Langsung ke konten utama

Sejarah Tari Remo

.
Provinsi Jawa Timur memiliki beragam kekayaan seni dan budaya. Secara lingkup wilayah kultural, provinsi ini terbagi menjadi beberapa wilayah gagrak (gaya) kebudayaan, yaitu Jawa Mataraman atau Kulonan di bagian barat, Jawa Pasisiran di bagian utara dan barat laut, Arek atau Wetanan di bagian tengah dan timur, serta kebudayaan Madura dan Osing masing-masing di wilayah Kepulauan Madura dan Kabupaten Banyuwangi. Juga ada kebudayaan Tengger di wilayah Dataran Tinggi Tengger, serta kebudayaan Bawean di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik. Berbagai bentuk kekayaan seni dan budaya tersebut bermacam-macam, seperti seni drama, sastra, ritual, busana adat, seni bangunan, seni tari, dan sebagainya.
.
Untuk seni tari, berbagai wilayah kebudayaan di Jawa Timur memiliki tarian daerah khasnya masing-masing. Mungkin sebagian besar orang menganggap Reog Ponorogo adalah tarian maskot Jawa Timur. Namun selain Reog, salah satu tarian yang sangat familiar bagi masyarakat Jawa Timur. Tarian itu adalah Tari Remo.
.
Tari Remo (atau terkadang disebut juga Remong) adalah sebuah tarian yang lahir dari kawasan budaya Arek, di bagian pusat Jawa Timur. Dalam sejarahnya, Tari Remo ini diciptakan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai penari keliling (tledhek) di Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Pada perkembangan selanjutnya, seiring berkembangnya kesenian Ludruk di tengah masyarakat sekitar abad ke 19, Tari Remo digunakan menjadi tarian pembuka dari pentas pertunjukan Ludruk. Sebelum seorang pemain Ludruk membawakan kidungan dan parikan, Tari Remo ditampilkan sebagai pembuka dan ucapan selamat datang bagi para hadirin yang menyaksikan. Begitu lekatnya Ludruk dengan Tari Remo, sehingga kedua produk seni tersebut menyatu menjadi sebuah paket pertunjukan yang masing-masing tidak bisa dipisahkan. Setelah Indonesia merdeka, lambat laun fungsi dan posisi Tari Remo semakin berkembang. Tari Remo kini sering digunakan sebagai tarian penyambutan tamu-tamu istimewa, seperti pejabat, delegasi asing, dan lain sebagainya.
.
Awalnya, Tari Remo adalah tarian yang khusus dibawakan oleh kaum pria. Hal ini berkaitan dengan cerita atau tema dari Tari Remo itu sendiri. Tari Remo bercerita tentang kepahlawanan seorang pangeran yang berjuang dalam medan pertempuran. Untuk itu, sisi maskulin dalam Tari Remo sangat ditonjolkan. Namun dalam perkembangannya, banyak kaum perempuan yang tertarik untuk belajar dan membawakan Tari Remo, bahkan kini Tari Remo banyak ditarikan oleh perempuan. Walaupun demikian, busana ala pria yang digunakan sebagai kostum Tari Remo tidak banyak diubah, meski yang menarikannya seorang perempuan.

Karakteristik yang paling utama dari tata gerak Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya bandul-bandul (binggel) yang dipasang di pergelangan kaki. Bandul lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentakkan kakinya di panggung. Selain itu, ciri khas yang lain adalah gerakan melempar selendang atau sampur secara cepat dan dinamis, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, serta kuda-kuda penari membuat tarian ini menjadi semakin atraktif.

Tata busana Tari Remo sendiri bermacam-macam menurut wilayah kebudayaan dan siapa yang menarikannya. Gaya-gaya busana Tari Remo adalah gaya Surabayan, Malangan, Jombangan, Sawunggaling, dan Remo Putri. Dalam gaya busana Surabayan, aksesori yang dikenakan terdiri atas ikat kepala merah (udheng), gelang kaki berbandul (binggel), baju tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke 18, celana sebatas pertengahan betis yang dikait dengan benang emas, kain batik (jarik) gaya Pasisiran yang menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris yang diselipkan di belakang. Penari juga memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang tiap ujung selendang.

Busana Tari Remo Surabayan

Untuk gaya busana Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan benang emas. Gaya Jombangan, sebagai gaya asli dari Tari Remo, busana yang dipakai sama dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni penari hanya mengenakan rompi khas prajurit Jawa abad pertengahan. Jelas sekali bahwa busana Tari Remo gaya Jombangan hanya untuk dibawakan oleh kaum pria.

Lain lagi dengan gaya busana Sawunggaling. Sawunggaling sendiri diambil dari nama Raden Mas Tumenggung Sawunggaling, tokoh legendaris dari Surabaya. Sebuah legenda dari abad ke 17 mengisahkan bahwa Tumenggung Sawunggaling adalah adipati Surabaya yang berhasil mengusir pasukan kompeni pimpinan Jenderal de Boor dari Surabaya. Busana gaya Sawunggalingan terilhami dari kisah kepahlawanan Tumenggung Sawunggaling itu sendiri. Pada dasarnya busana gaya Sawunggalingan sama dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan adalah penggunaan kaus putih berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam ala kerajaan.

Sementara untuk busana Tari Remo gaya putri memiliki ciri khas sendiri, walaupun secara garis besar penggunaan pakaian dan aksesoris hampir sama dengan busana gaya pria. Namun dalam perkembangannya, penari Remo Putri juga memakai sanggul dan cunduk mentul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu. Remo Putri yang seperti itu sering disebut sebagai Tari Beskalan, yang terutama berkembang di wilayah Kabupaten Malang.

Busana Tari Remo Putri atau Tari Beskalan

Irama musik yang mengiringi Tari Remo ini adalah seperangkat gamelan, yang biasanya terdiri atas bonang barung atau babok, bonang penerus, saron, gambang, gender, slenthem, siter, suling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Gamelan yang digunakan sama seperti gamelan yang digunakan untuk mengiringi pentas pertunjukan Ludruk, menggunakan laras slendro. Kecuali untuk Remo Putri yang sudah berkembang menjadi Tari Beskalan, gamelan yang digunakan menggunakan laras pelog.

Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah irama Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru. Berbeda dengan tari-tarian Jawa yang lain, Tari Remo hanya diiringi dengan instrumen tanpa seorang waranggana atau sinden yang membawakan tembang. Jika Tari Remo dibawakan sebagai pembuka pertunjukan Ludruk, penari biasanya juga menyanyikan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya. Dilihat dari hal tersebut, tentunya selain prigel menari, penari Remo juga harus mahir dalam seni olah suara.

Berkat nuansa kemegahan yang ditampilkan dari gaya busana, irama gamelan yang mengiringi, dan serta gerakan dinamis dan gagah dari Tari Remo, membuat tarian ini terkesan eksklusif dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Timur. Tari Remo yang semula hanya ditarikan oleh satu orang penari saja, lambat laun kemudian ditarikan pula oleh beberapa orang dalam sebuah pentas, yang menjadikan Tari Remo semakin indah karena memiliki pola koreografi tersendiri. Bahkan di era sekarang, di beberapa kota di Jawa Timur, khususnya Jombang dan Surabaya, sering diadakan Festival Remo Massal sebagai event tahunan, selain juga untuk menarik minat wisatawan agar berkunjung ke kota tersebut.

Dibutuhkan kecekatanan dan konsentrasi penuh bagi penari jika membawakan Tari Remo. Gerakan yang berubah-ubah dalam tempo waktu yang cepat, melempar dan memutar-mutar selendang, serta ketukan irama hentak kaki, semuanya harus dilakukan dengan baik. Gerak cepat dan gagah dari Tari Remo sendiri melambangkan keperkasaan, kepiawaian, dan kesaktian kesatria Jawa tempo dulu.

Banyak sekolah-sekolah di Jawa Timur, khususnya di wilayah budaya Wetanan seperti Surabaya, Jombang, Malang, Pasuruan, dan sekitarnya, menjadikan Tari Remo sebagai salah satu bidang ekstrakurikulernya. Tarian ini sangat diminati oleh generasi muda, terbukti dengan pekan seni atau lomba Remo yang banyak diramaikan oleh penari generasi muda.

Sebagai sebuah tarian yang sangat dibanggakan masyarakat Jawa Timur, eksistensi Tari Remo untuk saat ini memang tidak dalam keadaan mengkhawatirkan. Karena masih sangat banyak generasi muda yang mau belajar, atau paling tidak bangga dengan keberadaan Tari Remo. Beberapa waktu yang lalu, di sebuah festival kebudayaan di Surabaya, sempat disinggung sebuah jargon “Dudu arek Suroboyo lek gak seneng Ngremo !”, yang berarti “bukan anak Surabaya jika tidak suka Tari Remo”. Hal ini menandakan begitu lekatnya Tari Remo dengan masyarakat budaya Wetanan, sehingga Remo menjadi maskot bagi wilayah budaya tersebut. Dan tentunya, menilik karakter dari masyarakat budaya wetanan (khususnya Surabaya) yang sangat membanggakan daerah asalnya, masyarakat daerah ini sudah pasti bangga jika Tari Remo terus lestari, bahkan berkembang hingga ke daerah lain di luar Jawa Timur.

Harapannya, Tari Remo sebagai salah satu produk seni budaya asli Jawa Timur akan tetap lestari sepanjang zaman. Meskipun kondisi eksistensi Tari Remo di masyarakat masih sangat bagus, namun tak dapat dipungkiri, sangat diperlukan regenerasi yang tak henti agar tari ini terus lestari. Selain itu, dengan promosi yang memang sudah bagus, pemerintah daerah tidak boleh lengah dan harus kian berinovasi dalam mempromosikan Tari Remo, khsusnya pada warga luar Jawa Timur bahkan mungkin turis mancanegara. Para seniman tari juga harus memiliki inovasi tinggi dalam berkreasi, agar Tari Remo tetap eksis di tengah roda perputaran zaman yang kian hari kian maju.

Untuk berpartisipasi melestarikan Tari Remo sangatlah mudah. Syukur-syukur jika kita gemar dan mau mempelajari Tari Remo. Namun jika kita tak memiliki minat dan bakat dalam bidang tari, kita tak perlu bersusah payah untuk belajar Tari Remo. Hanya dengan turut bangga serta mau menyaksikan pertunjukan Tari Remo, itu sudah sama dengan kita ikut andil dalam melestarikan keberadaan Remo. Terlebih lagi jika kita mempromosikan Tari Remo kepada masyarakat di seluruh Indonesia bahkan hingga mancanegara, bahwa inilah Tari Remo, kebanggaan Jawa Timur.


***

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d