Langsung ke konten utama

Biografi Dalang: Ki Soenarjo

Ki Soenarjo bersama wakil gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf.

Lahir                   : Blitar, 19 Januari 1945
Latar Belakang    : 1973 Sekretaris Pemerintah Kota Blitar
                            1975 Kepala BKKBN Malang
                            1977 Sekretaris Pemerintah Kota Malang
                            1985 Sekretaris Pemerintah Kota Surabaya
                            1990 Wakil Wali Kota Surabaya
                            1993 Asisten Sekertaris Daerah Tingkat I Jawa Timur
                            1996-2003 Sekertaris Daerah Tingkat I Jawa Timur
                            2003-2008 Wakil Gubernur Jawa Timur
                            2004-2009 Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur
                            2009-2019 Wakil Ketua DPRD Jawa Timur
                            2019 Ketua Dewan Penasehat DPD Partai Golkar Jawa Timur

Perjalanan seseorang menapaki karier sangatlah bervariasi. Ada yang harus bekerja keras, ada yang menggapainya secara alamiah, serius tapi santai. Namun ada juga yang meraih sukses ke puncak karier karena kemauan, serta kemampuan professional yang dimilikinya. Dan suatu hal yang tak kalah penting adalah garis tangan, yakni kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Drs. H. Soenarjo, M.Si. adalah salah satu dari sedikit orang yang menapaki kariernya dengan mulus, mulai dari staf hingga jabatan puncak Wakil Gubernur Jawa Timur masa bakti 2003–2008, yang setelah Pemilu Legislatif 2009 menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jawa Timur.

Semula Soenarjo muda hanya bercita-cita menjadi guru. Karena itu setamat Sekolah Guru Atas (SGA) tahun 1965, beliau melanjutkan ke IKIP Negeri Malang dan lulus tahun 1970. Lantas bagaimana beliau bisa menjadi pegawai Pemerintah Kodya Blitar yang dinilainya sebagai sesuatu yang serta merta itu? Suatu saat beliau diminta untuk menjadi pembawa acara (MC) di sebuah acara Pemerintah Kodya Blitar yang dihadiri juga Bapak Walikota, kala itu dijabat Drs. Soerjadi. Kebetulan saja pembawa acara yang biasanya bertugas berhalangan, maka Soenarjo muda ditunjuk sebagai penggantinya. Penampilan Soenarjo yang mampu mencairkan suasana membuat Bapak Walikota senang. Padahal, menurut beberapa staf, menjelang acara tadi Bapak Walikota sedang murang-muring (baca: marah sekali). Saking senangnya dengan joke-joke Soenarjo, Bapak Walikota langsung bertanya kepada staf, “Siapa yang menjadi pembawa acara itu?” Bahkan kemudian, beliau langsung diminta untuk menjadi karyawan Pemerintah Kodya Blitar. “Saya sendiri tidak menyangka mendapat respons positif dari Bapak Walikota,” kata Soenarjo. Kemampuannya di panggung telah membawa Soenarjo muda untuk beberapa saat bergabung dengan kelompok lawak terkenal asal Malang, Kwartet S.


Ki Soenarjo bersama sekdJawa Timur, Rasiyo.
.
Karena jumlah sarjana yang masih sedikit, begitu menjadi pegawai Pemerintah Kodya Blitar di tahun 1970, beliau langsung diangkat sebagai Pj. Kepala Humas Kodya Blitar. Pada tahun 1972 dalam pangkat dan golongan ruang Penata Muda (III/A) yang diperoleh terhitung mulai tanggal 1 Maret 1972, beliau diangkat sebagai Kepala Bagian Umum Kodya Blitar. Sebuah jabatan yang cukup bergengsi, karena membawakan kehumasan dan keprotokolan. “Mungkin karena saya dianggap mahir sebagai pembawa acara”, tambah eyang dari Sakti Sigap Prakoso dan Madina Pandya Pratistha itu. Hanya sekitar sembilan bulan sebagai Kepala Bagian Umum, tepatnya 19 Januari 1973 yang bertepatan dengan Ulang Tahun ke-28, beliau diangkat sebagai Sekretaris Kodya Blitar. “Entah suatu kebetulan atau memang karena kebesaran Allah SWT, lha pengangkatan saya sebagai Sekkodya itu persis di Hari Ulang Tahun ke-28. Perlu diketahui, peristiwa itu akan menjadi sebuah kenangan dan catatan tersendiri, karena disamping bertepatan dengan Hari Ulang Tahun. Dan yang perlu diingat bahwa saat itu saya masih dalam pangkat dan golongan ruang Penata Muda (III/A). Dengan demikian saya merupakan Sekretaris Daerah (Sekda) termuda se Indonesia. Padahal kalau diruntut baru terhitung mulai tanggal (tmt) 1 April 1974, pangkat dan golongan ruang saya itu Penata Muda Tingkat I (III/B),” ujar Soenarjo yang kini lebih dikenal dengan Ki Soenarjo dalang mBeling itu.

Setelah hampir tiga tahun menjadi Sekodya di kota kelahirannya, pada Desember 1975 beliau mendapat job baru di kampung halaman keduanya yakni di Malang, sebagai Kepala BKKBN Kodya Malang. Dan yang perlu ditiru dari beliau, dalam kesibukan sebagai seorang pejabat masih dapat menyelesaikan studinya di SLTA tahun 1974. Tiga tahun berikutnya, pada tahun 1978 dalam kepangkatan dan golongan ruang Penata (III/C) yang diperoleh terhitung mulai tanggal (tmt) 1 Oktober 1977, Walikota Malang Ebes Soegiyono memberi kepercayaan kepada beliaunya, lagi-lagi sebagai Sekkodya Malang. Sebuah jabatan yang strategis dan prestisius, karena dengan jabatan ini beliau pasti menjadi Ketua BAPERJAKAT, Ketua KORPRI, dan pemegang jabatan tertinggi di birokrasi sebuah pemerintahan. Selama menjabat Sekkodya, beliau mendapatkan kenaikan pangkat dan golongan ruang Penata Tingkat I (III/D) tmt 1 Oktober 1981.


Ki Soenarjo bersama istri, Siti Suparmi.

Mungkin akibat kepiawian beliau dalam hal komunikasi massa dan aktif dalam komunitas Kwartet S tersebut. Setelah enam tahun menjadi Sekkodya Malang, tepatnya tahun 1984 dengan kepangkatan dan golongan ruang Pembina (IV/A) yang diperoleh tmt 1 Oktober 1983, Ki Soenarjo terus menapaki kariernya. Dan kali ini ditarik ke ibukota Propinsi Jawa Timur Surabaya untuk menjadi Sekretrais BP-7 Provinsi Jawa Timur. Rupanya dewi fortuna tetap menyertainya, satu tahun kemudian (1985) dipercaya dan ditunjuk sebagai Sekkodya, berduet dengan Walikota dr. H. Purnomo Kasidi untuk mengomandani Kota Pahlawan Surabaya. Dan siapapun harus mengakuinya di era duet inilah Kota Surabaya mengalami kemajuan pesat, dengan menggaet sejumlah predikat juara mulai dari keberhasilan lalu lintas, piala Adipura, dan Adipura Kencana sampai pada kejayaan Persebaya di blantika persepakbolaan nasional.
.
Lagi-lagi patut dicontoh oleh generasi muda, dalam kesibukan sebagai pejabat nomor dua di Kota Surabaya, beliau masih sempat untuk menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Merdeka Malang - Jurusan Sosial Politik pada tahun 1985 itu juga.

Lima tahun sebagai Sekkodya, tepat tahun 1990 dalam kepangkatan dan golongan ruang Pembina Tingkat I yang diperoleh tmt 1 Oktober 1987, beliau ditunjuk menjadi Wakil Walikota Surabaya yang pertama. Bahkan yang pertama ada di Indonesia, karena lembaga Wakil Walikota baru dibentuk dan disetujui keberadaannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

.
Ki Soenarjo bersama gubernur Jawa Timur, Soekarwo, dan ketua DPRD Jawa Timur, Imam Soenardhi.
.
Ki Soenarjo dalam membawakan sebuah pergelaran bersama sinden-sinden ternama Jawa Timur diiringi tim karawitan Mekar Budaya pimpian Ki Surono Gondotaruno serta pelawak kondang Cak Kirun dan Marwoto.

Setiap perjalanan kehidupan manusia pasti terjadi riak-riak kecil yang menjadi duri. Apabila manusia itu bisa mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT dengan mengambil hikmahnya, maka riak-riak kecil itu merupakan guru dan pengalaman yang paling berharga. Begitu juga yang dialami oleh suami dari Siti Suparmi ini, saat menjabat sebagai Wakil Walikota Surabaya banyak cobaan yang dihadapi. Seperti kata orang bijak, “Ibarat pohon yang semakin tinggi, semakin kencang tertiup angin.” Banyak orang yang menjadi iri dengan karier dan keberhasilan Ki Soenarjo. Intrik-intrikpun disebarkan, gossip dan fitnahpun dialamatkan kepada lulusan SD tahun 1958 dan SMP tahun 1961 ini. Dan akhirnya, Pak Purnomo Kasidi pun termakan oleh hasutan dan laporan-laporan palsu tersebut. Jadilah Ki Soenarjo yang beralamat di Jl. Dharmahusada Indah Blok III-C/163 Surabaya itu tersisih dari pusaran kekuasaan di Kota Buaya Surabaya. Namun lagi-lagi sejarah mencatat, bahwa yang benar itu pasti benar dan yang batil akan dikalahkan, sebagaimana filsafat Jawa, “becik ketitik ala ketara”. Di masa itu Surabaya seperti dilanda prahara dalam perebutan kekuasaan. Pemerintah tidak tenang, pembangunanpun gonjang-ganjing.


Setelah melewati masa tirakat beberapa waktu, pemeluk agama Islam yang taat ini kembali diberi kepercayaan untuk memimpin BP-7 Tingkat I Provinsi Jawa Timur mulai tahun 1992. Dua tahun kemudian (1994) beliau melenggang untuk menduduki kursi Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Timur Bidang Ketataprajaan atau Asisten I dalam kepangkatan dan golongan ruang Pembina Utama Muda (IV/C) yang diperoleh tmt 1 Oktober 1993.

Ki Soenarjo saat temu wicara bersama warga Desa Dilem Kabupaten Malang.

Ki Soenarjo bersama beberapa pimpinan DPRD Jawa Timur menerima kunjungan delegasi Taipei Economic and Trade Office.

Lagi-lagi patut diacung jempol dan dicontoh oleh para pejabat birokrasi lainnya. Pria yang memegang prinsip pendidikan itu seumur hidup (long life education) dengan tidak mengenal batas waktu dan ruang. Dalam kesibukan yang semakin menumpuk, masih sanggup menyelesaikan pendidikan S-2 Magister Administrasi dari Universitas 17 Agustus Surabaya tahun 1994 dengan disertasi berjudul ”Permainan Simulasi Sebagai Metode Pemasyarakatan P-4 dan Penyuluhan Pembangunan Bagi Masyarakat Pedesaan (1993)”.

Sebelum memperoleh kepangkatan dan golongan ruang Pembina Utama Madya (IV/d) tmt 1 April 1997 atau dua tahun kemudian dan tepatnya 24 September 1996, beliau dikukuhkan sebagai Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat I Jawa Timur. Suatu jabatan yang tertinggi dalam birokrasi pemerintahan di daerah, pemegang kebijakan atau penentu kepegawaian daerah (BAPERJAKAT), pemegang jabatan Ketua Tim Anggaran Eksekutif, Ketua KORPRI Propinsi, dan masih banyak lagi jabatan yang melekat di pundak beliau. Dan selama menjabat sebagai SEKWILDA inilah, beliau mendapatkan kenaikan pangkat dan golongan ruang yang paling akhir dan tertinggi di birokrasi kita, yaitu Pembina Utama (IV/e) tmt 1 Januari 2001.


Sekali lagi, sejarah dan dewi fortuna tetap berpihak kepada beliau, Allah SWT Maha Kuasa atas kehendak-Nya. Beliau dititipi amanah untuk mendampingi Gubernur Imam Oetomo Suparno menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur masa bakti 2003–2008, yang dilantik pada 26 Agustus 2003. Lagi-lagi pria yang tidak suka berkonflik dengan siapa saja dan dimana saja ini, dalam kesibukannya sebagai orang nomor dua di Jawa Timur tetap menyelesaikan pendidikan S-3 (program doktoral) di Universitas 17 Agustus Surabaya tahun 2004 dengan Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Masa Kini Perubahan Manajemen dan Pola Pagelaran Wayang Kulit sebagai karya tulisnya (disertasi).


Pergelaran Ki Soenarjo yang selalu dipadati penonton.
  
Selama berkecimpung di birokrasi pemerintah, mulai dari staf terendah sampai tertinggi, Ki Soenarjo telah memperoleh berbagai macam penghargaan, baik atas namanya sendiri maupun masyarakat Jawa Timur, antara lain: Satyalancana Karya Satya 10 Tahun, Satyalancana Karya Satya 20 Tahun, Satyalancana Karya Satya 30 Tahun, Satyalancana Pembangunan Bidang Koperasi dan UKM tahun 2002, Penghargaan Tunas Kelapa dan Panca Warsa dalam Bidanga Kepramukaan, Penghargaan dari BKKBN, Penghargaan dari PMI, Penghargaan dari Departemen Ketenagakerjaan RI. 

Sedangkan dalam bidang pendidikan, beliau telah menyelesaikan pendidikan tambahan, antara lain: DIKLAT Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPANAS) Angkatan ke-XV tahun 1988, Kursus Reguler LEMHANAS Angkatan ke-XXVIII tahun 1995, Dosen Kewiraan tahun 1995 (SK Bersama Menhankam dan Mendikbud), Workshop Mind Setting and Velues tahun 2003. Selain itu mengajar dan menangani kegiatan di berbagai lembaga pendidikan, antara lain; Ketua STKW Surabaya (tahun 1990–2001), mengajar di ASMI/STMI Malang, mengajar di AKUN/STIEK Jayanegara Malang, mengajar di IKIP PGRI Blitar, Dosen Pasca Sarjana (S-2) di UNTAG Surabaya, serta aktif diberbagai seminar, workshop, pelatihan dan sebagainya.



Salah satu karya buku hasil buah pikir dan penelitian Ki Soenarjo di dunia pewayangan dan pedalangan.

Juga aktif melakukan kegiatan penelitian-penelitian dan menulis buku, antara lain: Efektifitas Kontrasepsi KB dengan menggunakan PIL dan Kondom di Perkotaan tahun 1985; Politik, Dalang dan Kekuasaan tahun 2004.

Yang patut dicontoh dari beliau, tidak ada kamus berhenti dalam diri beliau, dalam berjuang dan berkarya untuk mensejahterakan rakyat. Perjuangan tidak berhenti sampai di sini, dalam kesibukan bekerja, beliau masih sempat menjabat di beberapa lembaga/organisasi social kemasyarakatan, antara lain: Penasehat PEPADI dan SENAWANGI Pusat; Ketua PMI Jawa Timur; Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Propinsi Jawa Timur; Ketua Badan Narkotika Propinsi (BNP) Jawa Timur; Ketua Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah Jawa Timur; Ketua Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur; Ketua Harian SATKORLAK PBP Jawa Timur; Dewan Pengawas PERHUTANI Jawa Timur; Ketua Masyarakat Hutan Jawa Timur. Di organisasi sosial, Soenarjo melalui MUSDA Pramuka tahun 2005 ditunjuk sebagai Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Timur periode 2005–2010. Sehingga tidak heran apabila panggilan akrab beliau bertambah lagi dengan ”Kak Narjo”. Suatu panggilan yang akrab di kalangan dunia kepramukaan (kepanduan).

Kreatifitas humor dalam membawakan lakon membuat Ki Soenarjo banyak digemari orang.

Nama “Soenarjo” seharusnya perlu dicatat dengan tinta emas. Karena pria yang selalu berpenampilan rapi, ramah dengan siapa saja, dan selalu datang tepat waktu di berbagai macam kegiatan itu, tidak hanya dikenal sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur. Tetapi juga sebagai dalang mbeling itu dapat dikatakan lulus sebagai birokrat tulen. Sehingga beliau bermaksud memperjuangkan masyarakat melalui wadah partai politik. Dan Partai Golongan Karya sebagai tempat aspirasi untuk perjuangannya tersebut.

Maka babak baru pun dimulai beliau dengan mengajukan diri sebagai calon Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur. Perjuangan yang penuh liku-liku dan jalan terjalpun dilalui untuk menggapai cita-cita memperjuangkan masyarakat itu. Dalam percaturan dunia perpolitikan, melalui Musyawarah Daerah Partai Golkar tahun 2004 secara aklamasi beliau dipercaya sebagai Ketua DPD Partai Golongan Karya Provinsi Jawa Timur masa bhakti 2004–2009. “Ini adalah amanah dari Allah SWT yang harus saya jalankan sebaik-baiknya,” papar Bung Narjo, sapaan akrabnya di komunitas Partai Golkar.


Bayangkan, untuk menentukan pemimpin yang benar-benar mengabdi kepada rakyat, pelaksanaan MUSDA sendiri sempat tertunda dua kali. Pertama digelar pada 298 Nopember 2004 di Hotel Grand Bromo Probolinggo, ternyata batal. Kemudian disepakati digelar pada 13 Desember 2004 di Kantor DPD Partai Golkar Jawa Timur, juga batal. Akhirnya, MUSDA digelar di Hotel Hilton Internasional Surabaya dan disinilah Soenarjo penulis buku ”Swastanisasi: Alternatif Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik” (CV. Adipura, 2004) itu terpilih.

Seni tari tradisional yang turut dibawa dalam setiap pergelaran wayang Ki Soenarjo.

Munculnya Bung Narjo menjadi Ketua Partai Golkar ini sebelumnya mendapat tantangan dari para pesaingnya. Beliau dituding tidak pantas mengendalikan Golkar, karena belum teruji ketangguhannnya, khususnya saat Golkar dimusuhi oleh kelompok lain, seiring dengan tumbangnya Orde Baru. Sulit dipercaya, apabila Bung Narjo belum teruji, padahal beliau sudah mengenyam asam garam perjuangan Partai Golkar sejak namanya masih Golkar. Apalagi beliau seorang birokrat yang notabene adalah orang Golkar. Permainan-permainan politik seperti itu, tentu disikapi secara arif dan bijaksana. Bung Narjo tidak akan punya rasa dendam dengan siapapun, bahkan justru bertekad untuk membangun Partai Golkar lebih maju ke depan. Sikap sabar itulah yang banyak berhubungan dengan kiprahnya sebagai dalang. Itulah sebabnya, beliau sangat antusias ketika diajak mengobrol tentang dunia pedalangan.

Menurut Ki Soenarjo, sebutan akrabnya di dunia pedalangan, ”Para dalang harus mampu menjadi dalang profesional. Selain itu, wawasan berkesenian luas juga menjadi prasyarat untuk menjadi dalang profesional di tengah perubahan jaman. Dalang harus bisa sanggit, sabet, lakon, lucu, hafal gendhing dan penguasaan manajemen yang baik. Untuk itu, perubahan jaman yang begitu cepat ini, menuntut peran dalang tidak bisa tinggal diam. Dalang harus bisa menciptakan kreatifitas yang mampu mengatasi perubahan jaman itu.”

Sebagai sesepuh PEPADI dan SENAWANGI Jawa Timur, Ki Soenarjo memberi kebebasan kepada dalang untuk berimprovisasi, berkreasi dan berinovasi. Tapi dalang yang bersedia seperti itu diharapkan harus mempunyai bekal yang banyak, mumpuni, dan mengerti semuanya tentang seni pedalangan. Seniman dalang juga harus mempunyai tanggung jawab moral terhadap budaya yang adiluhung ini. "Walau dalang seperti itu akan sukses, namun tidak akan lama bertahan,” tambahnya. Dipaparkan pula bahwa era pedalangan setiap ada perubahan selalu dihadapkan pada pro dan kontra di kalangan masyarakat luas. Dan ini tidak akan ada habisnya untuk membahas persoalan itu. Tidak ada dalang yang langgeng di dunia, kecuali perubahan itu sendiri. "Berkaitan dengan itu, ke arah mana kita akan melangkah. Sebab sekarang yang baru terlihat ada upaya-upaya praktis, tapi yang konsepsional belum ada,” ujar Ki Soenarjo, sang dalang mBeling, dengan santun.


Ki Soenarjo bersama bupati Tegal, Ki Enthus Susmono.

Mengenai kebudayaan daerah, Ki Soenarjo mengaku sangat prihatin saat terjadinya amandemen UUD 1945 mengenai perubahan isi, khususnya pada pasal 32. Pasal tentang kebudayaan itu bunyinya mungkin sangat indah, yaitu "Pemerintah menghormati kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah harus dilindungi dan dikembangkan.” Tetapi itu hanya pada ungkapan saja. Sedangkan praktiknya masih tidak ada jluntrungnya. Apalagi sekarang bicara kesenian volumenya sangat kecil dan tidak pernah tuntas, namun yang ada sekarang adu debat tentang masalah kursi dan kedudukan, kritiknya.

Soenarjo menekankan para seniman dan seniwati ke depan harus mau belajar untuk meningkatkan wawasannya. Beliau berharap bahwa para seniman, khususnya seniman tradisional tidak lagi terpinggirkan dan kalau bisa menjadi wakil-wakil rakyat untuk duduk di lembaga legislatif. ”Jumlah seniman atau pegiat kesenian yang menjadi anggota dewan masih sedikit jumlahnya. Jumlah mereka bisa dihitung dengan jari. Tetapi jika para seniman sudah terkabul menjadi anggota dewan jangan sampai hanya nongkrong sebagai anggota dewan saja. Harus betul-betul berani memperjuangkan nasib para seniman. Terus terang saya meyakini bahwa kemampuan para seniman tidak diragukan lagi, apabila mempunyai legitimasi,” tegas Ki Soenarjo.

Ki Soenarjo memberikan contoh ihwal mulai terlihatnya para seniman, baik seniman perfilman, seniman lawak, dan sebagainya untuk menyuarakan nasib teman-temannya. ”Itulah yang sebenarnya harus dilakukan oleh para seniman,” harap Ki Soenarjo yang menulis buku ”Mencari Jalan Untuk Bertahan: Tentang Wayang, Dalang, dan Globalisasi (Kompyawisda Jawa Timur, 2006).

Semoga Allah SWT selalu memberi kemuliaan lahir dan batin. Amin.

Komentar

  1. Matur sembah nuwun, Bapak H. Sunaryo. Saya kagum dengan karya dan sepak terjang Bapak yang dapat menggabungkan dan mengagungkan budaya sebagai dasar menjadi punggawa. Sepindah malih matur nuwun. (Riyo Sudarpo, Bogor)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d

Raja Chulalongkorn dan Pesona Batik Indonesia

Bukti sejarah hubungan erat Indonesia dan Thailand dapat disaksikan dengan jelas dalam 307 potong kain batik berbagai corak yang berasal dari akhir abad ke-19 yang dipamerkan di Museum Tekstil Ratu Sirikit ( Queen Sirikit Museum of Textiles /QSMT), di kompleks Istana Raja Thailand ( Grand Palace ), Bangkok, mulai akhir Oktober 2018 sampai musim semi 2021. Pameran tersebut bertema " A Royal Treasure: Javanese Batik from the Collection of King Chulalongkorn of Siam ", yang memamerkan ratusan k ain batik koleksi Raja Thailand ke-5, Chulalongkorn . Selama masa pemerintahannya yang panjang, Raja Chulalongkorn - atau gelar resminya Raja Rama V - mengunjungi Pulau Jawa ( Hindia Belanda pada saat itu) selama tiga kali antara tahun 1871 dan 1901.  Sejak kunjungan yang pertama, Raja Chulalongkorn menampakan ketertarikannya yang besar terhadap seni batik, sehingga pada kunjungannya yang ke dua dan ke tiga Raja mulai mengoleksi kain batik dari berbagai sentra produksi batik d