Langsung ke konten utama

Sejarah Negeri: Sumatera Timur (1)


Sumatera Timur, nama daerah yang terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia di luar Pulau Sumatera. Terutama bagi para generasi baru. 

Di masa jayanya dulu, daerah ini adalah salah satu simbol makmurnya Bumi Nusantara. Daerah yang sangat maju dan ramai aktivitas perdagangannya, kaya akan sumber alam, tak heran Sumatera Timur juga disebut sebagai Bumi Bertuah. Disini pula, lahir para pujangga-pujangga Melayu yang mumpuni, para ulama terkenal, raja-raja bijaksana, dan para patriot dan negarawan yang turut serta dalam menopang, mendukung, dan mendirikan Republik Indonesia.

Sumatera Timur, sebuah daerah yang dihuni oleh mayoritas Suku Melayu, berdampingan dengan serumpun lainnya seperti Minangkabau, Aceh, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,  dan pendatang pelbagai bangsa seperti Tionghoa, Arab, dan Tamil. Awalnya daerah ini merupakan wilayah "jajahan" dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak. Wilayah ini terdiri dari beberapa monarki Melayu, yaitu Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, dan Kesultanan Asahan. Pada abad ke 18, wilayah ini merdeka dari Aceh maupun Siak, dan para penguasa monarki-monarki tersebut berhak bergelar "sultan". Pada abad ke 19, wilayah ini akhirnya ditaklukkan oleh penjajah Belanda, dan pada 1 Maret 1887, wilayah Sumatera Timur resmi menjadi wilayah administrasi Hindia Belanda sebagai sebuah karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen yang berkedudukan di Medan (saat itu adalah ibukota Kesultanan Deli). 

Dalam pengertian luas, kawasan Sumatera Timur (dan Riau) sebenarnya juga mencakup wilayah-wilayah yang dihuni Suku Melayu di pantai timur Pulau Sumatera (Kerajaan Tamiang, Kesultanan Siak, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan Indragiri, Kesultanan Riau-Lingga, dan lain-lain).

Kemakmuran wilayah ini secara luar biasa terjadi setelah berkembangnya perkebunan tembakau dan penemuan sejumlah ladang minyak. Pada abad ke 18-19, Langkat, Deli, dan Siak, adalah salah satu wilayah terkaya di Hindia Belanda. Istana-istana dengan megah dibangun, begitu pula masjid-masjid, sekolah, pelabuhan, dan rumah sakit.

Mengenang masa lalu, artikel ini akan menampilkan berbagai potret yang menggambarkan kemegahan budaya, kemakmuran, dan kejayaan masyarakat Sumatera Timur pada masa-masa jayanya. Bebagai gambar ini diperoleh dari bebagai sumber pribadi serta koleksi Tropen Museum dan KITLV Digital Media Library (Belanda).

Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat (sekitar tahun 1920-an), masjid ini adalah masjid negara Kesultanan Langkat.

Istana Darul Aman, istana sultan Langkat di Tanjung Pura (sekitar tahun 1920-an).

Istana sultan Langkat (sekitar tahun 1900-an).

Para bentara berpakaian Eropa yang membawa kendaraan hias milik sultan Langkat dalam rangka merayakan pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard (tahun 1937).

Ketibaan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge di Istana Darul Aman, Tanjung Pura (tahun 1925).

Para pejabat, ulama dan Tentera Diraja Langkat menyambut ketibaan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge di Istana Darul Aman, Tanjung Pura (tahun 1925).

Parade kendaraan hias di Langkat (sekitar tahun 1925).

Peserta pawai kendaraan hias di Langkat (sekitar tahun 1925).

Para bangsawan Kesultanan Langkat, Tanjung Pura (tahun 1925).

Para pejabat Kesultanan Langkat, Tanjung Pura (tahun 1925).

Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmat Syah, sultan Langkat yang memerintah tahun 1927-1948.

Negeri-negeri Melayu yang menguasai Sumatera Timur memang makmur melebihi harapan. Kesultanan Deli menjadi terkenal sebagai penghasil tembakau kualitas nomor satu. Sultan Deli XI, Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Syah (1873-1924) membawa Kesultanan Deli sebagai negeri paling maju di Sumatera Timur saat itu. 

Sementara Kesultanan Langkat menjadi kaya raya semenjak Aeilko Zijlker Yohanes Groninger dari Deli Maatschappij menemukan konsensi minyak bumi di Telaga Said, Pangkalan Brandan. Di Langkat inillah, lahir seorang pujangga baru yang tersohor, Tengku Amir Hamzah.

Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Syah (duduk di tengah) bersama para bangsawan (sekitar tahun 1890 sampai tahun 1900-an).

Kunjungan Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Syah di Labuhan Deli (tahun 1894).

Masyarakat menyambut Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Syah di Masjid Al Mashun, Medan (sekitar tahun 1920-an).

Istana Maimun, istana sultan Deli di Medan (sekitar tahun 1910-an).

Para bangsawan muda di Istana Maimun, Medan (sekitar tahun 1920-an).

Masyarakat menyaksikan pertunjukan di halaman Istana Maimun, Medan, dalam rangka penobatan Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Syah (tahun 1925).

Bagian dalam Istana Maimun, Medan (tahun 1900).

Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alam Syah (ke 13 dari kiri) bersama putra mahkota dan para bangsawan serta pejabat-pejabat Karesidenan Sumatera Timur di Istana Maimun, Medan (sekitar tahun 1920-an).

Kantor sultan Deli di Medan (sekitar tahun 1890-an).

Istana Tengku Besar (putra mahkota) di Medan (sekitar tahun 1890-an).

Istana Kota Matsum di Medan (sekitar tahun 1920-an).

Kawasan pusat bisnis dan perdagangan Kesawan di Medan (tahun 1923).

Aktivitas di perkebunan tembakau (sekitar tahun 1850-an).

Stasiun Belawan di Medan (sekitar tahun 1930-an).

Sultan Osman Al Sani Perkasa Alam Syah bersama istri baginda,
sultan Deli yang memerintah tahun 1945-1967.


Kesultanan Serdang, sebagai pecahan dari Kesultanan Deli, berdiri sebagai sebuah negeri agraris yang makmur akibat perkebunan tembakau dan karet. Perdagangan Kesultanan Serdang dengan Pulau Penang juga sangat ramai. Johan Anderson, seorang utusan dari Inggris ketika mengunjungi Serdang pada tahun 1823, melaporkan bahwa Sultan Thaf Sinar Basyar Syah (1822-1851) memerintah dengan lemah lembut dan bijaksana, bahkan Baginda memiliki sebuah kapal dagang sendiri. Baginda juga sangat terbuka terhadap orang-orang Batak dari pedalaman yang berdagang di Serdang.

Sultan Sulaiman Syariful Alam Syah, sultan Serdang yang memerintah tahun 1879-1946.

Istana Darul Arif, istana sultan Serdang di Kota Galuh, Perbaungan (sekitar tahun 1930-an).

Aktivitas di pabrik pengolahan tembakau di Tanjung Morawa (tahun 1954).

Sebuah mausoleum di Kesultanan Serdang (sekitar tahun 1910-an).

Para pangeran dari Serdang, Deli dan Langkat mengenakan busana Melayu, teluk belanga.




Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d