu, dan para selir istana diperindah untuk perayaan pesta tiga hari tersebut. Perjanjian tahun 1750 antara VOC dan Sunan Surakarta membagi kekayaan tanah kekuasaan seluas 2,408 meter persegi (seukuran Delaware). Dengan demikian, istananya dipermewah dengan kanopi sutra, lampu kristal, dan pegawai istana mengenakan lencana emas. Karena Sang Paku Buwono tertarik dengan barang-barang modern, Paku Buwono "sang bijak" memiliki sebuah mobil Amerika dan pesawat Inggris. Namun, karena jantungnya yang lemah, dokter pribadi kerajaann didikan Paris melarangnya untuk terbang, namun beliau tidak mematuhi anjuran dokternya. Pakaian kepala pegawai istana dibuat dalam gaya culberston. Selain itu, beliau juga mengoleksi medali penghargaan dari berbagai negara dunia. Separuh dari negara dunia direpresentasikan dalam medali penghargaan pada jas velvetnya. Musim semi yang lalu, beliau bertanya ke konsulat Amerika Serikat, Jenderal Walter A. Foote, karena Amerika belum memberikannya penghargaan."

"Pada pesta jamuan makan malam, sang tuan rumah (memakai fez) dan 'saudara'-nya (dengan jas putih) menghadap kamera. Umur Paku Buwono (72) tertera pada vas bunga."

"Sembilan putri istana menarikan tari kuno Jawa, bedoyo, di hadapan Sunan dan para hadirin."

Pakubuwono X duduk di singgasana Dinasti Mataram Surakarta selama 46 tahun (1893-1939). Putranya kira-kira 60 orang lebih, yang masih hidup saat sebelum beliau mangkat ada 44 orang – 20 putra, 24 putri. Masalah yang mengganjal ialah bahwa Pakubuwono X tidak memperoleh putra dari kedua permaisurinya. Dua putra yang tertua, KGPH. Hangabehi dan KGPH. Kusumoyudo, yang memiliki kemungkinan besar menjadi penggantinya, lahir dari selir. Menurut keinginannya, KGPH. Kusumoyudo-lah yang hendak dijadikan putra mahkota, meski usianya 40 hari lebih muda dari KGPH. Hangabehi. KGPH. Kusumoyudo mempunyai seorang putra (sulung) bernama KRMH. Mr. Kartodipuro (kemudian bernama BPH. Mr. Sumodiningrat), ahli hukum lulusan Universitas Leiden tahun 1935. Sekembalinya di Surakarta ia diangkat menjadi bupati anom di kepatihan, dan tak lama kemudian menceburkan diri dalam kegiatan politik. Ia bergabung dalam Parindra, dan menjadi wakil ketua cabang Surakarta sejak Agustus 1939. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Sara Murti (Panah Wisnu), pengganti Timbul, yang terbit sejak Juli 1936. Kritik-kritik pedas yang dilancarkan oleh Sumodiningrat dalam majalah itu menimbulkan kemarahan Belanda. Gubernur Orie pernah memanggilnya dan menumpahkan kemarahannya selama tiga jam.

Pada tahun 1898 Pakubuwono X sudah berniat mengangkat KGPH. Kusumoyudo sebagai putra mahkota, tapi diurungkannya karena sebagian besar kalangan keraton yang anti-Belanda, termasuk patih, lebih memilih KGPH. Hangabehi. Belanda pun menilainya cukup dapat dipercaya dan “loyal”. Ia mendapatkan dukungan kuat dari Gubernur Orie. Pada akhir bulan November 1938 Pakubuwono X sakit keras, dan akhirnya beliau wafat pada tanggal 20 Februari 1939. Atas nasihat Den Haag, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborg Stachouwer memilih KGPH. Hangabehi menggantikan ayahandanya sebagai Pakubuwono XI. 

Semasa hidupnya, Pakubuwono X dikenal rakyatnya sebagai Sinuhun Wicaksono, yang berarti Paduka yang Bijaksana. Raja terbesar Kasunanan Surakarta ini wafat dengan meninggalkan sederet prestasi dan kemegahan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Surakarta dan sekitarnya hingga saat ini.


.


Suasana pemakaman 
Sunan Pakubuwono X, mulai ketika jenazah beliau dibawa dalam kereta jenazah, hingga kemudian jenazah beliau dibawa dengan gerbong khusus menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, dan iring-iringan pengantar jenazah beliau di Astana Pajimatan Imogiri.


Sebuah harian yang meliput berita tentang wafatnya Sunan Pakubuwono X, Febuari 1939. Tampak pada gambar Sultan Hamengkubuwono VIII memberi penghormatan terakhir ketika kedatangan jenazah Sunan Pakubuwono X di Stasiun Tugu, Yogyakarta.


GALERI


Sri Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta.

Sebuah foto yang diambil di serambi Masjid Agung Surakarta pada awal abad ke 20. Tampak pada gambar adalah Sunan Pakubuwono X (duduk di singgasana) yang sedang memimpin jalannya upacara Grebeg Mulud (yang pada saat foto itu diambil jatuh pada Tahun Dal) memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
.
Sunan Pakubuwono X bersama Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg pada tahun 1915.
.
Sunan Pakubuwono X bersama GKR. Hemas dan rombongan saat mengunjungi Kerajaan Karangasem (sekitar tahun 1920-1930-an); kedatangan beliau di Puri Agung Karangasem diterima langsung oleh Raja A.A.A. Anglurah Ketut Karangasem.

Sunan Pakubuwono X menerima kunjungan gubernur jenderal Indochina-Perancis, H.E.P. Pasquier, di Sasana Sewaka, Keraton Surakarta (sekitar tahun 1930-an).


Video yang menampilkan Sunan Pakubuwono X saat memimpin upacara Grebeg Mulud (tahun 1920-an).


Video yang menampilkan kunjungan Sunan Pakubuwono X ke Jawa Timur (sekitar tahun 1920-an).



Video yang menampilkan prosesi upacara pemakaman Sunan Pakubuwono X (tahun 1939).



Kata kunci:
Biografi Pakubuwono X, Biografi, Pakubuwono X, Raja, Sunan, Susuhunan, Surakarta, Kasunanan SurakartaKeraton Surakarta, Pahlawan Nasional, Tokoh Indonesia

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d