Langsung ke konten utama

Tari: Untuk Keselamatan Mangkunegaran dan Indonesia


Saat itu malam minggu, dan cuaca di luar, gerimis. Suasana yang sangat mendukung bagi saya untuk: Bermalas-malasan di tempat tidur. Bagi sebagian - mungkin bisa disebut, kebanyakan - anak muda seumuran saya, malam minggu adalah "malam keramat" yang harus benar-benar dimanfaatkan. Dimanfaatkan dalam hal bersenang-senang, bersama - ehem - pacar, teman, keluarga, apapun dan siapapun itu, berkutat dengan gebyar kehidupan kota dan beragam aktivitas kekinian ala-ala anak muda. Tapi mau dikata apa, badan sudah terlalu lelah karena aktivitas seharian, ber-malam minggu-an di atas kasur kamar kos tampaknya sangat menggiurkan. Sangat menggiurkan. Tapi kenyataannya, saya tidak tergoda dengan "rayuan suasana".

Jika saya lebih memilih tidur, mungkin teman saya yang sedang dalam perjalanan jauh-jauh dari Tawangmangu menuju kos-kosan saya di ujung timur Surakarta - baiklah, siapapun lebih mengenal kota tempat tinggal saya sekarang ini dengan sebutan Solo, tapi tak ada salahnya jika saya menggunakan nama asli kota ini, Surakarta - akan memaki saya sebagai makhluk Tuhan yang sudah ingkar janji. Karena sebelum ini, saya sudah menjanjikan kepada teman saya tentang sebuah "acara unik" yang diselenggarakan oleh Pura Mangkunegaran. Apa itu Pura Mangkunegaran ? Akan saya terangkan di tulisan ini. Singkatnya, setelah menolak "rayuan suasana", dengan berboncengan menggunakan sepeda motor, di bawah rintik hujan - ah, ini menggelikan - dan angin dingin, kami berdua sampai di halaman Dalem Prangwedanan, Pura Mangkunegaran Surakarta.

"Acara unik" yang saya maksud sebenarnya adalah Pagelaran Tari Wiyosan Septu Pon, yang memang rutin diadakan oleh Pura Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran, adalah satu dari dua istana yang ada di Kota Surakarta. Istana atau kediaman penguasa dan pusat pemerintahan ini berdiri pada tahun 1757 sebagai realisasi dari Perjanjian Salatiga yang mengakhiri perselisihan R.M. Said dengan Sunan Pakubuwono III, raja Kasunanan Surakarta, Sultan Hamengkubuwono I, raja Kasultanan Yogyakarta, dan VOC Belanda. Perjanjian itu menjadikan R.M. Said sebagai penguasa yang merdeka dari Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta, bergelar gelar Adipati Mangkunegara I dengan wilayah kekuasaannya meliputi bagian utara Kota Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, serta wilayah Ngawen dan Semin. Wilayah kekuasaan Adipati Mangkunegara I ini disebut Kadipaten Mangkunegaran, yang sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 resmi menyatakan diri bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Sejak saat itu, otomatis kedudukan Pura Mangkunegaran berubah, yang awalnya sebagai pusat pemerintahan Kadipaten Mangkunegaran, menjadi pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa; baik secara keseluruhan maupun relik-relik pusaka bendawi dan non-bendawi milik Mangkunegaran. Begitupun kedudukan sang adipati, hanya sebagai pemimpin seremonial dan informal Pura Mangkunegaran.

Masih berjalan di atas pakem dan tradisi yang diwariskan leluhur, Pura Mangkunegaran sampai sekarang tetap menjaga warisan budaya yang dimiliki agar tidak punah tergilas roda zaman. Pagelaran Tari Wiyosan Septu Ponsalah satunya. Pergelaran ini diadakan rutin oleh Pura Mangkunegaran setiap selapan atau 35 hari pada hari Sabtu Pon dalam penganggalan Jawa, dalam rangka peringatan hari kelahiran (wiyosan) adipati Mangkunegaran yang saat ini memangku tahta, Adipati Mangkunegara IX. Beliau lahir pada hari Sabtu, 18 Agustus 1951, atau Sabtu Pon, 15 Dulkaidah 1882 menurut sistem penanggalan Jawa. Acara wiyosan ini berisikan pertunjukan tari-tarian klasik warisan adipati-adipati Mangkunegaran serta tidak lupa tari-tarian hasil dari kreasi seniman-seniman dan empu tari di Mangkunegaran, dan dibawakan langsung oleh penari-penari jempolan asuhan Mangkunegaran.

.
Digelar secara sederhana, dengan panggung acara adalah pringgitan di kawasan Dalem Prangwedanan, istana putra mahkota yang berada di sebelah timur Pura Mangkunegaran. Pringgitan sendiri adalah salah satu bagian dalam tata ruang rumah tradisional Jawa, semacam selasar yang seolah menjadi batas antara pendopo dandalem (bangunan induk). Para hadirin dan penonton disediakan tempat duduk - baik kursi maupun karpet besar untuk lesehan - di dalam pendopo, menghadap ke pringgitan. Datang ke acara ini, gratis, tanpa biaya sepeserpun bagi para tamu. Menunggu detik hingga menit sejak kedatangan kami di Prangwedanan, akhirnya kami membetulkan posisi duduk setelah sekian lama mengobrol, saat pranatacara alias pembawa acara membuka acara dengan Bahasa Jawa halus. Sesaat kemudian, gamelan kembali bersuara, dan bersamaan dengan terdiamnya para penonton, irama gending mengalir mengiringi para penari yang satu per satu melangkah menghadap hadirin, duduk bersimpuh dengan selendang kuning mengular di hadapan mereka. Tepat setelah sembah, mereka berdiri, dan memoles setiap mata kami dengan gerakan indah sarat makna.


.
Berbagai tarian dibawakan sepanjang acara, srimpiwirengkelanabambangan-cakil, dan sebagainya. Sesuatu yang sangat menarik bagi kami, anak-anak muda yang hidup di dalam gelembung budaya pop yang begitu besar, menyaksikan warisan leluhur yang tak ternilai harganya tersebut. Saat sebaya-sebaya kami tengah larut dalam suasana malam minggu ala kekinian, kami justru duduk bersila menghadap gemulai penari dengan busana klasik yang mungkin sekarang tak banyak diminati orang. Ini, seperti kebanggaan tersendiri bagi kami. Kanan-kiri kami berjajar orang-orang asing yang begitu khusyuk menikmati pergelaran. Ya, orang asing seperti mereka begitu tertarik dengan hal begini, mengapa kami sebagai "orang asli" justru malah menjauhinya ? Ah, tentu seharusnya tidak seperti ini.




Pergelaran wiyosan itu seperti sebuah museum hidup, yang menampilkan pusaka-pusaka Mangkunegaran berupa tari-tarian. Saya paham, bagaimana para adipati Mangkunegaran menguasai ilmu rohani dan keluhuran budi yang begitu kuat, mengingat setiap tarian ciptaan mereka selalu memiliki gerakan yang menyimbolkan pesan-pesan kehidupan. Bambangan-cakil misalnya, mengisyaratkan tentang perjalanan manusia seorang diri di tengah belantara dunia, melawan godaan, nafsu buruk, serta hal-hal negatif yang dapat menjatuhkan hidup. Dan di satu sisi, kekaguman saya muncul, karena setelah melihat semua wajah penari, mereka semua masih muda. Ada nafas lega, warisan ini masih memiliki masa depan cerah, karena masih banyak muda-mudi yang berkenan untuk melestarikan. Melestarikan memang tidak harus menjadi pelaku yang membawakan karya seni itu, tetapi dengan kita menyaksikan, kita mengagumi, kita mengetahui, dan kita bangga, sama saja kita sudah turut andil melestarikan warisan budaya tersebut.

Mangkunegaran adalah sebagian kecil dari kekayaan sejarah dan budaya di Surakarta. Yang telah turut memberi warna bagi peradaban lokal dan nasional dengan warisan seni-tradisi. Wiyosan, peringatan hari lahir, bermakna sebuah doa. Mendoakan agar sang adipati, Mangkunegaran, Surakarta, dan Indonesia, senantiasa dalam keselamatan dan mendapat rahmat Gusti Allah Yang Maha Pemurah.

Rahayu budayaku, rahayu negaraku.



Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d