Langsung ke konten utama

Sejarah Negeri: Sumatera Timur (2)



Kesultanan Asahan juga merupakan salah satu monarki Melayu yang makmur akibat perkebunan karetnya. Di Sumatera Timur, wilayah Asahan dan jajahannya adalah yang terluas di antara monarki lainnya (Langkat, Deli dan Serdang).

Ironisnya, di kesultanan inilah tragedi tersebut berawal. Hampir setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, di Tanjung Balai, 3 Maret 1946, sejak pagi ribuan massa dari Laskar Rakyat (republikan ekstremis yang berisi para orang-orang komunis dan simpatisannya) telah berkumpul karena mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung Istana Indra Sakti. Awalnya gerakan massa ini dihadang Tentara Republik Indonesia, namun karena jumlah tentara saat itu tidak banyak, massa berhasil menyerbu istana sultan. Besoknya, sebagian besar bangsawan Melayu pria ditangkap dan dibunuh oleh Laskar Rakyat.

Pada tanggal 5 Maret 1946 wakil gubernur Sumatera Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan brutal itu merupakan suatu “Revolusi Sosial”. Keterlibatan PKI dalam revolusi sosial di Sumatera Timur sangat nyata; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, wakil gubernur Mr. Amir secara resmi mengangkat M. Yunus Nasution yang juga ketua PKI Sumatera Timur sebagai Residen Sumatera Timur.
 
Istana Indra Sakti, istana sultan Asahan di Tanjung Balai (tahun 1925)


Kunjungan Gubernur Jenderal B.C. de Jonge di Istana Indra Sakti,
Tanjung Balai (tahun 1925).


Balairung Sri Istana Indra Sakti, Tanjung Balai (tahun 1933).


Sultan Shaibun Abdul Jalil Rahmat Syah III (duduk di kursi) bersama para
bangsawan di Istana Indra Sakti, Tanjung Balai (tahun 1933).


Para bangsawan dan pejabat senior Kesultanan Asahan di Istana Indra Sakti,
Tanjung Balai (tahun 1933).

Keluarga sultan di Istana Indra Sakti (tahun 1920-an).


Pergolakan sosial berlanjut pada 8 Maret. Penguasa daerah Bilah dan para tengku Langkat ditangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri sultan Langkat, pada malam jatuhnya Istana Darul Aman, 9 Maret 1946, dan dibunuhnya penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah. Gerakan itu begitu cepat menjalar ke seluruh pelosok daerah Sumatera Timur oleh para aktivis komunis. Puluhan orang yang berhubungan dengan swapraja serta para sultan ditahan dan dipenjarakan oleh laskar-laskar. Hanya sultan Deli dan sultan Serdang yang tidak ditahan, karena istana mereka dijaga oleh tentara dan banyaknya kerabat kesultanan yang menjadi anggota-anggota partai politik, serta sikap sultan yang dikenal sangat anti Belanda.

Revolusi Sosial meninggalkan trauma besar bagi para masyarakat dan bangsawan Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun di Sumatera Timur. Mereka yang semula hidup dalam kemakmuran, para datuk dan tengku yang hidup dengan serba mapan, harus mengalami nasib pahit dengan mati terpenggal atau bahkan jatuh miskin akibat peristiwa tersebut. Trauma itu bahkan berlangsung berlarut-larut, dibuktikan dengan kemunduran kejayaan Melayu Sumatera Timur. Dampak trauma terbesar adalah berdirinya Negara Sumatera Timur (NST), sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Para bangsawan Melayu yang tersisa, cendekiawan, birokrat, dan beberapa orang-orang penting etnis Tionghoa merasa tak puas dan menuntut adanya otonomi yang luas bagi Sumatera Timur. 

Paska Konferensi Meja Bundar, pada tanggal 3-5 Mei 1950 diadakan perundingan antara perdana menteri RIS, Moh. Hatta, dengan presiden NST, Dr. Tengku Mansur, yang menyetujui pembentukan negara kesatuan. Pada tanggal 15 Agustus 1950, terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan NST membubarkan diri, melebur dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan hingga kini, para sultan-sultan Sumatera Timur masih diakui keberadaannya, walaupun tanpa kuasa yang luas, hanya sebagai kepala dinasti dan Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, khususnya adat dan budaya Melayu Sumatera Timur.

Seorang pangeran Asahan (sekitar tahun 1933).
.
Penabalan Datuk Abdul Jalil gelar Datuk Samuangsa,
penguasa wilayah Batubara, Asahan (tahun 1934).
.
Pelabuhan Kota Tanjung Balai (sekitar tahun 1930-an).
.
Kendaraan hias milik sultan Asahan di Kuala Asahan (sekitar tahun 1900-an).
.
Berbicara tentang penghapusan institusi kesultanan Melayu di Sumatera Timur dan Riau, jauh sebelum Revolusi Sosial 1946, sudah adalah salah satu kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera yang dihapuskan keberadaannya. Ialah Kesultanan Riau-Lingga, salah satu pecahan Kesultanan Johor, yang dihapuskan pada tahun 1911 oleh Hindia Belanda. Karena tidak ingin menandatangani kontrak dengan Belanda yang membatasi kekuasaannya, Sultan Abdul Rahman II Muazzam Syah meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura.

Kesultanan Riau-Lingga adalah kesultanan Melayu yang menguasai sebagian pesisir tenggara Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, Kepulauan Anambas, dan Kepulauan Natuna. Pusat pemerintahannya berada di Kota Daik di Pulau Lingga dan di Penyengat Indra Sakti di Pulau Penyengat. Pujangga besar Melayu Indonesia, Raja Ali Haji, lahir di kesultanan ini.


Sultan Abdul Rahman II Muazzam Syah bersama para pejabat Kesultanan Riau-Lingga
(tahun 1880)
.
Sultan Abdul Rahman II Muazzam Syah, sultan Riau-Lingga (sekitar tahun 1880-an).
.
Legiun Riau-Lingga berada di depan istana sultan Riau-Lingga
di Pulau Penyengat (tahun 1880).
.
Interior salah satu ruangan di istana sultan
Riau-Lingga di Pulau Penyengat (tahun 1885).

Berbeda dengan apa yang dialami saudara-saudara serumpunnya, negeri-negeri Melayu berikut ini tak mengalami nasib sedemikian "pahit" ketika melewati masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Adalah Kesultanan Siak, Kerajaan Pelalawan, dan Kerajaan Indragiri. Penguasa monarki-monarki Melayu ini secara cepat merespons Proklamasi Kemerdekaan, dan bahkan secara sukarela menyumbangkan kekayaannya untuk republik yang baru berdiri saat itu.

Sultan Syarif Kasim II, sultan Siak ke-12, (bersama sultan Serdang, Sultan Sulaiman Syariful Alam Syah) adalah penguasa yang turut serta mengajak sultan dan raja monarki Sumatera Timur dan Riau untuk menyatakan wilayahnya bergabung dengan Indonesia. Baginda bahkan menyerahkan kekayaannya sebesar 13 juta gulden (setara dengan 151 juta gulden atau 69 juta euro pada tahun 2011) kepada pemerintah pusat. Baginda kemudian berkenan mendampingi Presiden Soekarno di Jakarta semasa masa-masa awal kemerdekaan. Atas jasanya, Baginda telah dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.



Istana Asseraya Al Hasyimiyah, istana sultan Siak di Siak Sri Indrapura
(sekitar tahun 1910-an).
.
Legiun Siak di halaman Istana Asseraya Al Hasyimiyah, Siak Sri Indrapura
(sekitar tahun 1910-an).
.
Interior ruangan Balai Kerapatan Tinggi Siak, Siak Sri Indrapura
(sekitar tahun 1930-an).
.
Sultan Syarif Kasim II (paling kanan) bersama para bangsawan Siak dan perwakilan dari
Perusahaan Stannum di Istana Asseraya Al Hasyimiyah, Siak Sri Indrapura (tahun 1932).
.
Sultan Syarif Kasim II beserta istri baginda.
.
Sultan Syarif Kasim II beserta istri baginda.


Kesultanan Siak menjadi sangat kaya raya akibat pesatnya eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di seluruh wilayah Siak, terutama di Duri, Dumai dan Bengkalis. Kesultanan mendapatkan royaliti secara besar-besaran dari berbagai perusahaan minyak yang beroperasi di Siak. Pada akhir abad ke 19, Istana Asseraya Al Hasyimiyah yang mewah dan megah diresmikan oleh Sultan Syarif Hasyim (ayah Sultan Syarif Kasim II). Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menjadi komoditi utama Kesultanan Siak.

Dua jiran Kesultanan Siak, adalah Kerajaan Pelalawan dan Kerajaan Indragiri. Kerajaan Pelalawan adalah sebuah negeri pecahan dari Kesultanan Siak yang berdiri pada abad ke 18. Sedangkan Kerajaan Indragiri awalnya merupakan sebuah bandar pelabuhan milik raja-raja Kerajaan Pagaruyung di Dataran Tinggi Minangkabau, yang kemudian merdeka dan menjadi kerajaan yang mandiri terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Bersama Kesultanan Siak, dua kerajaan ini merupakan monarki-monarki (swapraja) terawal di Sumatera yang mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia.




Potret resmi Sultan Syarif Hasyim dalam sebuah kartu pos, Baginda mengenakan
mahkota kebesaran Siak, bersama seorang pengawal (sekitar tahun 1890).
.
Sultan Syarif Hasyim (duduk di singgasana), beserta para pejabat Kesultanan Siak (tahun 1908).
.
Sultan Syarif Hasyim bersama para pejabat Hindia Belanda dan para pejabat Kesultanan Siak seusai penobatan baginda sebagai sultan Siak (tahun 1889).


Para menteri dan pejabat-pejabat Kesultanan Siak (sekitar tahun 1900-an).
.
Sultan Syarif Hasyim berada di dalam kereta kebesaran Siak (sekitar tahun 1900-an).
.
Sultan Syarif Hasyim (tiga dari kanan) bersama pejabat Hindia Belanda dan kapitan Tionghoa (tahun 1905)
.
Pabrik pengolahan karet di Pelalawan (sekitar tahun 1920-an).
.
Istana Indragiri, istana raja Indragiri di Rengat (sekitar tahun 1920-an).
.
Masjid Raya Rengat (sekitar tahun 1920-an).

Monarki-monarki Melayu di Sumatera Timur tersebut kini memang sudah tak lagi berkuasa sebagai sebuah negara dalam artian sesungguhnya. Di alam republik ini, para bangsawan Melayu di Sumatera Timur hanya berstatus sebagai ahli waris dan penjaga budaya monarki-monarkinya.

Inilah Sumatera Timur, dari masa lalu yang jaya sebagai simbol kemakmuran Nusantara, kemudian sempat terpuruk akibat peristiwa brutal yang tak terduga oleh kaum komunis dan republikan ekstremis, kini berusaha untuk bangkit kembali bersama identitas jati dirinya. Di zaman yang serba moderen di era reformasi dengan otonomi daerah yang begitu besar seperti sekarang ini, sebagai wilayah yang pernah makmur melebihi harapan, sudah seharusnya wilayah Sumatera Timur menjadi mercusuar pembangunan Nasional, khususnya di luar Pulau Jawa. Bangkit ekonominya, bangkit kesejahteraan sosialnya, bangkit budaya dan jati dirinya, serta bangkit iman, taqwa, dan akhlak masyarakatnya.





* * *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompleks Bangunan Keraton Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat ( ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦱꦸꦫꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀ ; Surakarta Hadiningrat Royal Palace ) merupakan istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di dalam lingkungan Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah. Istana alias keraton ini didirikan oleh Sunan Pakubuwana II dan diresmikan pada tahun 1745, sebagai pengganti Keraton Kartasura (sekarang terletak di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo) yang hancur akibat Geger Pecinan tahun 1743. . Sejarah . Istana terakhir Kesultanan Mataram ini didirikan di Desa Sala ( Solo ), sebuah desa rawa-rawa dan merupakan pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala ( Bengawan Solo ). Pada mulanya, bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur karena peristiwa Geger Pecinan dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Pangeran Wijil beserta Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dengan timnya yang beranggotakan Kyai Yasadipura, Kyai Tohjaya, Kyai Suranata, Kyai Khalifah Buyut, da

Kemegahan Upacara Tedhak Loji di Kasunanan Surakarta tahun 1861-1942

Pada masa dahulu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta , upacara tedhak loji merupakan prosesi hadirnya Sri Sunan atau Sri Sultan pada suatu acara resmi yang diadakan di loji rumah dinas residen atau gubernur. Keberangkatan raja dari keraton menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran, serta di ikuti oleh barisan para bangsawan dan pejabat tinggi bersama para abdi dalem dan prajurit keraton. Selain sebagai simbol ikatan antara kerajaan-kerajaan Vorstenlanden dengan pemerintah Hindia Belanda, prosesi megah yang selalu menjadi tontonan masyarakat itu juga menjadi ajang unjuk kewibawaan oleh para raja dan bangsawan Jawa terhadap rezim kolonial.   Upacara tedhak loji di kerajaan-kerajaan pecahan Kesultanan Mataram diperkirakan telah berlangsung sejak tahun 1800-an, pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IV di Surakarta, atau semasa Sultan Hamengkubuwono III dan Sultan Hamengkubuwono IV di Yogyakarta. Upacara tersebut lahir sebagai ko

Sejarah Perang Puputan Badung 1906

Lukisan "Puputan Badung, the Fall of Kingdom 1906" karya Agung Mangu Putra (cat minyak di atas kanvas, 2015). Sejarah awal puputan Bali yang terjadi di Kerajaan Badung atau dikenal sebagai Perang Puputan Badung , yang terjadi pada 20 September 1906, dapat ditarik jauh pada masa tahun-tahun awal sebelum terjadinya perang. Semua berawal ketika seorang jenderal yang telah berhasil menghancurkan Kesultanan Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda . Tahun 1904, Yohannes Benedictus van Heutsz, seorang jenderal sekaligus mantan gubernur militer Aceh, diangkat menjadi gubernur jenderal menggantikan Willem Rooseboom untuk masa jabatan lima tahun. Van Heutsz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita agar “ Pax Neerlandica ” (menguasai seluruh Nusantara dan menjalankan suatu pemerintahan yang seragam dan satu kesatuan atas nama pemerintah Hindia Belanda di Batavia) berlaku mutlak di seluruh wilayah Nusantara yang menjadi jajahan Belanda. Pandangan d